HONDA BANNER
BPBDBANNER

Sengketa Perdata yang Dipaksakan Menjadi Pidana: Catatan Kritis Atas Kasus Ahmad Kanedi

Sengketa Perdata yang Dipaksakan Menjadi Pidana: Catatan Kritis Atas Kasus Ahmad Kanedi

Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu menetapkan mantan Wali Kota Bengkulu periode 2007-2012 Ahmad Kanedi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Mega Mall. -(foto: Anggi)-

Oleh: MUSPANI, SH., MH.

Dalam pusaran kasus Mega Mall Bengkulu yang menyeret nama Ahmad Kanedi—mantan Wali Kota Bengkulu—ke dalam status tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu, publik harus jernih memisahkan antara masalah hukum perdata dan pidana. Sebab dalam kasus ini, batas itu tampaknya diabaikan secara sadar.

Saya ingin mengajak masyarakat berpikir kritis: apakah benar terjadi korupsi, atau hanya terjadi salah tafsir atas kontrak dan kebijakan masa lalu?

Kronologi Singkat: Di Mana Masalahnya?

Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Bengkulu dengan pihak swasta—yang bertujuan membangun Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM)—ditandatangani tahun 2004 oleh wali kota sebelumnya, lengkap dengan persetujuan DPRD dan akta notaris. Perjanjian ini mengatur bahwa pihak swasta dapat membangun di atas lahan milik Pemkot yang berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Nantinya, jika pembangunan dimulai, baru akan terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Anehnya, Ahmad Kanedi—yang baru menjabat pada 2007, bertahun-tahun setelah perjanjian diteken—dituduh membiarkan terjadinya “pengagunan SHGB”, padahal objek hukum yang disebut tidak pernah ada.

BACA JUGA:Kasus Jaksa Jovi Andrea, Permasalahan UU ITE Dalam Perspektif Regulasi Komunikasi di Indonesia

BACA JUGA:Menghindari Politik Identitas di Balik Label Putra Daerah dalam Pilkada Bengkulu

Dimensi Perdata yang Diubah Jadi Pidana

Sengketa sebenarnya dalam kasus ini adalah ketidakmenerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) oleh Pemkot dari bagi hasil mall yang dioperasikan swasta. Dalam perjanjian, jika terjadi pelanggaran oleh investor, penyelesaian dilakukan melalui jalur perdata, tepatnya di Pengadilan Negeri Bengkulu.

Inilah akar kekeliruan besar: wanprestasi (ingkar janji) investor dijadikan sebagai alasan untuk menjerat wali kota sebagai tersangka pidana korupsi. Padahal, hukum perdata mengenal sanksi ganti rugi, bukan pidana penjara.

Kriminalisasi Administrasi: Bahaya Laten dalam Hukum

Dalam praktik hukum kita, sering terjadi pejabat publik dikenai pasal korupsi hanya karena dianggap lalai atau tidak cukup tegas mengawasi mitra kerja sama. Ini dikenal sebagai “pasal karet” dalam Pasal 3 UU Tipikor: penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

Namun yang dilupakan adalah: dalam negara hukum, tidak semua pelanggaran administratif otomatis menjadi tindak pidana. Harus ada niat jahat (mens rea) dan keuntungan pribadi (self-enrichment) yang terbukti nyata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: