Mengenal Asal Usul Rebo Wekasan, Rabu Terakhir di Bulan Safar

Mengenal Asal Usul Rebo Wekasan, Rabu Terakhir di Bulan Safar

istilah Rabu Wekasan. Penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Safar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.--

BENGKULUEKSPRESS.COM - Di sebagian kalangan masyarakat Muslim Indonesia ada keyakinan yang populer bahwa hari Rabu terakhir bulan Safar adalah hari yang teramat sial. Hari tersebut familiar dengan sebutan Rebo Wekasan.

Keyakinan ini didasarkan pada keterangan sebagian ulama tasawuf yang konon melihat turunnya ribuan bala (musibah) pada hari tersebut. Sehingga akhirnya banyak diikuti dan diyakini sebagai sebuah kebenaran. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslim hingga saat ini.

BACA JUGA:Nyambi Jualan Narkoba Seharga Rp 9 Juta, Pedagang asal Pondok Kelapa Ditangkap Satresnarkoba Polresta Bengkulu

Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah:

"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.

BACA JUGA:Cara Mudah Mengaktifkan DANA Paylater, Bisa Dipakai dalam Keadaan Sulit

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehat”.

Maksud hadits laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik. 

BACA JUGA:Dewan Pers Ingatkan Partai Politik dan Penyelenggara Pemilu Jangan Pelit Informasi

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.

Bila seorang Muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama, menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.

Kedua, tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.

BACA JUGA:Pelopor Keselamatan Dalam Berkendara, Astra Motor Bengkulu Mengadakan Edukasi Safety Riding

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: