Puasanya 18 Jam, Berbuka Bareng Teman-teman Biar tak Kesepian

Jumat 16-06-2017,10:40 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Cerita Fika Disyacitta Dhamayantie (21), Mahasiswi asal Bengkulu Jalani Puasa di Jerman

WAKTU puasa bulan Ramadhan di Indonesia tergolong singkat dibanding dengan negara lain di benua Eropa. Fika Disyacitta Dhamayantie (21), mahasiswa asal Bengkulu yang kuliah di Jerman, merasakan begitu beratnya menjalankan puasa di negara kekaisaran itu, karena puasanya 18 jam. EKO PUTRA MEMBARA - Bengkulu WAKTU puasa bulan Ramadhan di Indonesia tahun ini hanya 13 jam saja. Dibanding dengan negara Jerman, waktu puasa di negara itu mencapai 18 jam. Tentu bagi orang Indonesia, waktu 18 jam berbuka puasa itu cukup lama. Seperti yang dialami oleh mahasiswa bernama Fika Disyacitta Dhamayantie (21) asal Kota Bengkulu, yang sedang menempuh pendidikan di negara Jerman ini. Ia harus menahan haus dan lapar yang begitu lama. Namun dari niat yang ikhlas untuk menjalankan rukun Islam ke-4, Fika Disyacitta Dhamayantie yakin puasa Ramadhan kali akan mampu ia selesaikan. \"Wajib selesai dong, kan sudah niat,\" ungkap Fika kepada BE, ketika dihubungi via telepon, kemarin (15/6). Fika yang mengambil kuliah jurusan energie system technik di Universitas Technische Hochschule Mittelhessen (THM) di Jerman ini mengatakan, waktu buka puasa di Jerman itu sekitar pukul 21.40 waktu setempat. Sementara waktu sahur sekitar pukul 03.40 waktu setempat. Waktu cukup lama menunggu berbuka ini biasanya dihabiskan Fika dengan belajar dan berdiskusi bersama teman-teman kuliahnya. \"Kegiatan tetap seperti biasa. Tidak ada yang harus dikurangi,\" tuturnya. Akibat panjangnya waktu menjalankan ibadah puasa, waktu tidur malam Fika dan beberapa temannya cukup singkat. Karena setelah berbuka puasa sekitar pukul 21.40, dilanjutkan salat Isya kemudian salat terawih, maka waktu tidur hanya sekitar 3 jam lagi. Kemudian bangun untuk menjalankan makan sahur. \"Kalau orang disini bisanya tidak tidur untuk menunggu makan sahur. Karena memang waktunya cukup singkat,\" ungkap Fika kelahiran Kelobak Kepahiang, 22 Juni 1996 ini. Anak ke 4 dari 5 saudara buah hati Ir Drs H Sudoto MPd dan Ir Hj Neneng Ai Ratnaningsih ini menuturkan, selama 3 tahun dirinya tinggal di Jerman, tahun ini cukup ringan menjalankan ibadah puasa. Sebab dua tahun sebelum dirinya tinggal di Giessen, 45 menit dari Kota Frankfurt Am Main Jermen itu, Fika bisa menjalankan puasa lebih dari 19 jam, tepatnya di Kota Berlin. Belum lagi ditambah suhu cuaca cukup panas sampai 33 derajat celcius. \"Kalau di sini (Giessen,red) suhunya cuma 24 derajat celcius. Jadi hampir sama dengan di Indonesia, tidak terlalu panas. Waktunya juga lebih cepat,\" tambahnya. Rindu Rendang dan Pempek Tak hanya itu saja, Fika yang akrab dipanggil Teteh oleh teman-temannya juga menceritakan tentang rindunya masakan Indonesia. Khususnya makan gulai rendang dan pempek. Termasuk berbagai makanan takjil yang dijual di pasar-pasar kaget di Indonesia, khususnya di Kota Bengkulu. \"Rendang, empek-empek itu enak sekali untuk buka puasa. Jadi memang rindu masakan di Indonesia,\" ungkap Fika. Meski demikian, dirinya masih bisa melepas rindu untuk tetap memakan makakan khas Indonesia di Jerman. Fika bersama teman-teman Indonesa lainnya di Jerman biasanya menemukan makan itu ketika buka bersama di masjid yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Masjid bernama Masjid Indonesia Frankfurt itu setiap harinya selama bulan puasa selalu menyediakan makanan khas Indonesia. Mulai dari cendol, kolak, rendang, gorengan, empek-empek, buah-buahan, bubur, sayur mayur dan makanan puasa lainnya. \"Di masjid ini kita bebas makan apa saja sesuai dengan selera. Semua tersedia, Gratis malahan. Biasa anak kuliahan bang, hobbi yang gratis,\" tutur Fika sambil tertawa. Di Jerman orang Indonesia dari Bengkulu yang kuliah, menurut Fika ada sekitar 19 orang. 5 orang dari Kabupaten Kaur yang dibiayai dari beasiswa kabupaten, 10 baasiswa provinsi dan 4 orang mahasiswa biaya mandiri. Dia bersama teman-temannya selalu bersama-sama untuk mengikuti buka puasa maupun kegiatan lainnya di Jerman. \"Kita selalu bersama-sama. Jadi kalau sama-sama lebih enak dan rame. Dari pada di rumah buka puasanya sendiri,\" katanya. Mayoritas di Jerman, lanjut Fika orang-orang yang beragama Islam lebih mengedepankan mencari pahala. Sementara yang agama lain ataupun ateis, lebih mengedepankan toleransi untuk saling menghargai atas kepercayaan masing-masing individu. Sehingga dirinya merasa nyaman untuk menjalankan ibadah puasa, yang memang sudah diwajibkan bagi setiap umat muslim. \"Tentu nyaman, semua orang bersahabat. Saling menghargai perbedaan\" papar Fika. Fika mengaku, meskipun menjalankan Ramadhan di Jerman tidak ada kendala, ia merindukan kampung halaman di Kota Bengkulu. Sudah ke-3 tahun ini dirinya tidak bisa pulang kampung untuk merayakan lebaran Idul Fitri bersama kedua orang tuannya serta keluarga besarnya di Bengkulu. \"Rindu pasti, tapi di sini tidak ada libur. Jadi sudah 3 tahun dengan tahun ini sepertinya tidak akan bisa lebaran di Bengkulu bersama keluarga,\" ujar Fika yang sempat tersentak terdiam ini. Meski demikian, dia masih bisa melepas rindunya dengan berkomunikasi melalui media sosial maupun via telpon. Sesekali, Orang tua Fika juga mengujungi dirinya di Jerman. Hal itu sudah menjadi kebahagiaan baginya, untuk melepas kangen bersama keluarga. \"Ya ada sesekali Abah ke sini (Jerman), tapi mama belum,\" tambahnya. Walaupun tidak bisa berkumpul lebaran ketiga kali itu, Fika cuma bisa berharap kedua orang tuanya serta keluarga besarnya tetap diberikan kesehatan. Studi yang telah ia tempuh telah menjadi keputusan bulatnya, demi mengukir prestasi. Berharap nantinya, ilmu yang ia dapatkan dapat diterapkan di Indonesia, khususnya di Bengkulu. \"Saya yakin, pasti akan selesai kuliah saya tepat waktu dan tentunya bisa diaplikasikan. Semoga Abah dan Mama tetap sehat, salam rindu Fika,\" pungkas Fika.(**)
Tags :
Kategori :

Terkait