Dedolarisasi, Siapa yang Rugi dan Diuntungkan? Bagaimana Upaya Indonesia Mengurangi Dominasi Dolar AS

Dedolarisasi, Siapa yang Rugi dan Diuntungkan? Bagaimana Upaya Indonesia Mengurangi Dominasi Dolar AS

Dedolarisasi siapa yang rugi dan yang diuntungkan?-(istimewa)-

BENGKULUEKSPRESS.COM -- Negara-negara BRICS yang terdiri atas Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan tengah mempertimbangkan untuk membuat mata uang baru guna memfasilitasi perdagangan. Upaya ini disebut sebagai dedolarisasi, yaitu proses pengurangan dominasi dolar AS di pasar global. dedolarisasi juga dianggap sebagai gerakan untuk menantang hegemoni Amerika Serikat dan mengurangi ketergantungan negara lain pada dolar AS dan ekonomi Amerika Serikat.

Penciptaan mata uang baru ini menjadi dorongan bagi BRICS untuk menyingkirkan dolar AS, terutama setelah perang Rusia-Ukraina dimulai Februari tahun lalu. Pekan lalu, Wakil Ketua Duma Negara Rusia, Alexander Babakov, bahkan mengatakan bahwa negara-negara BRICS sedang dalam proses menciptakan media baru untuk pembayaran.

Langkah ini sejalan dengan strategi BRICS untuk tidak mempertahankan dolar atau euro. Dolar AS sendiri telah menjadi mata uang cadangan resmi dunia sejak 1944. Keputusan ini dibuat oleh delegasi dari 44 negara sekutu yang disebut Perjanjian Bretton Woods.

BACA JUGA:Aplikasi Penghasil Uang Tercepat, Terbukti Cair Saldo DANA Rp 120 Ribu Setiap Hari

BACA JUGA:Link DANA Kaget 14 April 2023: Segera Ambil Saldo Rp 80 Ribu

Sejak saat itu, dolar menjadi mata uang yang kuat di dunia dan memberikan pengaruh yang tidak proporsional terhadap ekonomi lainnya. Hal ini memberikan alasan bagi negara-negara seperti Rusia dan Cina untuk menghentikan hegemoni dolar.

Para pendukung dedolarisasi mengatakan bahwa proses ini dapat membantu mengurangi dampak perubahan ekonomi dan politik di AS terhadap ekonomi mereka sendiri. Selain itu, negara-negara dapat mengurangi keterpaparan terhadap fluktuasi mata uang dan perubahan suku bunga, yang dapat membantu meningkatkan stabilitas ekonomi dan mengurangi risiko krisis keuangan.

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya dedolarisasi agaknya berjalan cukup cepat. Pada 2022, Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat bahwa bank sentral saat ini tidak memegang greenback sebagai cadangan dalam jumlah yang sama seperti sebelumnya.

"Bagian dolar dari cadangan devisa global turun di bawah 59 persen pada kuartal terakhir tahun lalu, memperpanjang penurunan dua dekade, menurut data Komposisi Mata Uang dari Cadangan Devisa Resmi IMF," demikian laporan First Post, sebagaimana dikutip dari Republika, Selasa, 4 April 2023.

Yang mengejutkan adalah penurunan pangsa dolar tidak disertai dengan peningkatan poundsterling, yen, dan euro. Sebaliknya, pergeseran dolar terjadi dalam dua arah, yaitu seperempat ke dalam renminbi Cina dan tiga perempat ke dalam mata uang negara-negara kecil yang telah memainkan peran terbatas sebagai mata uang cadangan.

Dedolarisasi, meski bukan proses yang mudah, nampaknya terus menjadi agenda penting bagi negara-negara BRICS dalam menghadapi dominasi dolar AS di pasar global. Bagaimanapun, negara-negara tersebut memiliki alasan yang kuat untuk melawan hegemoni mata uang AS.

Salah satu alasan kuat adalah penggunaan sanksi oleh Amerika Serikat sebagai alat untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri. Beberapa negara merasa bahwa pengenaan sanksi ini tidak adil dan merugikan kepentingan mereka.

Selain itu, dominasi dolar AS di pasar global memberikan pengaruh yang tidak proporsional terhadap ekonomi lain. Hal ini mengakibatkan risiko krisis keuangan dan fluktuasi mata uang yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi negara-negara tersebut.

Dalam hal ini, BRICS mempertimbangkan untuk membuat mata uang baru sebagai alternatif untuk dolar AS dalam perdagangan. Langkah ini diharapkan dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dan memperkuat stabilitas ekonomi mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: