Harla ke-80, Kejati Bengkulu Gelar Seminar Hukum Dalam Penanganan Perkara

Harla ke-80, Kejati Bengkulu Gelar Seminar Hukum Dalam Penanganan Perkara-foto: Anggi Pranata-
BENGKULUEKSPRESS.COM - Dalam rangka memperingati Hari Lahir Adhyaksa (Harla) ke-80, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menggelar seminar hukum bertema “Optimalisasi Pendekatan Melalui Follow The Asset dan Follow The Money Melalui DPA dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana”, Senin (25/8/2025).
Seminar tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (Unib) Prof. Herlambang, serta akademisi. Selain itu, kegiatan juga dihadiri mahasiswa dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) se-Provinsi Bengkulu.
Kepala Kejati Bengkulu, Victor Antonius Saragih Sidabutar, menyampaikan bahwa mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau perjanjian penundaan penuntutan, meskipun belum diatur dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, memiliki konsep menarik untuk dipertimbangkan.
“Diskusi ini menjadi referensi atau kajian ilmiah yang nantinya bisa diajukan ke Kejaksaan Agung sebagai alternatif penyelesaian perkara melalui DPA. Terlebih, dalam KUHP baru sudah ada ruang penyelesaian perkara bagi korporasi pelaku tindak pidana,” ujar Kajati Bengkulu.
BACA JUGA:Kadis DKP Kota Bengkulu Ditetapkan Jadi Tersangka Tabrak Lari
BACA JUGA:Curi Ternak di Mukomuko, Pelaku Berhasil Ditangkap Tim Resmob Macan Gading Polresta Bengkulu
DPA dinilai relevan dengan sistem hukum Indonesia karena setidaknya ada empat alasan. Pertama, selaras dengan budaya hukum Indonesia yang menjunjung tinggi kejujuran serta permintaan maaf sesuai nilai-nilai Pancasila. Kedua, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 yang menekankan pemulihan keuangan negara akibat korupsi.
Ketiga, mekanisme perampasan aset melalui putusan pidana dan gugatan perdata dinilai tidak optimal karena kompleksitas pelaksanaan putusan pengadilan. Sedangkan keempat, DPA dapat memastikan komitmen korporasi memperbaiki tata kelola perusahaan sesuai prinsip Good Corporate Governance sehingga tidak terjadi pengulangan tindak pidana.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana FH Unib, Prof. Herlambang, menyambut baik gagasan penyelesaian pidana melalui DPA.
“Mekanisme DPA sangat mungkin diterapkan di Indonesia. Bahkan dalam Rancangan KUHP baru, konsep ini sudah mulai masuk sebagai salah satu pendekatan hukum yang bisa diusulkan,” ungkapnya.
Dengan adanya diskusi ini, Kejati Bengkulu berharap mekanisme DPA dapat menjadi salah satu alternatif dalam penanganan perkara, khususnya terkait tindak pidana korporasi, guna mewujudkan penegakan hukum yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: