Ichwan Yunus Meninggalkan Kampung Halaman (Bagian 3)

Ichwan Yunus Meninggalkan Kampung Halaman (Bagian 3)

Tidak Fokus, Tidak Naik Kelas Memasuki bulan ketiga di Bengkulu.  Ichwan Yunus muda mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar tempat ia tinggal.  Ia memiliki banyak teman dan akrab dengan teman-teman sekolah.  Saat itu naluri kekanak-kanakannya mulai bangkit. Ia pun tidak bisa menahan keinginannya untuk bermain dan aktif berolah raga. Kegemaran berolah raga ini sudah terbentuk sejak kecil di kampung halamannya, kendati pun dengan berbagai keterbatasan, mulai dari alat atau media olah raga sampai pada tehnik bermainnya. Hampir semua olah raga yang biasa dimainkan saat itu digemari oleh Ichwan. Namun yang paling ia gemari adalah sepak bola, volly ball. Setiap sore Ichwan tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk berolah raga bersama kawan-kawan sepermainannya. Memasuki bulan ke enam sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Bengkulu, Ichwan semakin larut dalam rutinitas pekerjaan rumah tangga, sekolah dan bermain sambil berolah raga. Ingatan terhadap orang tua, keluarga, teman-teman sepermainan di kampung halamannya semakin hilang, digantikan oleh kesibukan menjalankan rutinitas kesehariannya. Sebagai remaja kecil yang masih dalam masa pertumbuhan, tanpa ditunjang dengan gizi yang cukup, rupanya lama kelamaan Ichwan mulai kewalahan menjalani ketiga rutinitas di atas. Tanpa ia sadari salah satu tugas pokoknya mulai terabaikan, yaitu sekolah. Disela-sela pekerjaan rumah tangganya, terutama siang sampai sore hari sepulang sekolah, ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatannya untuk bermain dan berolah raga bersama dengan teman-temannya. Praktis pada malam hari yang seharusnya dipergunakan untuk belajar atau mengulangi pelajaran di sekolah tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini disebabkan rasa lelah dan letih dan tidak kuasa menahan kantuk. Sekalipun lchwan tidak pernah mengeluh, lama kelamaan ia mulai merasakan terbebani oleh pekerjaan yang  harus diselesaikannya setiap hari.  Bukan karena beratnya pekerjaan, tetapi lebih pada beban psichologis karena terjebak pada rutinitas dan keharusan menyelesaikan pekerjaan. Dibanding pekerjaan yang dilakukannya ketika ia masih berada di sisi orang tuanya. Betapa pun beratnya pekerjaan yang dilakukannya ia tidak merasa terbebani oleh keharusan menyelesaikannya. Ia selalu mengerjakannya dengan sukarela dan juga tidak terlalu dibebani oleh rutinitas. Sekarang betul-betul berbeda, jangankan tidak menjalankan hal-hal yang sudah menjadi rutinitasnya. Terlambat sedikit atau kurang sempurnanya pekerjaan saja, sudah dibebani rasa bersalah yang luar biasa. Memang keluarga tempat ia tinggal secara langsung tidak pernah memperlakukan lchwan dengan tidak baik, seperti menyuruh dengan paksa, intimidasi atau bentuk-bentuk penekanan yang lain. Namun karena lchwan menyadari betul bahwa sekarang ini ia cuma menumpang hidup di rumah orang sekalipun masih keluarga dekatnya maka wajar saja kalau ia harus berhati-hati jangan sampai mengecewakan orang yang punya rumah tempat ia menggantungkan hidup.  Apalagi jika ia mengingat kampung halamannya nan jauh di sana, kepada siapa lagi tempat ia mengadu. Perasaan takut bersalah inilah yang selalu membayangi kehidupan lchwan pada paroh tahun pertama keberadaannya di Bengkulu. Belajar dari Kegagalan. Ichwan tidak begitu menyadari kalau telah terjadi ketidakseimbangan porsi perhatian terhadap ketiga rutinitas seperti tersebut di atas. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan itu terjadi justru pada tugas utamanya yaitu sekolah. Perhatiannya terhadap sekolah semakin menipis, bukan hanya dari aspek keseriusan dalam belajar di kelas atau mengerjakan pekerjaan sckolah di rumah, tapi Ichwan pun sudah mulai sering terlambat, bahkan sering juga tidak masuk sekolah sama sekali. Di mata guru dan teman-temannya, sebenarnya Ichwan adalah pribadi yang menyenangkan. Ia seorang sosok periang, familiar, humoris dan perhatian. Tidak heran kalau menurunnya semangat belajar Ichwan yang berdampak pada buruknya prestasi belajar di kelas, tidak luput dari pengamatan guru-gurunya. Sering ia dipanggil kemudian diberi nasehat dan motivasi oleh gurunya. Begitupula dengan teman-teman sekelasnya ikut pula merasakan prihatin dan menunjukkan empatinya terhadap apa yang dialami Ichwan ketika itu. Tetapi Ichwan tetap saja tidak berdaya untuk keluar dari permasalahan ini. Sampai pada akhirnya ia tersentak seolah tak pcrcaya ketika mengetahui ia ketinggalan kelas, barulah Ichwan menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan yang besar. Peristiwa kegagalan ini sempat menggoyahkan tekad dan semangat Ichwan untuk tetap melanjutkan sekolahnya. Ia betul-betul menyesali kesalahannya yang selama ini tidak terlalu menganggap panting akan keberhasilan studinya. Kini ia bingung antara meneruskan sekolahnya dengan resiko tetap di kelas satu dan alangkah malunya ia dengan kawan-kawannya yang sudah hengkang ke kelas dua, atau berhenti sekolah sama sekali. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk pulang ke kampung halaman. Kegundahan itu tidak terlalu lama, Tiba-tiba ia tersentak seolah baru tersadarkan dari mimpi buruknya, ia segera mengingat tujuan awal ia melangkahkan kakinya meninggalkan kampung halamannya.  Bahkan dari jauh hari sebelum menempuh ujian SR ia sudah meminta izin kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolahnya ke Bengkulu. Semangatnya kini pulih kembali dan membulatkan tekadnya untuk tetap melanjutkan sekolah. Tekad Ichwan semakin bulat setelah mendapat masukan, nasehat dan motivasi dari kakaknya Sariani, yang ketika itu sekolah di SGB dengan kata-kata singkat padat: “Wan, kali ini kamu boleh gagal, tapi berikutnya tidak boleh.” Kalimat ini benar-benar terhunjam dalam hati sanubari Ichwan sehingga muncullah motto baru dalam hidupnya: Sekali gagal oke, dua kali no !. Ichwan tidak pernah mencari kambing hitam sebab kegagalannya, menurutnya yang paling bersalah dalam hal ini adalah dirinya sendiri. Walaupun diakui oleh Ichwan bahwa rutinitas pekerjaan rumah tangga tempat ia tinggal dan perasaan takut bersalah yang berlebihan ke pada majikannya adalah salah satu penyebab ia melalaikan sekolah.  Bukan berarti ia menyalahkan orang lain, dialah yang salah, karena telah melalaikan sekolah yang seharusnya menjadi perhatian utamanya.(bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: