RUMAH IMPIAN

RUMAH IMPIAN

\"\" Alfarabi Syarif

Di sebuah kantor pemasaran property “Linda, bagaimana laporan marketing kita minggu ini?” “Sampai saat ini unit yang terjual sudah 26 pak. 5 pembeli dalam masa survey” “masih 24 unit lagi yang harus kita jual. Bilang sama marketing untuk lebih giat lagi mencari konsumen.” “Baik Pak”. Wahab menarik nafas panjang. Persaingan di bidang property memang sedang ketat. Kebijakan rumah murah pemerintah saat ini betul-betul membuat pengembang harus menggunakan berbagai strategi agar unit yang mereka bangun terjual dengan baik. Namun ia optimis, dengan strategi yang sesuai isu kekinian maka akan banyak konsumen  tertarik dengan program yang ia tawarkan. Setidaknya sudah 26 orang sangat antusias dengan program khusus yang  ia tawarkan. Di era saat ini, kedekatan visi menjadi pengikat yang kuat untuk individu. “Pak Wahab, ada calon konsumen yang sedang mencari informasi di depan, mungkin bapak ingin terjun langsung?” Linda sekretarisnya tiba-tiba datang membuyarkan angan-angan Wahab. “Loh yang lain mana, Lin?” “Ada Tamran pak, tapi kalau bapak yang prospek kan biasanya jadi”. “Ah kamu, ngerjain saya aja. Hayok”. “Bapak duluan aja pak. Saya ngadem dulu. Nih mau nambahin  kerudung dulu.” “Halah kamu ini, sekretaris kok bisa-bisanya ngerjain bos. Ya udah, jangan lama-lama, nanti nyusul”. “Siap Pak!” Jawab Linda dengan muka manja sambil memberi hormat Wahab geleng-geleng kepala. Walaupun terkadang kurang ajar namun peran Linda dalam membantu bisnisnya sangat vital. Kemampuan lobby dan analisis bisnisnya lebih tajam di banding anak buahnya yang lain. Tapi ya itu, Linda agak semaunya. Di luar itu Wahab juga yakin, kedekatan mereka dijadikan senjata bagi Linda untuk bertingkah tidak professional.  Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku yang memanfaatkan kemampuan Linda atau aku sendiri yang dimanfaatkan  Linda  batin Wahab. Senewen juga lama-lama memikirkannya. Tapi saat ini aku harus fokus pada calon pembeli di depan. Wahab mengambil nafas panjang. Dilihatnya dua orang pasangan muda sedang melihat-lihat denah dan membaca detail unit rumah yang ditawarkan. Dari penampilannya sepertinya pembeli potensial, batin Wahab, ini harus deal.  “Selamat siang bapak ibu, saya Wahab manager perumahan Rumah Impian. Mari saya bantu memberikan informasi tentang perumahan ini.” Wahab langsung menyapa dengan ceria dan penuh keyakinan. Kedua suami istri itu melihat ke pemilik suara dengan tertarik. Suara tersebut penuh keramahan dan pelayanan. Membuat calon pembeli menjadi nyaman. “Hallo Pak Wahab, terimakasih sambutannya. Saya Jake, ini istri saya Jane. Kami bermaksud melihat-lihat program Rumah Impian. Kami tidak sengaja melihat perumahan ini ketika sedang berputar-putar. Kami tersanjung, seorang Manager perumahan turun langsung untuk melayani kami.” Jane mengangguk menyetuji perkataan suaminya. “Oh jangan, Pak Jake dan Ibu Jane. Di sini kita sedang mengembangkan kesetaraan. Sesuai dengan visi perumahan ini. Inilah perumahan idaman, di mana kesetaraan dan toleransi menjadi basic yang ditawarkan kepada pembeli. Kami hanya mencari pembeli yang mau berinteraksi dengan sesama tetangga. Mereka yang ingin rumah secara personal tidak cocok dengan program perumahan yang kami kembangkan.” Wahab mempromosikan kelebihan program perumahannya. “Wow menarik sekali,” komentar Jane, “ saya baru mendengar tawaran perumahan lebih pada lingkungan sosial. Biasanya kita akan lebih banyak cerita tentang spesifikasi material dan desain.” “Itu salah satu tawaran kami Ibu. Berdasarkan kajian yang mendalam kami melihat rumah hanyalah sebatas rumah. Tempat kita istirahat dan berkumpul dengan keluarga. Tapi rumah ternyata hanya sebuah bangunan. Yang lebih utama justru adalah penghuninya. Kenyaman penghuni justru lebih prioritas dibandingkan kenyamanan fisik rumah. Untuk kenyaman penghuni rumah justru interaksi antar penghuni yang diutamakan. Itulah mengapa kami pada akhirnya mengembangkan perumahan yang fokus pada kebahagiaan penghuninya.” Wahab betul-betul menusuk langsung pada poin penting kelebihan perumahannya. Kemampuan retorika dan persuasif Wahab diakui memang salah satu yang terbaik. Itu mengapa Linda sangat tenang jika yang menghadapi calon konsumen adalah bosnya sendiri. “Oh super pak Wahab. Bagaimana anda mengetahui calon penghuni merupakan orang yang cocok dalam perumahan anda?” sambung Jake. “Sederhana Pak Jake. Mereka yang memiliki sifat egois dan personal akan lebih dahulu menanyakan spesifikasi rumah dibandingkan dengan presentasi saya. Mereka akan memastikan kehidupan pribadinya aman dan nyaman dan tidak perduli siapa tetangganya. Mereka yang tipe seperti ini akan kami reject karena tidak sesuai dengan Visi rumah impian”. “Jake, sepertinya aku tertarik dengan tawaran Pak Wahab.” Jane menunjukan ketertarikannya. “Bukankah rumah pada prinsipnya adalah personal pak Wahab?” Jake seperti tidak mendengar kata-kata Jane. Matanya tajam untuk menggali ada apa dibalik perkataan Wahab. “Betul Pak Jake. Bangunan rumah adalah personal. Tapi kehidupan tidak hanya di rumah. Saat kaki anda selangkah keluar rumah maka anda adalah bagian dari sistem sosial. Anda akan melihat seseorang di rumah sebelah, seseorang yang berjalan di depan rumah, seseorang yang mungkin sedang menyiram bunga. Kita tidak bisa menganggap keberadaan mereka tidak ada. Rumah impian yang kami bangun mendorong semua orang untuk lebih peka kepada sekelilingnya.” Wahab mengulang-ulang inti program perumahan yang ia tawarkan. Jake mengangguk-anggukan kepalanya. Mata Wahab cepat menangkap anggukan itu. Oke pertarungannya selesai batin Wahab. Bibirnya terus tersenyum dengan bahasa tubuh yang terus memberikan kenyamanan.  “Mari bapak ibu, saya antar berkeliling. Masalah jadi atau tidak itu bukan masalah. Setidaknya bapak ibu sudah mengetahui visi Rumah Impian”. “Wow tawaran menarik. Ayo Jake kita keliling sejenak,” Jane menyambut dengan gembira “Mari,”  ajak Wahab sambil mengarahkan pasangan suami istri itu ke mobil. Sekilas ia melihat Linda yang baru datang dari belakang. “ Linda, ayo ikut menemani Bapak Jake dan Ibu Jane.” Linda yang baru mau bergabung tidak bisa menolak. “Perumahan Impian dibangun hanya 50 unit per cluster. Ini cluster yang kedua. Yang pertama sudah habis. Ada 4 blok di mana satu blok ada dua baris. Pusatnya adalah lapangan dengan fasilitas public. Meniru gaya alun-alun di Jawa. Jadi kita hanya memutari perumahan dalam bentuk lingkaran kecil dan lingkaran besar. Dengan konsep ini maka mau tidak mau interaksi akan terbangun antar penghuni di mana pusatnya nanti berada di tengah. Di lapangan sudah tersedia musholla, PAUD, dan sisanya lapangan rumput yang bisa digunakan untuk futsal atau badminton. Dengan desain seperti ini maka setiap pagi dan sore penghuni rumah impian akan jogging memutari lapangan atau olahraga bermain.” Interaksi akan lebih intens dan mengeratkan. Kehadiran tempat ibadah akan melengkapi sisi rohani setiap penghuninya”. “Luar biasa pak Wahab. Apakah itu juga dasar mengapa setiap unit rumah di sini tidak memiliki pagar?” Sahut Jane antusias. “Betul sekali Bu, pagar membuat batas secara psikologis untuk bersembunyi dari kehadiran orang-orang di sekitar kita. Pagar juga pada akhirnya akan memisahkan interaksi antar penghuni. Ini yang kami hindarkan. Rumah impian pada prinsipnya membangun komunitas yang peduli sesama dengan mengedepankan toleransi”. “Bagaimana dengan keamanan, Pak Wahab?” Jake ikut bertanya “Keamanan tidak usah diragukan Pak. Setiap batas perumahan sudah kita dirikan tembok tinggi untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Kita hanya punya satu pintu masuk dengan penjagaan 24 jam. Tapi yang paling utama dari keamanan wilayah sebenarnya adalah kekompakan dari penghuninya sendiri pak Jake. Satpam itu hanya simbol keamanan. Keamanan yang sejati sebenarnya kepedulian untuk saling menjaga”. Jake mengangguk tanda setuju. Ia sepertinya setuju dengan pengembangan dan konsep rumah impian. “Bapak Ibu datang pada saat yang tepat. Saat ini perumahan impian sedang melakukan diskon 10% untuk pembeli yang mengambil di bulan Januari. Bulan ini. Jadi kalau bapak ibu setuju akan kami buatkan persetujuan traksaksinya. Cukup dengan membayar DP 25 Juta maka bapak ibu sudah bisa memiliki unit di perumahan ini.” Linda yang dari tadi hanya mendengarkan cepat bergerak begitu melihat antusias pasangan muda ini. “Terimakasih bu, tapi sepertinya kami akan pikirkan terlebih dahulu di rumah.” tolak Jake halus. “Baik pak. Hanya sayang sekali jika bapak melepaskan kesempatan ini. Unitnya sebagian besar sudah terjual. Jika terlambat maka kami tidak bisa menjamin ketersediaan unit.” Linda tetap berusaha menawarkan dagangannya. Tetap dengan senyum memukau namun mendesak. Ini yang Wahab suka. Linda tahu kapan harus memasukan penawaran. “Jake. Sepertinya aku sudah nyaman di perumahan ini. Harganyapun tidak terlalu jauh dengan perumahan yang lain. Ada baiknya kita tetapkan saja di sini,” Jane mulai khawatir jika unit yang tersedia akan habis. Jake melihat wajah istrinya. Jane tersenyum menggenggam tangan Jake. Ia mengangguk sambil memandang mata Jake. Jake mengangkat bahu. Ia tersenyum kepada Jane. “Baik pak Wahab, kami putuskan untuk mengambil satu unit dan menjadi bagian dari warga Rumah Impian.” Kata Jake antusias. YES! Teriak Wahab dalam hati. Namun dengan tenangnya ia berkata “Selamat bapak Jake dan ibu Jane, anda tidak akan menyesal dengan pilihan ini. Rumah impian merupakan sistem sosial yang dibangun tidak hanya untuk kita tapi juga untuk anak-anak agar mengerti tentang silaturahmi, toleransi dan bersosialisasi. Sebuah tempat yang ideal.” Sambut Wahab tepat ketika mobil mereka sudah kembali ke kantor pemasaran. “Pak Wahab saya tidak ada uang tunai. Beri kami waktu untuk mentransfer uang muka sekitar 1 jam”. “Oh tidak usah khawatir Pak Jake. Kami menerima pembayaran kartu debit dan kartu credit. Proses jual belinya hanya butuh 15 menit karena kita ada notaries sendiri. Bapak cukup menyerahkan KTP untuk kelancaran proses di awal.” Jawab Linda seakan menenangkan. Jake dan jane mengangguk senang. Wahab dan Linda berteriak di dalam hati.  Jake mengeluarkan KTP nya dan menyerahkan kepada Linda. “Ini” “Terimakasih,” jawab Linda sambil tersenyum. Dilihatnya sekilas KTP tersebut. namun penglihatan sekilas tersebut sudah cukup menyambar hatinya. Ia melirik kepada Wahab yang masih tersenyum sambil memandang ke depan. Linda menjadi salah tingkah. Ia ingin segera bicara. “Baik  bapak Jake dan Ibu Jane. Silahkan istirahat dulu. Nanti Linda yang akan mengurusi semuanya. Setelah tandatangan bapak ibu sudah bisa tidur tenang malam ini,” Jake berkata dengan gembira ketika mereka sudah kembali ke kantor penasaran. Linda mencoba memberi kode pada Jake.  “Terimakasih Pak Wahab. Pelayanan kalian betul-betul prima. Kami sangat terkesan dengan rumah impian,” Jane mengucapkan terimakasih. “Oh tidak apa-apa. Itu semua untuk kebaikan bersama. Linda tolong siapkan minum untuk Bapak Jake dan Ibu Jane.” Linda tersenyum kepada Jake dan Jane. Dengan memberi kode ia meminta Wahab mengikutinya ke belakang. Wahab agak enggan, ia masih ingin menemani Jake dan Jane, tapi bahasa tubuh Linda  tidak bisa ditolak. “Baik, Pak Jake dan Bu Jane. Silahkan istirahat dulu. Saya bersama Linda akan menyiapkan segala sesuatunya.” Jake pamit masih dengan tersenyum. “Ini,” kata Linda lesu menunjukan foto KTP Jake setelah mereka berdua ada di belakang. Tampak seutas kalung terpapang di foto KTP tersebut. Wahab termanggu memegang KTP Jake Shit! Sialan! Brengsek” *** “Maaf Bapak Jake dan Ibu Jane. Terjadi kesalahpahaman. Ini murni kesalahan kami. Semua unit rumah impian di cluster 2 teryata sudah terjual habis. Ini alasan mengapa tadi kami meminta cepat. Ini karena peminatnya tinggi. Barusan bagian administrasi menginformasikan unit terakhir sudah deal dengan pembeli terakhir saat kita sedang putar-putar tadi,” Linda menunjukan muka menyesal menyampaikan kabar tersebut. “Oh Jake,” Jane lemas mendengar ucapan Linda. Harapannya yang sudah besar harus buyar dalam sesaat. Jake merangkul bahu istrinya. Ia tahu Jane begitu kecewa. Ia pun sama kecewanya. Namun ia sadar bahwa barang bagus tentu banyak diincar banyak orang. “Oh sayang sekali ibu Linda, kami begitu berharap sebenarnya. Tapi saya mengerti dengan konsep perumahan yang unik ini tentu banyak sekali orang yang tertarik,” Jake mencoba tegar. Linda tersenyum mendengar jawaban Jake. Tubuhnya agak risih harus mengungkapkan itu semua. “Bisakah kami masuk daftar tunggu, mungkin ada pembeli yang batal. Atau masukan kami diprioritas jika kalian membangun cluster baru Rumah Impian,” pinta Jane sangat berharap. Linda tersenyum, “Baik bu, Jika ada informasi terbaru bapak ibu akan mendapatkan pemberitahuan,” maaf tapi sepertinya itu tidak akan terjadi, batin Linda. “Baiklah kalau begitu kami pamit. Mana pak Wahab? Kami ingin mengucapkan terimakasih atas pelayanannya. Jarang-jarang ada manager pemasaran turun langsung pada konsumen.” “Pak Wahab menitipkan salam pada bapak ibu. Mohon maaf di dalam ternyata pak Wahab sudah ditunggu beberapa tamu penting,” jawab Linda. “Kalau begitu sampaikan salam kami dengan Pak Wahab, Linda. Terimakasih atas layanannya yang luar biasa,” Jane berkata sambil menyalami tangan Linda dengan tulus. Linda tersenyum penuh arti. Sayang sekali sepertinya kalian orang-orang baik *** Linda mengeluarkan brosur dari map dan menyerahkan pada Wahab “Masih kau bertahan dengan konsep ini?” Wahab tersenyum pahit, “Sekarang, ini yang paling bisa cepat dijual.” *** “Jake, sayang sekali kita tidak bisa menjadi warga Perumahan Impian” “Dengan konsep perumahan yang ditawarkan pak Wahab tentu banyak orang yang tertarik. Desain itu akan membuat kita bisa saling berinteraksi dan bertoleransi. Itu akan mengurangi konflik karena kita bisa saling mengerti perbedaan masing-masing. Betul-betul suatu impian yang mulia. Pak Wahab tidak hanya mencari keuntungan semata. Ia peduli pada masyarakat saat ini yang kurang mampu menerima perbedaan. Ku pikir usaha itu layak mendapatkan pahala yang besar.” “Ya ku pikir Pak Wahab akan menerima berkah yang besar dari usahanya. Dan aku masih berharap kita dihubungi dan menjadi penghuni rumah impian.” Jane memandang jauh ke depan dengan harapan tinggi. Jake menggenggam tangan istrinya. *** Tono menegakkan plang perumahan yang roboh karena hujan angin semalam. Tulisan di Plang tersebut kotor terkena percikan tanah yang telah mengering. Pada bagian atasnya terdapat tulisan yang masih bisa dibaca.  Perumahan Impian Khusus Muslim

Antapani, 31 januari 2018 Penulis tinggal di Kota Bengkulu 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: