Sejarah Haji Pertama di Indonesia! Naik Haji Pakai Kapal Layar selama 2 Tahun

Sejarah Haji Pertama di Indonesia! Naik Haji Pakai Kapal Layar selama 2 Tahun

Gelar haji pertama kali diterapkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1916. --

BENGKULUEKSPRESS.COM -  Pergi haji merupakan impian setiap umat Islam. Bahkan, sejak zaman dahulu, antusias masyarakat untuk menunaikan ibadah haji sangat tinggi walaupun harga kebutuhan pokok naik dan sempat terjeda karena Perang Dunia.
 
Penasaran bagaimana sejarah perjalanan ibadah haji di zaman dahulu, termasuk di era kolonial Belanda? Sejak kapan gelar haji pertama mulai diberlakukan di Indonesia? Yuk kita kupas tuntas kisahnya. Ibadah haji pertama kali diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim A.S. Nabi Ibrahim A.S. pula yang dipercaya untuk membangun Ka’bah bersama putranya, Nabi Ismail, di Mekkah. Namun, siapakah pribumi atau orang Indonesia pertama yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci?

BACA JUGA:Jaman Kolonial, Tangerang Dikenal Pusatnya Topi Bambu Hingga di Ekspor Ke Eropa

 Sebenarnya tidak ada catatan pasti mengenai pribumi yang berhaji pertama kali, namun ada dua sumber yang menceritakan tentang kisah ibadah haji dan diyakini sampai saat ini. Sumber pertama, yaitu dalam naskah kuno “Purwaka Caruban Nagari” dan “Negara Kertabumi”, tercatat bahwa Bratalegawa menjadi orang pribumi pertama yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.
 
Islam diperkirakan masuk ke wilayah Galuh (bagian barat Pulau Jawa) pada abad ke-13 atau sekitar tahun 1380. Lalu ajaran Islam dibawa dan disebarkan Bratalegawa yang merupakan anak dari Raja Galuh. Bratalegawa mendapat gelar sebagai Haji Purwa Galuh atau orang pertama dari Galuh yang melaksanakan ibadah haji.
 
Sementara dalam catatan sejarah lainnya, tepatnya pada era kolonialisme Belanda, Pangeran Abdul Dohhar, yang merupakan putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, disebutkan menjadi orang Indonesia pertama yang melaksanakan ibadah haji.

BACA JUGA:Pengalaman Jadi Modal Penting Delvintor Alfarizi di MXGP Jerman

Kala itu, ia pergi haji pada tahun 1630 menggunakan kapal layar dengan menuju Aceh. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan menumpang kapal dagang menuju India. Setelah dari India, barulah menaiki kapal ke Yaman. Jika beruntung, bisa mendapatkan kapal yang langsung ke Jeddah. Durasi perjalanan ibadah haji bisa mencapai dua tahun lamanya.
 
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, memasuki abad ke-19, ibadah haji bisa dilaksanakan dengan kapal uap Belanda. Bahkan, saking banyaknya jamaah haji, pemerintah Belanda menyediakan kapal uap khusus yang mengangkut jamaah haji. Saat itu, perjalanan haji dengan kapal uap bisa ditempuh dalam waktu 6 bulan, dengan biaya sekitar 1000 gulden atau 70 juta rupiah saat ini.
 
Karena durasi perjalanan yang cukup lama, banyak jamaah haji yang terjangkit penyakit seperti cacar, beri-beri, dan bronkitis, bahkan ada yang sampai meninggal.

 BACA JUGA:Rezeki Hadir Kapan Saja dan Mengikuti Posisi Kita, Syekh Ali Jaber: Amalkan 4 Amalan Ini

Sama halnya dengan yang terjadi saat ini, pada zaman dulu juga marak terjadi penipuan terhadap jamaah haji. Di era penjajahan Belanda, ternyata sudah ada biro-biro perjalanan, atau yang saat ini kita sebut dengan travel ya, Sahabat Ventour. Banyak biro perjalanan “nakal” yang memanfaatkan antusiasme jamaah haji dengan menaikkan tarif pelayaran dan memungut biaya tambahan di luar biaya haji.
 
Ada pula oknum yang sengaja menjual tiket pelayaran dengan harga sangat murah, namun di tengah perjalanan, mereka menelantarkan jamaah haji. Bahkan, jamaah haji Indonesia banyak yang ditelantarkan di Singapura dan tidak diberangkatkan ke Jeddah. Inilah asal-usul istilah “Haji Singapura”, yaitu jamaah korban penipuan yang ditelantarkan di Singapura.
 
Jika jamaah haji berhasil tiba di Jeddah, jamaah haji akan melalui imigrasi dan bea cukai, lalu melakukan registrasi di Konsulat Belanda di Arab Saudi. Nah, jika saat ini Sahabat Ventour menempuh perjalanan dari Jeddah ke Mekkah menggunakan bus, dulu jamaah haji menempuh perjalanan tersebut dengan berjalan kaki atau naik unta. Agar tidak tersesat atau dirampok, mereka berjalan kaki secara bersama-sama.

BACA JUGA:Ketika Jualan Rugi, Amalkan Doa Berikut, Agar Semangat Kembali

Saat itu pun, kawasan Masjidil Haram belum semegah sekarang. Belum ada gedung pencakar langit dan masih berdiri tenda-tenda sederhana di sekeliling Ka’bah. Ibadah sa’i pun tidak dilakukan di dalam kawasan Masjidil Haram, melainkan di bagian luarnya. Banyak pedagang yang turut berjualan di sekitar kawasan Masjidil Haram.
 
Tidak seperti saat ini yang serba pasti penginapan dan makannya, dahulu setiap jamaah sibuk menyiapkan perbekalan masing-masing, mulai dari memasak, mencuci alat makan, hingga mencuci pakaian. Pada saat wukuf di Arafah pun, mereka mendirikan tenda-tenda sederhana, yang totalnya hingga 20.000 tenda.
 
Menjelang petang, jamaah haji beranjak ke Muzdalifah yang jaraknya sekitar 10 km dari Arafah. Selanjutnya, lempar jumrah akan dilakukan di Jamarat, Mina setelah bermalam (mabit) di Muzdalifah. Dulu, tempat melempar jumrah ini bercampur baru dengan pedagang dan penjual hewan ternak yang lalu lalang.

BACA JUGA:Berat Badan Turun Tanpa Diet, dr Zaidul Akbar Sarankan Rutin Minum Ini Setiap Hari

Lalu kapan gelar haji pertama kali disematkan pada orang yang berhaji?
Sebenarnya, gelar haji ini hanya diterapkan di Indonesia. Di luar negeri, gelar haji tidak diberlakukan. Gelar haji pertama kali diterapkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1916. Jika saat ini gelar haji merupakan gelar yang prestise dan diidam-idamkan setiap orang, dulu pemberian gelar haji ini dilatarbelakangi ketakutan dan kehawatiran Belanda terhadap paham Pan-Islamisme. Paham ini dianggap biang kerok kerusuhan, keributan, dan semangat melakukan perlawanan pada penjajah Belanda.
 
Saat di Tanah Suci, para jamaah haji berkenalan dengan paham Pan-Islamisme. Belanda khawatir paham tersebut diterapkan di Indonesia hingga melahirkan sejumlah perlawanan. Apalagi mereka yang telah haji dianggap sebagai orang suci dan didengarkan masyarakat umum.

BACA JUGA:Ini Dia Fakta di Balik Mitos Seputar Pemutih Kulit

Haji memang bisa dianggap sebagai momen khusus untuk melancarkan misi. Seperti halnya haji pertama setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tahun 1948, yang disebut dengan Misi Haji I Republik Indonesia. K.H. Mohammad Adnan yang bertugas sebagai Ketua Misi Haji I mengadakan kontak dengan Raja Arab Saudi, yaitu Ibnu Saud, untuk merundingkan agar mendapat pengakuan kemerdekaan Indonesia. Itulah sejarah perjalanan ibadah haji, sejak keberangkatannya pertama kali oleh pribumi, di era kolonial, hingga pasca kemerdekaan.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: