APH Kurang Optimal Jalankan UU Pencucian Uang
BENGKULU, Bengkulu Ekspress- Provinsi Bengkulu berisiko menjadi salah satu daerah untuk melakukan tindak pidana pencucian uang (Money Laundering), pasalnya berdasarkan hasil temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menempatkan provinsi ini di peringkat ke 8 di Sumatera dan ke 25 di Indonesia dengan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) mencapai ratusan setiap tahunnya. Bahkan hingga Juni 2019 sebanyak 657 LTKM telah diterima oleh PPATK dengan laporan terbanyak adalah indikasi tindak pidana korupsi.
Wakil Kepala PPATK, Dr Dian Ediana Rae mengatakan, Bengkulu berisiko menjadi daerah pencucian uang, karena berdasarkan LTKM banyak mengindikasikan tindak pidana korupsi dengan total transaksi mencapai Rp 569 miliar. Dimana mayoritas terjadi di Kota Bengkulu sebesar 86,7 persen dan Kabupaten Rejang Lebong sebesar 4,2 persen. Oleh sebab itu, pihaknya menyatakan tindak pidana atas perkara pencucian uang dan korupsi perlu dijadikan satu lantaran keduanya saling berkaitan.
\"Korupsi dan money laundering seharusnya tindak pidananya itu digabung, jadi disatukan. Karena korupsi zaman sekarang tidak mungkin tidak melibatkan money laundering, itu tidak mungkin,\" kata Dian pada Kuliah Umum di Kampus IV Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Selasa (8/10).
Ia mengaku, selama ini tindak pidana pencucian uang tidak pernah digabungkan dengan korupsi. Padahal korupsi selalu berhubungan dengan pencucian uang. Oleh sebab itu, Aparat Penegak Hukum (APH) harus bisa menindak pelaku korupsi dengan undang-undang pencucian uang. \"Kita merasa tindak pidana pencucian uang belum begitu dioptimalkan, UU nomor 8 tahun 2010 tentang pencucian uang belum optimal dilaksanakan APH, wajar saja kalau korupsi terus terjadi,\" ujarnya.
Ia menambahkan, pencegahan korupsi belum begitu berhasil karena pasal-pasal yang ada didalam undang-undang pencucian uang belum begitu diterapkan oleh APH. Padahal jika pelaku korupsi bisa sekaligus ditindak dengan pidana pencucian uang maka kerugian negara yang telah dikorupsi bisa dikembalikan ke negara. \"Semisalnya kerugian negara Rp 2 triliun, maka harus dikembalikan sebanyak itu, jadi UU nomor 8 tahun 2010 itu harus dioptimalkan,\" tutupnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bengkulu, Joni Marsius mengaku, tindak pencucian uang serta kejahatan ekonomi harus ditindak tegas dengan memberikan hukuman agar pelaku merasa jera dan tidak melakukan tindak kejatahan lainnya. Karena pencucian uang dapat merusak perekonomian daerah dan negara.
\"Setiap tindak kejahatan ekonomi tersebut masuk dalam money laundry dan harus diberantas serta ditindak tegas pelakunya untuk memberikan efek jera. Kalau tidak maka perekonomian daerah juga menjadi buruk,\" kata Joni.
Ia menjelaskan, ketika seseorang melakukan tindak pidana pencucian uang dari hasil korupsi maka akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian daerah. Ia mencontohkan, jika proyek pembangunan jalan yang dibiayai oleh APBD senilai Rp 3 triliun kemudian dikorupsi sebesar Rp 1 triliun maka dampaknya akan sangat dirasakan oleh daerah dan masyarakat.
\"Dampak dari korupsi yang sebesar Rp 1 triliun sangat mempengaruhi perekonomian harusnya orang bisa dapat pekerjaan dari proyek tersebut malah tidak dapat, itu baru contoh kecil belum yang lain lagi. Dampaknya jelas sangat besar jadi harus kita basmi dan berantas,\" tutupnya.(999)