Multikultur di Desa Air Petai Bengkulu dalam Perspektif Filsafat dan Komunikasi

Multikultur di Desa Air Petai Bengkulu dalam Perspektif Filsafat dan Komunikasi

Afrahur Risqi Akbari, S.Tr.Han (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu)-(ist)-

Provinsi Bengkulu yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatra, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya. Keragaman ini tidak hanya tercermin dalam bahasa, adat istiadat, dan seni, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya yang beragam. Bengkulu memiliki perpaduan budaya yang unik hasil interaksi antara suku asli, pendatang, dan pengaruh kolonial yang membentuk identitas sosial dan budaya daerah ini. Suku asli yang mendiami Bengkulu antara lain suku Rejang, Melayu, Serawai, dan Lembak.

Suku-suku ini memiliki kekayaan budaya masing-masing yang masih terjaga hingga kini. Misalnya, suku Rejang dikenal dengan seni tari tradisional dan musik gamelan yang khas, serta rumah adat yang disebut "Rumah Panggung". Mereka juga memiliki sistem kekerabatan yang kuat, dengan adat istiadat yang mengatur kehidupan sosial dan ekonomi mereka.

Sebagai sebuah wilayah yang kaya akan keragaman budaya, Provinsi Bengkulu tidak hanya menawarkan keunikan dalam aspek sosial dan kultural, tetapi juga menjadi cermin bagi kita untuk merenungkan makna keberagaman itu sendiri. Dalam perspektif filsafat, keragaman budaya di Bengkulu mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana perbedaan—baik dalam bahasa, tradisi, maupun pandangan hidup—dapat menjadi sumber kekuatan dan saling pengertian, bukan pemecah belah, Dalam kehidupan bangsa yang multikultural dituntut adanya kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas dalam kehidupan bermasyarakat.

BACA JUGA:Menghindari Politik Identitas di Balik Label Putra Daerah dalam Pilkada Bengkulu

BACA JUGA:Meminimalisir Konflik dan Menjaga Keharmonisan Antar Budaya

Kearifan yang demikian akan terwujud jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai keniscayaan hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat yang lebih kompleks. (Baharun & Badriyah, 2020).

Perspektif filsafat memberikan pendekatan yang lebih reflektif dan konseptual terhadap keberagaman budaya. Filsafat tidak hanya mencari pemahaman mengenai apa yang terjadi dalam interaksi antara budaya, tetapi juga berusaha menggali mengapa keberagaman budaya itu penting, serta bagaimana kita harus menyikapinya, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks keberagaman budaya, ada beberapa tema filsafat yang bisa dikembangkan lebih lanjut, seperti relativisme budaya, universalitas nilai-nilai moral, etika interaksi antarbudaya, dan potensi dialog antarbudaya.

Penerapan perspektif filsafat tentang keberagaman ini dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat di Desa Air Petai, sebuah desa di Bengkulu yang menggabungkan berbagai elemen budaya lokal dengan saling menghargai perbedaan atau dapat disebut dengan multi kultural, masyarakat multi kultural merupakan masyarakat yang tersusun atas keberagaman dan pelbagai macam budaya yang didalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, budaya, dan kebiasaan yang ditekankan pada saling menerima satu sama lain (Ifa & Lina. 2020). Di desa ini, filosofi hidup berdampingan dalam keragaman diwujudkan melalui praktik gotong-royong, di mana warga dari berbagai latar belakang etnis dan agama bekerja bersama tanpa memandang perbedaan, membangun ikatan sosial yang kuat dan harmonis.

Dalam pemahaman filsafat, relativisme budaya mengajarkan bahwa nilai-nilai, norma, dan praktik budaya tidak dapat dipahami dengan mengacu pada satu standar atau ukuran universal, melainkan harus dilihat dalam konteks budaya yang spesifik. Filsuf seperti Franz Boas dan Margaret Mead, yang mengembangkan teori relativisme budaya, berpendapat bahwa setiap budaya memiliki cara pandang, sistem nilai, dan aturan yang unik, yang hanya dapat dipahami dengan mempelajari konteks sosial, sejarah, dan lingkungan budaya tersebut.

BACA JUGA:Helma Liani Putri, Mahasiswi Universitas Bengkulu Raih Juara 1 Lomba Kesiapsiagaan Bencana 2024

BACA JUGA:Pelajaran Berharga dari Desa Air Petai: Toleransi dan Kerukunan di Tengah Keberagaman

Dengan kata lain, relativisme budaya menolak anggapan bahwa ada budaya yang lebih superior daripada yang lain, dan justru menekankan pentingnya pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan tersebut. Di Desa Air Petai, prinsip relativisme budaya ini diterapkan dengan sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat desa tidak hanya memahami bahwa ada berbagai macam cara hidup, kepercayaan, dan adat istiadat, tetapi mereka juga menerima bahwa tiap kelompok budaya memiliki cara yang sah untuk mengatur kehidupan mereka. Keberagaman tersebut juga menjadi tantangan dalam membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif (Saumantri 2022), tetapi dalam kerangka filsafat relativisme budaya, mereka menghindari penilaian atau asumsi bahwa satu budaya lebih baik daripada yang lain. Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk melihat setiap tradisi sebagai bagian dari kerangka yang membentuk identitas dan kehidupan bersama.

Sebagai contoh, dalam cara mereka mengelola perbedaan agama dan kepercayaan, warga Desa Air Petai tidak memaksakan satu pandangan agama atau keyakinan tertentu, tetapi lebih menekankan pentingnya toleransi dan pemahaman antaragama. Meski warga di desa ini berasal dari latar belakang agama yang berbeda—seperti Islam, Kristen, dan Kepercayaan lokal—mereka merayakan perbedaan ini dengan saling mengunjungi dan berpartisipasi dalam perayaan atau ritual agama yang berbeda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: