Menghindari Politik Identitas di Balik Label Putra Daerah dalam Pilkada Bengkulu

Menghindari Politik Identitas di Balik Label Putra Daerah dalam Pilkada Bengkulu

Rajman Azhar (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu)-(ist)-

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bengkulu 2024 baik itu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, serta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati menjadi ajang yang menarik untuk mencermati fenomena politik identitas yang kerap kali dibalut dengan istilah putra daerah. Label ini sering digunakan untuk menonjolkan kandidat tertentu dengan latar belakang suku asli, sementara kandidat lain dianggap sebagai pendatang, menciptakan narasi eksklusif yang berpotensi memecah belah.

Di tengah proses demokrasi, politik identitas tidak jarang digunakan untuk menggiring opini publik. Padahal sebenarnya politik identitas itu merupakan warisan kolonial untuk mengkerdilkan suku pribumi.

Ulum dan Arifullah (2017) mengutip pernyataan Jefferey Sissons,  istilah  putra  daerah  atau  penduduk  pribumi  sebenarnya merupakan produk dari rasisme  kolonial, atau  dalam  kata  lain  menurut  Michelle  Harris, Bronwyn  Carlson   dan Evan   Poata-Smith,   merupakan   ciptaan bangsa kolonial untuk mengkategorisasi masyarakat dalam sebuah pembatasan yang negatif dalam upaya mengalienasi suku pribumi.

Haboddin (2012) menyebut politik identitas sebagai upaya menciptakan garis pembeda antara “kami” dan “mereka,” yang sering kali digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Dalam konteks Pilkada Bengkulu, istilah putra daerah menjadi simbol yang mempertegas perbedaan antara suku asli dan pendatang. Narasi ini tidak hanya memengaruhi persepsi publik, tetapi juga meningkatkan sentimen primordialisme yang bertentangan dengan semangat nasionalisme.

BACA JUGA:Keberagaman Budaya, Agama dan Bahasa dari Dua Perspektif

BACA JUGA:Menguatkan Toleransi Beragama di Desa Air Petai: Perspektif Hindu dalam Merajut Kebersamaan

Politik Identitas dalam Bingkai Otonomi Daerah

Politik identitas berbasis kesukuan mulai menguat sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999. Azra (2001) menilai bahwa otonomi daerah sering memunculkan sentimen lokal yang mengarah pada penguatan identitas etnis, seperti istilah putra daerah. Hal ini cenderung mengurangi integritas nasional dan meningkatkan eksklusivitas lokal.

Sementara Dhani (2019) menyatakan, politik identitas yang terjadi di Indonesia, berkembang kuat ketika pilkada dilaksanakan sejak tahun 2010 hingga sekarang. 

Lebih jauh lagi, Kambo (2015) menjelaskan bahwa konsep putra daerah sering kali digunakan sebagai alat politik untuk menggugurkan kandidat yang dianggap tidak memiliki akar budaya lokal. Ironisnya, konsep ini tidak memiliki dasar akademik yang kuat dan cenderung dijadikan retorika semata untuk memobilisasi dukungan politik.

Dampak Politik Identitas di Pilkada Bengkulu

Keragaman etnis di Bengkulu, yang menjadi kekayaan budaya daerah ini, justru berisiko menjadi sumber konflik ketika politik identitas dibiarkan tumbuh subur. Narasi "Bengkulu harus dipimpin putra daerah" bisa memperkuat eksklusivitas kelompok tertentu dan mengabaikan kemampuan kandidat lain yang berpotensi membawa perubahan.

Praktik politik identitas juga dapat menciptakan hegemoni kelompok mayoritas atas minoritas, sebagaimana dikemukakan oleh Forgacs (2000). Dalam konteks Pilkada, ini dapat memicu diskriminasi dan mengancam kerukunan sosial. Pilihan pemimpin semestinya didasarkan pada kompetensi dan visi-misi yang jelas, bukan latar belakang kesukuan semata.

BACA JUGA:Mahasiswa UINFAS Bengkulu Ikuti Sekolah Kebangsaan Tular Nalar 3.0 Mafindo Bengkulu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: