Keangkeran Gunung Kawi yang Dipercayai Orang Bisa Bawa Hoki

Keangkeran Gunung Kawi yang Dipercayai Orang Bisa Bawa Hoki

Pengunjung Makam Gunung Kawi yang berada pada ketinggian sekitar 800 m dari permukaan laut itu, datang dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, pria atau wanita. Ada pegawai, pengusaha, pejabat, tokoh atau pemimpin masyarakat dan ju--

BENGKULUEKSPRESS.COM - Di balik indahnya pesona alam pegunungan, terselip sebuah aktivitas peziarahan yang tak pernah putus sejak puluhan tahun lalu. Kala senja tiba, siratan nuansa cahya mentari yang berangkat ke peraduan membayang elok di ufuk barat. Kicau burung-burung berebut tempat bertengger berpadu dengan eretan suara belalang, menggores kalbu.

Sungguh mati, ini bukan kecap untuk mengundang wisman (wisatawan mancanegara). Apalagi upaya untuk mengatrol jumlah wisman dalam rangka Visit Indonesia Year 1991, yang diduga terpengaruh gara-gara meletusnya Perang Teluk.

BACA JUGA:Ini Bahayanya Ketika Bayi Tidur Satu Ranjang dengan Orang Tua

Kalimat-kalimat rada puitis itu cumalah upaya pelukisan suasana sebuah tempat peziarahan terpencil, tapi kondang, nun di lereng Gunung Kawi (2.651 m), sekitar 40 km sebelah barat Kota Malang, Jawa Timur.

Makam Gunung Kawi. Begitulah merek dagang tempat itu dikenal. Suasana alam yang dilukiskan R. Soelardi Soerjowidagdo, dalam buku petunjuk "resmi" tentang tata cara ziarah dan riwayat Makam Gunung Kawi yang ditulisnya itu, memang tidak terlalu dibesar-besarkan.

Malah masih bisa ditambah lagi dengan unsur lain: hawa sejuk, udara bersih komplet dengan sejumlah penginapan dan hotel yang representatif, warung makan, restoran, dan fasilitas lain yang memadai. Pokoknya, soal itu rasanya tak perlu ditanya lagi. Semua beres.

BACA JUGA:Kondisi Air Seperti Apa yang Baik untuk Memandikan Bayi?

Mau piknik atau berziarah? Itu terserah. Yang jelas, sejak puluhan tahun lalu Makam Gunung Kawi begitu kondang dan banyak dikunjungi para petualang ziarah yang inginngalop berkahdi sana.Konon, berkah apa saja boleh diminta. Keselamatan, enteng jodoh, lancar rezeki, ingin dapat anak atau harapan diwangsiti nomor kode buntut.

Markas lelembut

Sejak dari kapan-kapan yang namanya kuburan, makam,pesareanatau entah apa namanya, umumnya berkonotasi angker, seram dan Iain-lain yang bisa bikin badan meriang. Konon, menurut yang diyakini sementara orang, kuburan itu merupakan markas segala macam marga lelembut atau roh halus, bahkan pos hantu berkumpul.

Tapi, yang ini rada lain. Berkesan mewah, berhiaskan lampu-lampu kristal megah, berlantai karpet merah, dengan bangunan berbentuk nisan raksasa, daya angker yang melekat pada sosok Makam Gunung Kawi seperti cair.

BACA JUGA:Benarkah Kebiasaan Membedong Penyebab Kelainan Tulang Kaki X dan O pada Anak?

Padahal seperti umumnya areal sebuah kuburan Jawa, makam itu pun dikepung pohon-pohon beringin dan entah pohon apa lagi yang besar-besar dan rimbun. Meski begitu, suasana khas sebuah kuburan suma sekali bukannya tak ada.

Suasana itu akan tercium tatkala orang memasuki ruangan tempat batu nisan berada. Aroma asap kemenyan yang berbaur dengan wangi asap hio dan harum bunga mawar, mau tak mau akan membawa pikiran orang ke alam magis dan sakral.

Namun, ruangan seluas 300 m2 yang mampu menampung hampir seribu manusia duduk bersila itu berubah pengap, manakala tiba saatnya peziarah memasuki pendopo makam untuknyekardan menyampaikan maksudnya lewat Mbah Asim Nitiredjo, sang juru kunci.

Waktu untuk berziarah memang diatur. Entah apa maksudnya. Pagi dimulai pukul 09.00, siang 14.00 dan malamnya 19.00. Sedangkan khusus bagi mereka yang mau berziarah keliling pendopo makam, dijatah mulai pukul 24.00 - 01.00.

BACA JUGA:PLN UID S2JB Raih Penghargaan ISDA atas Kontribusi Pemberdayaan Perempuan melalui Pempek Balap Jambi

Jumlah pengunjung atau peziarah memang agak mencolok. Pada hari-hari biasa saja, makam yang kondangnya sebagai tempat berburu hoki itu didatangi ratusan orang. Apalagi ketika tiba malam Jumat Legi atau Senin Pahing, yang diyakini oleh yang percaya sebagai malam-malam paling afdol buat ngalap berkah,jumlah pengunjung melejit. Sejak pagi hingga petang hari arus anak manusia seperti tak putus-putus.

Tak heran jika malam-malam seperti itu, sekitar 5,000 orang tumplek blek di sana. Jumlah itu bakal mencapai klimaksnya pada tanggal 12 Suro (Muharam) setiap tahunnya, ketika berlangsung tahlil akbar, upacara khusus memperingati wafatnya salah seorang yang dimakamkan di sana.

Ketika itu jumlah pengunjung bisa menembus angka belasan ribu. "Kompleks makam seluas 1 ha itu seperti tak mampu menampung membludaknya pengunjung," kata seorang penduduk setempat.

Pengunjung Makam Gunung Kawi yang berada pada ketinggian sekitar 800 m dari permukaan laut itu, datang dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak sampai orang tua, pria atau wanita. Ada pegawai, pengusaha, pejabat, tokoh atau pemimpin masyarakat dan juga rakyat kecil.

BACA JUGA:Ingin Meluluhkan Hati Seseorang, Amalkan Doa Berikut Ini

Mereka bukan hanya berasal dari Kota Malang, Surabaya atau daerah-daerah lain yang berdekatan dengan lokasi makam, tetapi juga dari berbagai penjuru tanah air. Malah dari catatan buku tamu, bisa dijumpai pengunjung asal mancanegara.

Dari Singapura, Malaysia, RRC, Taiwan, Hong Kong, Jepang, India, Kangda, AS, Suriname, Inggris, Belanda, Jerman Barat, Australia, bahkan dari berbagai daerah di Timur Tengah. Sulit dilacak apa maksud kedatangan para wisnian ini.

Keturunan raja-raja
Dari sisi luasnya pengunjung paling tidak gampang diduga sampai di mana gaung popularitas Makam Gunung Kawi itu bergema. Makam Gunung Kawi sebenarnya tak beda dengan tempat-tempat peziarahan lain yang bertaburan di Jawa. Seperti di Gunung Jati, Gunung Muria, Gunung Kemukus atau sejenisnya, aktivitas di sana juga berpusat pada makam orang yang dianggap punyadoyo linuwihatau “kesaktian”.

Yang jadi bintang pujaan spiritual di sana ada dua, Mbah Djoego dan Mbah Imam Soedjono. Konon kabarnya kedua eyang itu dimakamkan dalam satu liang lahat.

BACA JUGA:Mobil Bekas Sedan Honda Accord, Bawa Modal Rp 80 Jutaan Bawa Pulang

Menurut pakem “resmi” seperti dikemukakan oleh R. Soelardi Soerjowidagdo (50), putra juru kunci makam yang masih ada hubungan darah dengan R.M. Imam Soedjono keduanya tokoh kharismatik asal Kerajaan Mataram abad ke-19.

Djoego hanyalah nama samaran. Aslinya Kanjeng Kiai Zakaria II, keturunan penguasa Mataram Surakarta yang memerintah pada abad ke-18. Sedangkan Raden Mas Iman Soedjono, keturunan penguasa Keraton Mataram Yogyakarta yang berkuasa pada abad yang sama.

Semasa hidup, keduanya dikenal sebagai tokoh keagamaan, pendakwah (dai), dan juga sebagai pemimpin dan panutan masyarakat yang dekat dengan rakyat kecil, terutama di Jawa Timur. Mereka pun disegani karena sifat-sifat patriotiknya. Keduanya, konon, adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro di zaman perang melawan Belanda (1825 - 1830).

BACA JUGA:Bagikan 200 Sertipikat Tanah PTSL, Gubernur Rohidin: Ini Program Riil yang Dirasakan Masyarakat

Kiai Zakaria II sendiri adalah cicit dari Sunan Paku Buwono I, penguasa Keraton Mataram tahun 1705 - 1719. Sedangkan R.M. Iman Soedjono adalah cucu Bendoro Pangeran Haryo Balitar, dan cicit Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bertahta di Keraton Yogyakarta tahun 1755 - 1792.

Setelah Diponegoro tertangkap Kompeni di Magelang, anggota laskarnya kocar-kacir dan pecah. Dalam pengembaraannya ke arah timur, Kiai Zakaria II sampai di Desa Sanan, Kesamben, Blitar (Jatim). la menyandang nama samaran Sadjoego, yang arti harfiahnya sendirian, agar tidak diketahui musuh (Belanda). Di sanalah ia menetap, hingga meninggal pada tanggal 22 Januari 1871.

Jenazahnya baru dikebumikan empat hari kemudian, Kamis Kliwon 25 Januari 1871, mengingat perjalanan dari Blitar ke Gunung Kawi bukan perjalanan yang mudah. Iring-iringan pembawa jenazah harus melalui jalan setapak, menembus hutan lebat, lereng-lereng terjal dan tebing-tebing curam. Sebelum meninggal, ia berpesan kepada Iman Soedjono agar jazadnya nanti dikuburkan di lereng Gunung Kawi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: