Kampung Cina Kota Bengkulu Tempo Dulu Jaya Dimasa Lalu, Ditinggalkan Dimasa Kini

Kampung Cina Kota Bengkulu Tempo Dulu Jaya Dimasa Lalu, Ditinggalkan Dimasa Kini

SEBELUM berpindah ke kawasan Jalan Suprapto dan Lingkar Timur, pusat perdagangan Kota Bengkulu berada di Kelurahan Malabro, tepatnya di kawasan Kampung Cina. Lokasinya yang dekat dengan Pelabuhan Tapak Paderi dan Benteng Marlborough, menjadikan Kampung Cina menjadi lalu lintas perdagangan di Provinsi Bengkulu.

Rewa Yoke Desthomson, Kota Bengkulu

Jika anda berkunjung ke Kampung Cina yang lokasinya tidak jauh dengan Pantai Tapak Paderi, anda tidak akan menduga daerah itu dahulunya adalah pusat perniagaan. Kini, di Kampung Cina hanya tersisa bangunan-bangunan khas Cina yang masih berdiri, yang sudah banyak mengalami perombakan di sana-sini.

Darman (60), salah satu warga keturunan Tionghoa, menceritakan bagaimana kejayaan Kampung Cina di zaman dahulu. Dahulunya Kampung Cina dihuni warga keturunan Tionghoa, yang sengaja datang ke Bengkulu untuk berdagang.

\"Kampung Cina ini memang banyak dihuni oleh orang-orang keturunan Tionghoa yang dari dulu sudah bermukim disini tepatnya sejak masa penjajahan Kolonial Inggris,\" ujar Darman, menceritakan masa kejayaan kakek buyutnya di Kampung Cina, kemarin (22/12).

Kampung Cina yang berada persis di depan gerbang Benteng Marlborough merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris sekaligus gudang penyimpanan rempah. Hal itu mempengaruhi aktivitas perdagangan di daerah itu. \"Menurut cerita, di sekitar daerah ini adalah pusat pemerintahan Inggris dan gudang untuk menyimpan rempah-rempah Inggris. Jadi itu sangat mempengaruhi perekonomian daerah sekitar khususnya Kampung Cina,\" jelas pria yang bernama asli Xhuenqin yang berarti pembawa keberuntungan ini.

Menurut Darman, para perantau dari daratan Cina yang kebanyakan adalah pedagang mulai masuk ke Bengkulu pada abad ke-17 sejak penjajah Inggris membuka Bengkulu sebagai kota perdagangan rempah-rempah khususnya lada.

\"Di sini, para pedagang yang berjumlah ratusan ini membangun rumah dengan arsitektur Cina yang umumnya sama antara satu dengan lain,\" ujarnya.

Rumah dan toko di pecinan itu berderet di sepanjang Jalan Panjaitan dan Jalan Pendakian, Kota Bengkulu. Namun kini, sedikit bangunan yang masih mempertahankan arsitektur lama berupa rumah berbahan kayu. Sebagian besar sudah berupa rumah tembok.

\"Banyak rumah arsitekturnya sudah tidak asli lagi seperti dulu, maklum, kebakaran pada tahun 1990-an telah menghancurkan rumah-rumah tua berbahan kayu di daerah ini,\" sambungnya.

Memang tidak begitu banyak, kurang lebih hanya ada sekitar 20 Rumah yang masih mengunakan arsitektur khas Cina di kawasan kampung tua Cina.

\"Umumnya semua rumah asli arsitektur Cina disini memiliki 2 lantai dengan atap yang melengkung ke atas, dan bentuk badan rumahnya juga agak memanjang ke belakang seperti rumah-rumah lama yang ada di Cina pada umumnya. Namun sudah banyak sekali perubahan generasi yang perlahan juga mengubah bentuk asli rumah-rumah disini,\" imbuhnya.

Warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Kampung Cina Kota Bengkulu mayoritas berasal dari dua daerah, yakni Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Muara Aman, Kabupaten Lebong. \"Mereka yang datang dari Manna, bermata pencarian dari sektor perkebunan. Sedangkan mereka yang datang dari Muara Aman kebanyakan bekerja di tambang emas,\" sambungnya.

Darman mengisahkan, jauh sebelum ia lahir di pecinan Bengkulu sudah menjadi pusat perniagaan Kota Bengkulu. Posisinya yang dekat dengan pelabuhan di Pantai Tapak Paderi membuat aktivitas warga berlangsung 24 jam tanpa henti.

\"Karena wilayah pelabuhan jadi aktivitas sangat ramai dan padat setiap harinya. Aktivitas nelayan dan perekonomian di sekitar pelabuhan pun sibuk dan ramai,\" ungkapnya.

Masa tahun 1970-an merupakan periode kejayaan kampung Cina. Dulu sebagian besar warga Bengkulu pergi kesini untuk berbelanja. Beragam jenis barang diperdagangkan mulai dari makanan, sembako, pakaian, peralatan elektronik dan rumah tangga.

\"Aktivitas perdagangan sangat ramai karena Di sekitar pecinan berdiri gudang-gudang dengan pintu yang besar-besar untuk menampung hasil bumi dari para petani di Bengkulu seperti kopi, cengkeh, sahang atau lada, dan karet. Bongkar muat kapal barang dan arus penumpang yang datang dan pergi dari pelabuhan menjadi pemandangan sehari-hari,\" jelasnya lagi.

Ia juga menambahkan, dulu ada sekitar 10 kapal kecil berkapasitas penumpang 20-30 orang yang melayani rute Padang- Bengkulu yang masih beroperasi.

\"Dulu ada kapal besar bernama Kuan Maru yang berlayar dari Padang-Bengkulu-Jakarta. Banyak anak-anak termasuk saya yang biasa berenang hingga ke bawah kapal tongkang yang membawa penumpang dari kapal Kuan Maru ke pelabuhan, karena kapal yang besar tidak bisa merapat ke pelabuhan Bengkulu karena dasar alur dipenuhi karang,\" ujar Darman.

Masa keemasan kampung Cina sebagai pusat perniagaan memudar pada tahun 1990-an. Pusat-pusat perekonomian baru bermunculan seiring perkembangan kota.

\"Dulu, kebanyakan perdagangan berpusat di sini. Banyak pedagang yang menjual aneka kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, singkong, dan hasil bumi lainnya. Namun, Pusat perekonomian lain sudah banyak dibangun di kawasan kota, Selain itu kawasan kampung Cina beberapa kali ludes karena terbakar. Banyak penghuni akhirnya pindah dan meninggalkan rumahnya begitu saja. Beberapa rumah dijadikan sarang walet sementara yang lain dibiarkan saja,\" tuturnya.

Darman menuturkan, seiring perkembangan zaman, Kota Bengkulu terus mengalami perluasan. \"Pengembangan kota diarahkan ke jalan Lingkar Timur dan Barat yang dibangun oleh Gubernur Bengkulu ke-3, Suprapto. Kedua jalan lingkar itu menjadi pusat perekonomian baru. Para pengusaha pun mengalihkan bisnisnya ke lokasi itu. Praktis, pecinan yang dulu ramai perlahan menjadi sepi. Hanya tinggal beberapa toko saja yang ada. Sudah tidak sebanyak dan seramai dulu\" ujarnya

Pada tahun 2008 pemerintah kota Bengkulu membangun sebuah gapura naga berarsitektur Cina di kawasan ini.

\"Lampion-lampion berwarna merah menyala dipasang di penjuru kampung. Nyatanya hal ini tidak mampu membangkitkan kehidupan kampung Cina. Kampung ini masih saja mati. Seperti lampion-lampion di malam hari dan semakin pudar serta usang ditelan zaman. Kampung Cina hanya ramai menjelang Imlek tiba, itupun hanya tampak di sebuah vihara Buddha di tengah-tengah kampung. Umat Tridharma akan beribadah untuk memperingati tahun baru \" sambungnya.

Lampion yang mengiasi sepanjang jalan kawasan Kampung Cina terlihat lusuh. Lampion lusuh yang menggelantung di sepanjang jalan seolah mewakili wajah kawasan Kampung China di Kota Bengkulu.

\"Roda ekonomi yang dulunya pesat sekali di daerah ini sama sekali tidak terlihat lagi. Padahal, keberadaan Kampung Cina itu tak lepas dari sejarah terbentuknya Kota Bengkulu. Kami hanya berharap semoga kedepannya ada perbaikan dan program dai pemerintah Kota Bengkulu untuk mengelola kawasan ini menjadi kawasan wisata yang menarik,\" ujarnya.

Sementara Buyung (51), warga Malabro, mengatakan, pecinan Bengkulu bisa dijadikan sebagai tujuan wisata sejarah. Apalagi lokasinya yang berdekatan dengan Benteng Marlborough dan peninggalan Inggris lainnya.

\"Pemerintah lebih cenderung membangun pariwisata yang berorientasi proyek daripada berpikir kreatif memberdayakan potensi yang ada. Bisa ditebak, itu karena pada pariwisata berorientasi proyek itulah dimungkinkan pengambilan keuntungan pribadi pada lapisan elite pemerintahan,\" katanya.

Akhirnya, sekarang Kampung China di Kota Bengkulu pun seakan hidup segan mati tak mau. \"Semoga pergantian menuju tahun depan akan membawa perubahan ke arah yang positif bagi keberadaan kampung Cina ini. Sebab seperti kata Bung Karno, \'Jasmerah\' jangan suka melupakan sejarah. Kita tentunya harus ingat, Kampung Cina pernah menjadi saksi kejayaan dari kegiatan perdagangan di Bengkulu,\" ujarnya mengakhiri cerita panjangnya.(***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: