Dulu Jualan Soto Ayam Keliling, Sekarang Omzet Miliaran Rupiah

Dulu Jualan Soto Ayam Keliling, Sekarang Omzet Miliaran Rupiah

PEPATAH lama yang menyatakan \"hidup seperti roda berputar\" tampaknya berlaku juga bagi Hasni Sadi.

Berawal dari menjadi buruh lepas penjual soto ayam keliling, kini Sadi sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah per bulan.

Lewat usahanya \"Soto Ayam Ambengan Pak Sadi Asli”, dia bisa meraup omzet hingga lebih dari Rp 600 juta per bulan.

Pria kelahiran Lamongan, 8 Agustus 1945 ini mengaku dulu ia tak pernah berpikir hidupnya bakal sesukses seperti sekarang. Laba pertama kali seingatnya hanya sekitar Rp 5.000 sebulan.

Pria berkacamata ini tidak segan menceritakan awal mula ia merintis karier. Merantau ke Surabaya sejak tahun 1962 dengan satu tujuan, yaitu mencari nafkah. Di usianya memasuki umur 17 tahun, hanya dengan modal nekat, ia merantau ke Kota Pahlawan.

Sadi yang masih remaja harus datang ke Surabaya. Di kampung halamannya, Lamongan, ia tidak memiliki apa-apa untuk hidup.

\"Ibu saya meninggal ketika saya berusia tujuh tahun, dan ayah hanya buruh sawah atau kerja serabutan. Kata orang kalau mau sukses harus mencoba hidup di kota, jangan di desa,\" kisah Sadi.

Pekerjaan pertama yang ia dapatkan adalah membantu kerabatnya berjualan soto. Tugasnya, memikul pikulan soto keliling kampung.

Satu tahun Sadi menekuni pekerjaan itu, pria yang mengaku tidak tamat sekolah dasar akhirnya memutuskan merintis usaha sendiri.

Dengan modal pinjaman dari kerabatnya sebesar Rp 5 ribu, ia memilih usaha berjualan tahu tek.

Dengan gerobak yang ia dorong, berkeliling berjualan tahu tek di Surabaya. Dari satu daerah ke daerah lain sudah menjadi rute sehari-harinya.

\"Saya ingin jualan sendiri. Waktu itu saya jualan tahu tek. Jualan hari pertama hanya laku 12 piring. Harganya murah sekali, Rp 5 seporsi,\" kata pria yang memiliki 10 orang anak ini.

Sadi menyebutkan keterampilannya membuat makanan itu belajar dari kerabat-kerabatnya di indekos.

“Kebetulan dalam satu indekos itu semua penghuninya pekerjaannya membuat makanan dan dijual keliling,” ucapnya saat disambangi di Soto Ayam Ambengan Pak Sadi Asli cabang Balikpapan di wilayah Sungai Ampal, Rabu (8/9) pagi.

Sampai tahun 1967 dari keuntungan yang ia dapat berjualan tahu tek, ia pun mulai mencoba beralih berjualan soto ayam.

Mnegapa ia berjualan soto? Karena sejak pertama kali bekerja ia telah belajar dan mengamati bagaimana meracik soto yang enak.

“Tapi, saya menjual soto waktu itu hanya bertahan 10 bulan. Entah kenapa, padahal saya sudah berkeliling,” tutur pria yang memiliki anak-anak beragam profesi, dari dokter hingga pilot.

Dengan raut wajah antusias ia tidak segan menceritakan kegagalannya itu. Bahkan sempat ketika dagangannya tidak laku. Ia memutuskan menghabiskannya sendiri.

Alhasil, keesokan harinya ia terserang penyakit diare dan harus beristirahat selama dua minggu.

Meski keuntungan belum berpihak kepadanya, namun ia tidak patah arang untuk bangkit.

Pria sederhana ini memilih kembali berjualan tahu tek. Sampai tahun 1971, inilah langkah awal jalan kesuksesannya.

“Ada seorang pelanggan saya, waktu itu menawarkan membuka warung makan di depan asrama Brimob Jalan Ambengan, Surabaya. Saya terima tawaran itu,” ungkapnya.

Tidak membuka tahu tek, justru ia kembali membuka warung soto menggunakan gerobak di halaman tersebut.

Sadi mengaku, pengalamannya meracik soto menjadi alasannya. Ia juga yakin jika di daerah itu, untuk berjualan soto cukup laku. Dalam berjualan, ia dibantu istrinya, Djaijah. Kemudian tidak lama ia dibantu seorang pegawai.

Pertama kali berjualan, Sadi memakai nama warung sotonya itu \"Soto Ayam Cita Rasa\". Pembeli pertamanya adalah penghuni asrama Brimob itu.

Lama-kelamaan  warung sotonya makin dikenal orang. Namanya bukan lagi Soto Ayam Cita Rasa, tetapi Soto Ayam Ambengan, sesuai dengan nama jalannya.

“Nama itu saya ganti karena masyarakat mayoritas menyebut dagangan saya “Soto Ayam Ambengan”, bukan Soto Ayam Cita Rasa” sahutnya.

Dalam perjalanannya, banyak kisah senang sedih yang ia rasakan. Mulai dari menyaksikan sang istri harus membantunya sembari menggendong anak pertamanya. Kemudian, melihat anaknya tidur di kolong gerobak.

Dari kesuksesan itulah, pundi-pundi rupiah terus mengalir ke dalam kantongnya.

Meski hanya membuka lapak sederhana namun masyarakat yang datang dari pagi hingga siang hari tak berhenti datang.

Walau cukup direpotkan, Sadi akhirnya bisa merasakan hasil dari kerja kerasnya. Dia bisa membeli sebuah rumah di Jalan Ambengan 3A, dan mendirikan sebuah warung soto yang lebih permanen di sana.

Perjalanan usaha Sadi, bak sebuah mobil Ferrari yang menanjak. Tepat tahun 1989, Sadi membuka cabang di Jakarta. Tawaran itu ia dapat sama seperti sebelumnya.

Berasal dari pelanggannya yang mengenalkan dia dengan orang Jakarta. Melihat kesempatan melebarkan sayap itu, ia menerima tawaran kerja sama dari pemilik sebuah rumah di Jalan Wolter Monginsidi, Kebayoran itu.

“Saya tidak menyangka di Jakarta banyak rumah makan yang menamai Soto Ayam Ambengan cabang Surabaya. Padahal saya tidak membuka cabang di manapun,” ujarnya.

Sadi mengaku sempat geram. Ia ingin mematenkan nama usahanya itu. Namun, nama jalan tidak bisa dipatenkan sebagai rumah makan. Akhirnya, ia menambahkan namanya di belakang tulisan soto Ambengan, menjadi Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli).

Kerja sama dengan orang Jakarta itu tidak berjalan sampai satu tahun. Karena pandangan yang berbeda akhirnya kerja sama tidak dilanjutkan. Tapi, ia tidak langsung menutup cabangnya di Jakarta.

Potensi yang sangat besar menjadi pertimbangannya ia tetap membuka warung soto di daerah Kebayoran. Sampai akhirnya dia sempat mengontrak rumah lalu membeli tanah dan dibangunnya rumah makan Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli) keduanya.

“Yang dulunya hanya sebuah warung. Sekarang rumah makan Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli) baik di Surabaya maupun di Jakarta berbentuk bangunan tiga lantai. Ia juga mempersilakan karyawannya untuk tinggal di lantai dua dan tiga.

Sadi sendiri saat ini hanya bertugas mengawasi karyawan. Dia tidak lagi turun ke dapur untuk memasak, atau menjadi kasir menerima uang pelanggan seperti awal ia lakukan.

Tidak heran puluhan tahun berdiri, banyak pelanggan setianya yang bahkan hingga anaknya dan cucunya menjadi pelanggannya kembali. Dulu satu porsi hanya seharga Rp 250 sampai Rp 28.000.

“Ya dulu, awal mula saya hanya memotong ayam lima ekor saja untuk soto. Sekarang untuk Surabaya saja satu harinya sekitar 100 ekor ayam dipotong,” bebernya.

Kegigihan dan tidak menyerah untuk mencoba menjadi kunci suksesnya. Tawaran untuk membuka cabang terus berdatangan. Permintaan franchise kerap ia terima.

Diungkapkannya, untuk franchise saat ini ia banderol mulai dari Rp 250 juta Rp 350 juta selama lima tahun.

Namun ia meyakinkan, dalam sebulan satu cabang Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli) jika ramai bisa memperoleh omzet hingga Rp 300 juta per bulan. Jika sepi, hanya Rp 150 juta.

Total, saat ini ia sebutkan ada 20 cabang Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli). Di luar Jakarta dan Surabaya adalah di Balikpapan, Lombok, dan Sorong.  Kalau ditotal ya omzetnya bisa menyentuh angka miliaran per bulan.

Namun, restoran yang ia langsung kelola hanya dua, yakni di Ambengan, Surabaya dan di Kebayoran, Jakarta.

Anda yang pernah makan cabang Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli) pasti familiar dengan Sadi. Pasalnya di ornamen piring kita bisa melihat wajah pria yang mengaku memiliki hobi berenang dan lari ini.

Menurut Sadi, soto ayamnya tidak berbeda dengan soto ayam yang banyak beredar di Surabaya, dengan kuah yang berwarna kuning kental.

Isinya hanya sohun putih, potongan daging dan kulit ayam, seiris telur, dan koya.

\"Kunci keenakan sotonya adalah di koya karena koya yang membuat soto menjadi gurih,” ujar pria rendah hati ini. (**/lhl/k15/sam/jpnn) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: