SYLA, ISTRIKU DARI MASA DEPAN

Kamis 27-05-2021,13:07 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

Aku nyengir memandangi titipan yang diberikan Ruri. Sebuah pesan yang disampaikan dengan media yang tidak lumrah. Kita sudah punya WhatsApp, Line dan SMS. Pesan yang responnya bisa diketahui secara cepat. Sepucuk surat bukanlah hal yang lumrah.  Kini aku melamun di teras. Membayangkan bertemu orang yang tidak pernah kukenal tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi jika orang tersebut tiba-tiba mengaku sebagai istriku.  Sebenarnya, bukan sifatku untuk meladeni perbuatan orang iseng. Hanya saja kata-katanya membuatku penasaran.  Hei Bob, tentu aneh mendapatkan sepucuk surat di 2021 kan? Aku tau kamu pasti heran. Hatimu berdebar. Bukankah kamu selalu mengatakan surat lebih mendalam dibanding sebuah pesan singkat. Aku mau bertandang ke rumahmu pukul  19.00. Di teras di tempat biasa kau duduk. Tunggu aku di situ.  Syla Istrimu Nb: Tentu kau ingin ditemani saat-saat memperingati kematian ibumu kan? Ia yang mengaku istriku itu terlalu banyak tahu untuk seseorang yang tidak ku kenal. Dari mana ia tahu tentang sebuah tempat duduk favorit di teras?  Mengetahui obsesiku  untuk kembali berkomunikasi menggunakan surat. Dan yang paling penting adalah mengetahui kebiasaanku memperingati kematian Mama.  Ku pikir-pikir mungkin salahsatu temanku ada yang iseng. Namun membawa-bawa peringatan meninggalnya ibuku tentu bukan iseng yang biasa. “Hei Bob!’, suara ceria dan tepukan di pundak membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan segera mendapati seorang perempuan cantik di depanku. sempat berpikir dari mana ia datang. Perempuan cantik  bermata  binar tersebut menyapa.   Ia duduk dihadapanku dan meneguk air di gelas.  Sialan berani betul! “Aku haus, aku habis melakukan perjalanan panjang,” ia seperti mengerti pertanyaanku. “Gak usah heran, kamu dulu juga jatuh cinta denganku karena gayaku ini, oups bukan dulu, nanti” “Kamu siapa?” “Syla, istri kamu,”mata dan senyum itu seperti mempermainkanku. Come On, jangan main-main, siapa yang yuruh kamu ngerjain aku?”, mataku memandang berkeliling, berharap menemukan wajah-wajah yang ku kenal. “Bob.. Bob.. aku suka kamu karena gayamu ini hihihi” “Syla, apa maksudnya ini?” “Gak ada, kamu pasti heran? Gak apa tenang aja.” “Oke, cukup main-mainnya, sekarang jelasin ada apa?” “Bob aku istrimu…” “Oke, aku masuk..” “Bentar Bob, sini aku jelasin” “Enggak aku pergi..” “Bob.. Bob.. iya ini aku mau jelasin, berhenti dulu!” Aku tidak memperdulikan seruannya. Bagiku ini hanya permainan. Bisa-bisanya aku layani permintaan surat konyol itu. “Bob! kalau kamu pergi, kamu bakal nyesel,” ancam Syla. Aku tak peduli. “Kamu punya marmut bernama Pussy yang mati ketika mau dimandikan, umur 12 tahun kamu pernah mau kabur dari rumah, salah satu yang kau sesali adalah kurang banyak memberi kepada almarhum ayahmu!” Langkahku terhenti. Aku membalikan badan dan berjalan cepat “Syla! ceritakan apa maksudnya semua ini?” Cengkramku pada pundaknya. “Bob, ini sakit!” “Ceritakan dulu apa maksudmu?”, cengkramanku makin menguat. “Bob.. sakit,  Bob…!” mukanya meringis menahan sakit. Matanya tidak lepas dari mataku. Entah kenapa  mata itu seperti menghipnotisku. Sebuah mata yang tulus. Oke, mari kita bicara,” sautku ketika sudah menguasai diri sambil melepaskan cengkraman. Ia tampak mengelus bahunya yang baru ku cengkram. “Silahkan,” sahutku tidak sabar “Bob, aku Syla Istrimu, jangan panik dulu!”, ia cepat menenangkanku saat melihat bahasa tubuhku sudah akan meledak. “Aku ISTRIMU DI MASA DEPAN, dan tolong dengarkan ceritaku sampai tuntas” Aku masih terdiam menunggu kelanjutan ceritanya. Aku jadi penasaran dengan maksud perempuan misterius ini. “Itu alasan kenapa aku tau semua tentang dirimu. Itu  karena aku istrimu. Oke, ini mungkin tidak masuk logika. Tapi lima tahun dari sekarang kita akan bertemu, setahun kemudian menikah. Kita menetap di Bengkulu, sesuai keinginanmu untuk mengabdi. Kita punya rumah di pinggir pantai dengan halaman yang dipenuhi rumput hijau. Setiap sore kita menghabiskan waktu memandang matahari terbenam. Kalau kau tidak sibuk, kita berjalan-jalan ke Kepahyang menikmati kebun teh. Familiar dengan itu semua Bob?”  “Ya, itu mimpiku saat ini. Bagaimana kau bisa tahu?” “Itu karena aku istrimu, Bob” “He..eh.. aku tidak tahu bagaimana caramu mengetahui semua mimpiku, tapi jangan paksa aku untuk mengakui kau istriku. Bahkan di masa depan”. “Ok, kita masuk yang lebih pribadi. Kau punya tanda lahir di atas pinggang sebelah kiri. Bekas luka di betis kanan yang kau dapatkan saat jatuh dari sepeda Rommy. Jari manismu selalu keseleo saat coba kau pletekan”. “Sialan, bagaimana kau tau sejauh itu?”. “Aku istrimu Bob. Mau kuceritakan tentang kematian ibumu yang paling kau sesali?” “Tidak!” Hening. Aku tak habis pikir bagaimana ia dapat mengetahui semuanya. Beberapa hal cerita mungkin diketahui oleh orang-orang terdekatku. Beberapa yang lain bahkan tidak pernah ku ceritakan pada siapapun. Kalau ia mengetahui sebanyak itu, tentulah ia begitu dekat denganku. Tapi, aku bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Bagaimana seseorang yang tidak pernah bertemu tiba-tiba mengetahui semuanya.  “Jika kau istriku di masa depan. Bagaimana kau bisa berada di hadapanku saat ini?”  “Sepuluh tahun dari sekarang. Enam  tahun setelah kita menikah. Telah ditemukan mesin waktu yang bisa digunakan di kalangan terbatas. Aku beruntung terlibat di dalamnya dan menggunakannya di percobaan awal” “ Hahaha…bagaimana bisa aku mendapatkan lelucon bertibu-tubi seperti ini!!” “He eh, Aku sudah membayangkan bahwa kau akan tertawa. Bob, saat ini penelitian-penelitian di Jerman dan Swedia yang didukung negara-negara kaya telah menemukan  lubang cacing perjalanan waktu. Kau tentu sadar akan hal tersebut. Kemajuan teknologi tak dapat ditahan. Percepatan teknologi di tahun 2021 saja sudah membuat semua kebutuhan terpenuhi dari rumah. Beberapa penemuan bahkan sudah menyediakan wisata ke tempat-tempat yang jauh hanya dengan menggunakan kacamata. Berikutnya, benda padat akan dapat berpindah ke dimensi waktu, manusia”. Aku  mengerenyitkan kening. Betulkah? Ia begitu yakin dengan apa yang ia katakan.  Baiklah, daripada aku bingung sendiri lebih baik ku ikuti saja alur berpikirnya. “Oke, ceritakan bagaimana awalnya kita bertemu?” “Oh aku sudah tidak sabar ingin menjawab pertanyaanmu ini. Kita bertemu di perpustakaan digital. Kau tertarik pada antropologi sejarah dan seni, aku pada fisika agama dan biologi. Diskusi kita selalu berhubungan dengan perilaku manusia”. “Diskusi?” “Ya! Sangat sering. Penuh perdebatan.” “Lalu dengan begitu kita bahagia?” “Tentu saja Bob. Aku adalah perempuan idamanmu. Kau adalah lelaki yang menyeimbangkan egoku. Setiap malam aku memasak dan kau menyiapkan perapian. Kita mengobrol sampai malam. Setelahnya kau mengantuk dan tidur, sementara aku melanjutkan penelitian. Pagi hari aku membangunkanmu untuk bekerja, lalu gantian aku yang tidur.  “Oh ya, sepertinya itu tidak normal. Kau yakin kita bahagia?” tanpa sadar aku sudah menyebut kita. “Banget. Tentu kita pernah bertengkar, tapi tak lama. Oh iya, kita hobi sekali berdebat haha” “Bagaimana dengan anak? Apakah aku punya anak?” “Sayangnya tidak. tiga tahun kebersamaan, kita belum diberikan anak” “Oh sayang sekali. Tadi kau menyebutkan tiga tahun. apakah tahun ke empat kita baru kita dianugerahi anak?” “Tidak Bob. Setelah tiga tahun kita tetap tidak dikaruniahi anak” “Apakah kita tidak berobat? Tentu di masa depan teknologi lebih maju seperti yang kau katakan. Tentu tidak sulit untuk mendapatkan keturunan” “Di masa depan kita justru makin tersadar bahwa ada keterbatasan teknologi. Salah satunya adalah keturunan. Kita harus mengakui ada kekuatan lain yang lebih hebat dibanding teknologi” “Apakah aku yang bermasalah? Mungkin bisa ku obati dari sekarang. Atau itukah alasanmu ke masa lalu? Karena kau ingin mendapatkan keturunan. Katakan saja, apa yang harus ku perbuat?” “Tidak Bob!”, mata itu berubah sayu, “tidak ada yang salah. Mungkin kita belum diberi saja”. “Kalau begitu bagaimana di masa depannya lagi. Setelah 3 tahun. Apakah kau bisa melihat ke depan?” “Bob!  setelah 3 tahun, kita memutuskan untuk berpisah” “APA!!!” “Iya Bob, kita berpisah. Di masa depan terjadi perubahan perilaku pada manusia. Benturan peradaban telah mencapai titik yang memprihatinkan. Orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda akan saling menghancurkan. Teknologi telah mengubah manusia menjadi terpolarisasi dengan agama sebagai puncaknya. Mereka yang berbeda agama pada akhirnya akan terpisah. Dunia menjadi terbagi menjadi lima wilayah agama yang besar. Setiap orang bermigrasi pada tempat yang sesuai dengan agama yang dimilikinya”. “Tapi bukankah masih banyak tokoh-tokoh agama yang masih bisa hidup bersama?” “Sekarangpun di saat ini, kedamaian di negara ini bisa tercapai karena keberadaan tokoh-tokoh agama ini. Tapi embrio fanatisme sudah bisa kau rasakan bukan? Ketika tokoh-tokoh kharismatik meninggal maka arah kebenaran dipegang oleh tokoh-tokoh radikal yang dikultuskan. Maka kata-kata provokatif sudah bisa menjadi alat untuk membunuh seseorang”. “Lalu mengapa kita berpisah Syla?” Aku tiba-tiba merasa sayang dengan perempuan ini. “KARENA KAU MENCINTAIKU, BOB!! Kau tak bisa melindungiku dari ancaman dan teror di sekeliling kita. Tekanan agar menceraikan aku begitu besar walau kau bersikukuh untuk bertahan. Kau tak pernah menyerah tapi juga realistis. Migrasi orang-orang telah dimulai. Karena di sini agamamu mayoritas, maka agama lain berduyun-duyun terbang meninggalkan negara ini.  Kesempatan untuk keluar telah memasuki detik-detik terakhir. Kau berjanji akan selalu melindungi aku. Aku bersumpah untuk mati daripada berpisah denganmu. Pada penerbangan terakhir kau bohongi aku hingga penerbanganku ke Swedia merupakan tanda perpisahan kita. Aku menangis menjerit-jerit mengetahui kau tak ikut di pesawat.  Dua kali pingsan karena tak sanggup menahan emosi. Pada video call terakhir kau berjanji akan mencari ruang agar kita bertemu kembali”.  “Kau menangis Syla?” ku lihat mata itu berair. “Aku rindu kamu Bob..”, kemudian tangis itu pecah-sepecahnya, “Kamu tega Bob, berbulan-bulan aku sakit menahan rindu…” lalu tangis tersedat tersebut menguncang tubuhnya. Aku bingung tak tau harus berbuat apa. Perempuan di depanku ini menangis sejadinya. Ku dekati ia. Ku pegang pundaknya. “Sudahlah Syla, tenangkan dirimu..”, tubuh itu berbalik dan memeluk tubuhku. Ia menangis makin kencang. *** “Sori Bob, sulit bagimu untuk mengerti perasaanku, tapi aku betul-betul rindu” “Jika kau sudah tenang, maukah kau melanjutkan ceritamu?” “Ada apa Bob?” “Bagaimana tiba-tiba kau kembali ke masa ini?” “Setelah berbulan-bulan mengurung diri di kamar. Teman penelitianku di dunia maya mengabarkan bahwa mereka sedang mengembangkan mesin waktu. Beberapa ilmuwan menjadi sadar bahwa sebentar lagi perang besar akan terjadi. Mereka tau bahwa tidak ada lagi jalan untuk mencegahnya di masa depan. Jalan satu-satunya adalah dengan mencegahnya di masa lalu. Proyek mesin waktu itu akan digunakan untuk menyadarkan orang-orang untuk mengembangkan toleransi dan pluralisme. Aku bergabung karena memiliki harapan akan terjadi perubahan. Kita harus  melakukan hal yang benar di masa ini” “Oh jadi dirimu akan memulai proyek besar untuk menyadarkan manusia akan pentingnya toleransi beragama?” “Tidak Bob, itu bukan tugasku. Kau yang akan menjalankan tugas itu. Kami tidak bisa merubah apapun. Yang bisa kami lakukan adalah menghubungi orang-orang terdekat untuk segera bersiap dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan” Atau tertegun. Mengapa pula ini seperti tugas dari masa depan. “Aku tau kamu akan menjalankannya. Tanpa ku beri taupun kau akan menjalankan prinsip-prinsip yang menurutmu benar. Aku hanya ingin memberitahumu untuk sedari dini mengembangkan pemikiranmu agar diketahui oleh yang sepemikiran denganmu. Kau harus bersama-sama. Tak bisa sendiri. Mereka yang terpapar radikalisme diam-diam telah menyusun kekuatan dari sekarang. Mereka sangat terorganisir. Untuk melawannya kau harus terorganisir juga”. “Oh..”, ujarku setengah takjub, setengah tak percaya. “Bob, aku serius. Kau harus segera bicara dan mengeluarkan sikapmu. Kau tidak boleh diam melihat perubahan perilaku manusia saat ini. Bob..!” Syla berdiri dan memegang kerahku. Matanya tajam. Ia minta kesungguhanku. “Oke oke.. Syla, kau bisa melepaskan cengkramanmu.” Aku meluruskan kerahku. Perempuan ini serius dengan perkataannya. “Maaf Bob, tapi waktuku terbatas, aku harus memastikan bahwa kau mengerti apa yang ku katakana.” “Kau akan kembali ke masa depan?” aku mulai merasa takut kehilangan perempuan ini “Mesin waktu ini belum sempurna. Partikel dalam tubuhku tidak mampu sepenuhnya bertahan dalam posisi solid. Perkiraanku hanya dua jam. Setelahnya ia akan kembali menjadi partikel dan kembali ke awal. Namun sayangnya kami belum bisa memperkirakan kemana kembalinya partikel tersebut. Bisa dikatakan ini tiket satu arah” “Maksudmu kau tak tau akan menjadi apa, di mana?” “Iya, bisa dikatakan begitu” “Tapi tubuhmu sama seperti lainnya” “Ya, dalam waktu tertentu” “Syla, mengapa kau mengambil resiko untuk itu?” “Di masa depan aku tak pernah siap saat harus berpisah denganmu. Ku ambil resiko ini untuk setidaknya bertemu denganmu walau untuk yang terakhir. Bukankan aku pernah bersumpah aku lebih baik mati dari pada harus berpisah denganmu”. “Lalu apa yang kita lakukan sekarang? Kau sudah menyampaikan pesanmu dan aku tidak percaya jika kau akan hilang menjadi partikel” “Tau usah pikirkan itu. Saat ini aku ingin merayakan pertemuan pertama kita di masa depan. Persis seperti ini, saat kita memperdebatkan pentingnya saling menghormati antaragama. Kita berdebat sengit” “Oh iya, apa yang kita lakukan setelah perdebatan sengit itu” “Kita Menikah..” “Oh Iya…” “Ya, kita menikah walau banyak tentangan dari berbagai pihak” “Wow aku terlihat heroik sekali” “Hahaha kamu memang pahlawanku sayang” “Bolehkah aku memeluk perempuan masa depan ini” “Tentu saja, aku istrimu, lagipula bukankah ku katakan tadi bahwa ini adalah sebuah perayaan pertemuan kita di masa depan nanti” Aku berdiri memeluknya. Ia mendekapku erat. Wajahnya disandarkan di dadaku. Kami larut dalam pelukan. Hening. Kemudian suara lirih terdengar di kupingku, “Bob aku sayang kamu”. Lalu, hanya ada hening. Antapani, 29 Januari 2018. Tentang Penulis Alfarabi seorang laki-laki dari Bengkulu yang saat ini tinggal di Bengkulu. Ketertarikannya pada dunia tulis-menulis berawal dari bertukar cerpen dengan teman sesama penulis. Tahun 2009 ia memberanikan diri mengirim cerpen-cerpennya ke Harian Jogja. Setelah karyanya dimuat beberapa, ia mulai ketagihan untuk terus menulis. Setelah sekian lama vakum, akhir 2017 ia memulai kembali menekuni dunia tulis-menulis. Alfarabi saat ini beralamat di Bentiring, Kota Bengkulu. Bisa dihubungi juga di e-mail: alfarabialfa@gmail.com atau HP 085235074704. 

Tags :
Kategori :

Terkait