Pemulihan Bencana di Indonesia Masih Lambat: Apa yang Harus Dibenahi?

Jumat 12-12-2025,01:14 WIB
Editor : Rajman Azhar

Oleh: Mathilda Tioria Hutabalian

Magister Manajemen Bencana/ UNIVERSITAS AIRLANGGA

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia. Ancaman seperti banjir, longsor, gempa bumi, hingga cuaca ekstrem datang silih berganti setiap tahunnya. BNPB melalu Data Indeks Bencana Indonesia (DIBI) menunjukkan telah terjadi ribuan kejadian bencana terjadi setiap tahun, dengan dampak signifikan pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Kondisi ini menegaskan bahwa pemulihan pascabencana bukan sekadar isu teknis, tetapi urusan kemanusiaan yang menentukan ketangguhan suatu negara.

Sayangnya, fase pemulihan masih menjadi titik lemah. Respons tanggap darurat biasanya cepat—evakuasi, logistik, dan penanganan darurat berjalan cukup baik. Namun, ketika memasuki fase rehabilitasi dan rekonstruksi, prosesnya cenderung melambat. Rumah tak kunjung dibangun, pengungsi bertahan lama di hunian sementara, dan ekonomi lokal tidak segera pulih. Mengapa hal ini terus terjadi?


Bencana banjir di Sumatera--

Koordinasi Rumit, Data yang Tidak Sinkron

Proses pemulihan pasca bencana melibatkan banyak instansic, seperti: BNPB, BPBD, pemerintah daerah, kementerian teknis, hingga lembaga kemanusiaan. Hal ini sering membuat koordinasi tidak berjalan mulus. Sebuah studi kebijakan bencana oleh Wirawan et al. (2023) menunjukkan bahwa fragmentasi regulasi dan peran lembaga menjadi penyebab utama lambatnya pemulihan di Indonesia. Koordinasi antar-instansi sering tumpang tindih, terutama dalam verifikasi kerusakan, perencanaan anggaran, dan pelaksanaan rekonstruksi.

Akibatnya, data kerusakan rumah dan infrastruktur dapat berubah-ubah. Proses rekonstruksi pun tertunda karena perbedaan angka antara pemerintah daerah dan pusat.

BACA JUGA:Bersama Muhammadiyah: Menerangi Jalan Menuju Kesejahteraan Bangsa

BACA JUGA:Pelaporan Pajak Royalti Pada Coretax

Pemulihan yang Terlalu Berorientasi Fisik

Dalam banyak kasus, pemulihan bencana dipersepsikan sebagai “membangun kembali rumah dan jalan”. Padahal, pemulihan memiliki makna yang jauh lebih luas.

Sebuah penelitian BRIN (2023) mengenai pemulihan pascabencana di Palu menunjukkan bahwa pendekatan fisik tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti trauma, mata pencaharian, dan jaringan sosial—membuat masyarakat membutuhkan waktu lebih panjang untuk pulih sepenuhnya. Bahkan, penelitian internasional oleh Sutikno et al. (2023) di jurnal Sustainability menjelaskan bahwa pemulihan yang baik seharusnya memasukkan indikator kesejahteraan sosial dan resiliensi masyarakat, bukan hanya angka bangunan yang selesai dibangun.

Artinya, pemulihan fisik saja tidak cukup. Pemulihan manusia adalah inti dari rekonstruksi yang berkelanjutan.


Penanganan bencana di Sumatera--

Kategori :