Hutan Lindung Semakin Gundul
BENGKULU, Bengkulu Ekspress - Kawasan hutan di Provinsi Bengkulu saat ini telah banyak dirambah oleh oknum masyarakat. Beberapa diantaranya dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan perkebunan padahal fungsi utama hutan salah satunya adalah untuk mencegah terjadinya bencana alam seperti longsor dan banjir.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, Ir Agus Priambudi mengaku, berdasarkan data rekapitulasi daerah rawan kerusakan kawasan hutan Provinsi Bengkulu pada 2018 setidaknya ada 21.406 ha dari 461.666 ha kawasan hutan lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang telah dirusak oleh masyarakat. Kerusakan tersebut memang sengaja dilakukan oleh masyarakat untuk dijadikan lahan perkebunan sehingga semakin lama hutan lindung hutan semakin gundul.
\"Tanpa izin dari Pemerintah, kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut termasuk ilegal,\" kata Agus, kemarin (18/10).
Pemerintah telah mendorong masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk memanfaatkan program perhutanan sosial agar pengelolaan hutan menjadi legal. Akan tetapi bagi masyarakat yang dengan sengaja merusak hutan dan tanpa ada surat izin dari Pemerintah maka aktivitas yang dilakukan adalah ilegal.
Dampak dari aktivitas ilegal tersebut selain menurunkan kualitas hutan juga berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem mahluk hidup didalamnya. Belum lagi kegiatan itu juga akan menyebabkan terjadinya bencana alam seperti tanah longsor dan banjir karena pohon yang selama ini menahan tanah dan menyerap air tidak ada lagi. \"Kami mendorong masyarakat untuk ikut perhutanan sosial, jangan sampai aktivitas perkebunannya jadi ilegal dan berurusan dengan hukum,\" terang Agus.
Seperti diketahui, pada 2016 lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri No. 83 tentang Perhutanan Sosial, yang bertujuan menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat di dalam atau sekitar kawasan hutan. Demi kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.
Dalam peraturan menteri itu, disebutkan, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari dalam hutan Negara atau hutan hak (hutan adat) oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama. Bentuk-bentuk perhutanan sosial terdiri dari hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan.
\"Untuk di Bengkulu saat ini luas Perhutanan Sosial sudah 41.693,16 ha, sementara target hingga 2019 mendatang perhutanan sosial harus mencapai 151 ribu ha,\" jelas Agus.
Meski Pemerintah memberikan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola hutan, akan tetapi tidak serta merta masyarakat boleh menanam kelapa sawit. Sesuai aturan, masyarakat hanya boleh menanam tanaman berkayu atau keras seperti kopi, karet, pala dan tanaman keras lainnya. Sehingga jika ada masyarakat dibawah tahun 2016 ada yang telah terlanjur menanam kelapa sawit, maka pemerintah memberikan keringanan selama 12 tahun.
Dan setelah 12 tahun pohon kelapa sawit tersebut harus ditebang. \"Sesuai peraturan, masyarakat hanya boleh menanam tanaman keras dan dilarang menanam kelapa sawit, tetapi dibolehkan hanya sampai 12 tahun setelah itu hanya boleh menanam tanaman keras,\" tutupnya.
Manager Kampanye Industri Ekstraktif WALHI Bengkulu, Dede Frastein mengatakan, pengerusakan kawasan hutan di Bengkulu bisa mendorong terjadinya banjir dan tanah longsor. Bahkan beberapa wilayah di Provinsi Bengkulu rawan banjir dan longsor, selain itu kawasan hutan dan kondisi taman nasional juga telah mengalami kerusakan cukup parah sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.
\"Kerusakan hutan dan lingkungan hampir terjadi di seluruh landscape di Bengkulu yang menyebabkan hilangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan, padahal itu sangat berguna untuk menahan potensi bencana yang disebabkan oleh alam,\" kata Dede.
Belum lagi kondisi curah hujan tinggi yang terjadi belakangan ini tidak lagi mampu diserap oleh hutan yang kondisinya sudah kritis. Sehingga semuanya mengalir ke daerah yang lebih rendah. Di tambah lagi kondisi sungai-sungai yang telah mengalami erosi dan pendangkalan, menyebabkan fungsi menampung dan mengalirkan air tidak optimal, sehingga menyebabkan limpahan air menjadi banjir. \"Situasi ini harus segera disikapi dengan serius oleh pemerintah melalui stakeholder terkait. Diperlukan arah kebijakan pemerintah untuk mengembalikan fungsi-fungsi ekologis kawasan hutan,\" ujar Dede.
Ia menambahkan berbagai regulasi penyelamatan dan pengaturan pemanfaatan SDA secara berkelanjutan harus segera dibuat dan diimplementasikan. Dengan demikian, secara jangka panjang ada roadmap yang bisa diimplementasikan. \"Kami berharap, pemerintah bisa lebih aktif mencegah terjadinya bencana sejak dini, karena tidak hanya kawasan hutan dijadikan perkebunan, tetapi beberapa kawasan juga da yang dirambah diambil kayunya,\" tutupnya.(999)