Oleh: Mathilda Tioria Hutabalian
Magister Manajemen Bencana/ UNIVERSITAS AIRLANGGA
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia. Ancaman seperti banjir, longsor, gempa bumi, hingga cuaca ekstrem datang silih berganti setiap tahunnya. BNPB melalu Data Indeks Bencana Indonesia (DIBI) menunjukkan telah terjadi ribuan kejadian bencana terjadi setiap tahun, dengan dampak signifikan pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Kondisi ini menegaskan bahwa pemulihan pascabencana bukan sekadar isu teknis, tetapi urusan kemanusiaan yang menentukan ketangguhan suatu negara.
Sayangnya, fase pemulihan masih menjadi titik lemah. Respons tanggap darurat biasanya cepat—evakuasi, logistik, dan penanganan darurat berjalan cukup baik. Namun, ketika memasuki fase rehabilitasi dan rekonstruksi, prosesnya cenderung melambat. Rumah tak kunjung dibangun, pengungsi bertahan lama di hunian sementara, dan ekonomi lokal tidak segera pulih. Mengapa hal ini terus terjadi?
Bencana banjir di Sumatera--
Koordinasi Rumit, Data yang Tidak Sinkron
Proses pemulihan pasca bencana melibatkan banyak instansic, seperti: BNPB, BPBD, pemerintah daerah, kementerian teknis, hingga lembaga kemanusiaan. Hal ini sering membuat koordinasi tidak berjalan mulus. Sebuah studi kebijakan bencana oleh Wirawan et al. (2023) menunjukkan bahwa fragmentasi regulasi dan peran lembaga menjadi penyebab utama lambatnya pemulihan di Indonesia. Koordinasi antar-instansi sering tumpang tindih, terutama dalam verifikasi kerusakan, perencanaan anggaran, dan pelaksanaan rekonstruksi.
Akibatnya, data kerusakan rumah dan infrastruktur dapat berubah-ubah. Proses rekonstruksi pun tertunda karena perbedaan angka antara pemerintah daerah dan pusat.
BACA JUGA:Bersama Muhammadiyah: Menerangi Jalan Menuju Kesejahteraan Bangsa
BACA JUGA:Pelaporan Pajak Royalti Pada Coretax
Pemulihan yang Terlalu Berorientasi Fisik
Dalam banyak kasus, pemulihan bencana dipersepsikan sebagai “membangun kembali rumah dan jalan”. Padahal, pemulihan memiliki makna yang jauh lebih luas.
Sebuah penelitian BRIN (2023) mengenai pemulihan pascabencana di Palu menunjukkan bahwa pendekatan fisik tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti trauma, mata pencaharian, dan jaringan sosial—membuat masyarakat membutuhkan waktu lebih panjang untuk pulih sepenuhnya. Bahkan, penelitian internasional oleh Sutikno et al. (2023) di jurnal Sustainability menjelaskan bahwa pemulihan yang baik seharusnya memasukkan indikator kesejahteraan sosial dan resiliensi masyarakat, bukan hanya angka bangunan yang selesai dibangun.
Artinya, pemulihan fisik saja tidak cukup. Pemulihan manusia adalah inti dari rekonstruksi yang berkelanjutan.
Penanganan bencana di Sumatera--