Pertunjukan Ikan-Ikan di Bulan Muharram: Konstelasi Nilai Budaya dan Tantangan

Pertunjukan Ikan-ikan dalam Festival Tabut 2025 di kota Bengkulu Dok, 04/07/2025- (foto: Penulis)-
Di Pacitan, kesenian Ronthek menjadi primadona bagi masyarakatnya dalam giat berkesenian. Lahir dari aktivitas bermusik para pemuda saat melakukan ronda malam dan bangun sahur masyarakat dalam bulan Ramadhan, kini kesenian Ronthek semakin melekat dalam keseharian ruang pertunjukan seni di kalangan masyarakatnya (Hendriyanto dkk., 2021). Terlebih lagi hadirnya kegiatan tahunan Festival Ronthek yang merupakan ruang khusus bagi ekosistem kesenian Ronthek.
Demikian juga Randai sebagai kesenian teater rakyat Minangkabau. Melalui proses keajekan yang panjang, Randai menemukan kekompleksitasan bentuk dan ruang pertunjukan dari berbagai pembauran kesenian lain. Mencakup kesenian Kaba (sastra lisan), Teater Bangsawan Melayu, dan Silek (silat) (Zulkifli, 2013), sebagai arketipe kesenian Randai. Halaman rumah dan keramaian warga menjadi suasana ruang awal, sebelum akhirnya pertunjukan Randai digalakkan menjadi festival atau perhelatan budaya yang masif dalam aktivitas kesenian 'Anak Nagari' (Wendy HS, 2014). Lalu, bagaimana dengan kesenian Ikan-ikan?.
Bukan tanpa sebab, kekhawatiran muncul saat melihat gairah masyarakat Bengkulu dalam menyemarakkan kesenian Ikan-ikan. Demikian dugaannya, perealisasian spirit tidak selalu berjalan dengan kondusif. Contoh kasus, dalam aspek musik, kesenian Ikan-ikan mengalami persoalan tentang keterbatasan orang yang mampu memainkan alat musik melodi, seperti instrumen akordeon maupun biola. Persoalannya muncul ketika perlombaan Ikan-ikan yang diselenggarakan tahun ini mendapati juknis yang memutuskan pelarangan seniman musik bermain lebih dari satu kelompok. Peserta kelompok yang mengikut tahun ini melebihi sumber daya seniman yang dibutuhkan antar kelompok. Memang, lanskap seniman muda di Bengkulu saat ini semakin kehilangan kemauan mereka untuk belajar alat musik tradisi melayu seperti akordeon dan biola yang menjadi fondasi iringan irama lagu Ikan-ikan. Permasalahan ini ditambah lagi dari ruang kesenian Gamat yang lebih dulu terkikis oleh tantangan zaman. Sehingga, warisan alat musik melayu gamat yang serupa dengan instrumen musik dalam kesenian Ikan-ikan yang berirama setahun sekali ini, kian kehilangan senimannya.
Aspek lain, kita tahu bahwa replika hewan menjadi elemen inti dari sajian Ikan-ikan setiap tahunnya. Warna dan lampu hiasnya yang begitu mencolok, menarik perhatian penonton yang bersorak-sorai. Meski demikian, bagaimana nasibnya setelah terlepas dari bulan Muharram?. Ia barangkali terbelenggu dalam ruangan yang disimpan oleh masing-masing kelompok Sanggar, maupun masyarakat kelurahan. Warna-warni rupanya tidak lagi memancarkan pesona, berdebu, hingga menjelang bulan Muharram kembali.
Kembali lagi kita melihat keadaan jejak pertunjukannya. Kesenian Ikan-ikan memang termasuk salah satu dari kepingan ruang dalam hegemoni budaya Tabot di kota Bengkulu. Entah itu dalam giat penggalangan dana sejak lampau, maupun semangat perlombaan festival masa kini. Namun, apakah selamanya menjadi pertunjukan yang semata untuk berdedikasi dalam perhelatan tahunan ini. Sukarkah kesenian Ikan-ikan mendapatkan ruangnya sendiri?. Mampukah kesenian Ikan-ikan yang hanya ada dalam ruang perhelatan Muharram melawan tantangan zaman ke depan?, mampukah kelak konstelasi nilai budayanya dapat terjaga?.
Sekiranya, kesenian Ikan-ikan memerlukan ruang tunggal agar senantiasa menjawab tantangan yang semakin merambat. Kiat mempertebal sinergisme dari seluruh masyarakat dan pihak pemerintah terkait, dapat mewujudkan ruang baru bagi kesenian ini. Paling tidak, kesenian Ikan-ikan dapat mempunyai ruang khusus yang berkelanjutan seperti kesenian Ronthek yang mempunyai festival. Demikian pula masyarakat pendukung yang mampu menggalakkan bentuk keseniannya hingga melahirkan bentuk baru seperti kesenian Randai yang menggabungkan semua unsur kesenian rakyat. Bukan lagi menjadi kerinduan tahunan, tetapi menjadi giat ruang keseharian. Sehingga, tantangan zaman menjadi proses pemapanan nilai-nilai budaya dalam kesenian Ikan-ikan yang terus mencita makna sebagai kearifan lokal yang adiluhung.
Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber yang diakses oleh penulis, Ghaimbibie, Alumni Mahasiswa Etnomusikologi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: