Merasa “Indonesia Is The Best” Justru Ketika di Mancanegara
Kisah Para WNI di Negara Pedalaman Afrika
Tinggal di luar negeri dengan beragam fasilitas dan kemudahan mungkin menjadi impian banyak orang di Indonesia. Tapi tinggal di Zambia, negara yang terletak di pedalaman Afrika, tentu tak terbayangkan sebelumnya. Itu pula yang dialami sejumlah warga negara Indonesia (WNI) di Zambia. Ayatollah Antoni, Lusaka ZAMBIA merupakan negara miskin di Afrika. Posisinya terkunci (landlocked) di tengah-tengah Benua Hitam itu. Negara yang beribu kota di Lusaka itu tanpa pantai dan pelabuhan laut. Dari udara terlihat jelas mayoritas ruas jalan yang belum beraspal. Bahkan jalanan dari Lusaka menuju Bandara Internasional Kenneth Kaunda gelap-gulita tanpa penerangan di malam hari. Untuk masalah kejahatan, para pendatang di Zambia pun harus ekstra waspada. Rumah-rumah warga asing di Zambia biasanya dilengkapi penjaga, pagar tinggi dengan aliran listrik, serta CCTV. Jendela dan pintu-pintunya bahkan dipasangi terali. Mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM) pun tak cukup hanya diawasi dengan CCTV. Selalu aja ada petugas bersenjata. Berdasarkan catatan Biro Keamanan Diplomatik Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (OSAC) 2015, angka kejahatan di Zambia memang tinggi. Pencurian, pembobolan rumah warga dan perampokan di jalanan merupakan hal yang biasa di Zambia. Sasarannya adalah ekspatriat atau pun pengunjung dari negara lain. Belum lama ini seorang WNI yang berkunjung ke Zambia nyaris jadi korban pencopetan saat antre di tempat pemeriksaan jelang counter check in penumpang Kenneth Kaunda International Airport. Telepon selularnya tiba-tiba lenyap ketika dimasukkan ke mesin x-ray. Baru setelah ia teriak-teriak kehilangan iPhone, tiba-tiba ada seorang petugas ground handling menyerahkan gadget buatan Apple Inc itu. Di Lusaka, suasananya juga semrawut. Bahkan ketika ada pendatang sembarangan memotret, bisa-bisa didatangi warga lokal. Urusannya bisa panjang. “Amit-amit, deh. Jangan sampai jadi korban kejahatan di sini,” kata Nina Johnson, WNI yang mengikuti suaminya tingal di Lusaka. Di Lusaka saja ada belasan WNI. Sebagian besar dari mereka adalah rohaniwan. Awal pekan lalu beberapa di antara mereka brekumpul di sebuah restoran untuk perpisahan Arsyanti, WNI di Zambia yang bakal segera ikut suaminya ke Jepang. Nina adalah warga Pluit, Jakarta Utara. Ia bersuamikan Wayne Johnson, pria Inggris yang menjadi guru di Lusaka. Dulunya Nina juga tak membayangkan bakal tinggal di Zambia. “Tapi karena ikut suami, ya wis lah (ya sudah lah, red),” ujar perempuan berdarah Osing, Banyuwangi itu. Nina bersama Wayne dan dua momongan mereka sudah dua tahun ini tinggal di Lusaka. Tentu saja ia bisa membandingkan Jakarta dengan Lusaka. “Jauh enak di Jakarta lah,” tuturnya. Menurutnya, di Jakarta bisa berjalan sendirian dalam kondisi aman. Ia menegaskan, untuk ukuran makanan enak, Jakarta adalah tempatnya. “Di sini nggak ada laut. Kalau kepengin seafood juga mahal. Coba di Jakarta, di pinggir jalan juga ada seafood enak,” katanya. Suami Nina, Wayne Johnson bahkan sudah kecanduan dengan makanan Indonesia. Rendang adalah salah satu kegemarannya. Wayne juga demen dengan mi instan di Indonesia. “Tidak ada mi instan seenak mi goreng di Indonesia. Paling enak,” katanya sembari menyebut salah satu merek mi instan. “Pokoknya Indonesia is the best. Segalanya murah,” timpal Nina. Bagi penggemar barang-barang branded atau bermerek, Lusaka juga bukan tempat belanja yang pas. Tak banyak pusat perbelanjaan di negeri yang bermata uang Kwacha itu. Sebenarnya ada beberapa mal. Tapi memang tak sebesar di Jakarta. Bangunannya paling terdiri dua atau tiga lantai. Soal makanan juga bisa jadi masalah bagi WNI yang pertama kali datang di Zambia. “Sulit di sini makanan lokal yang cocok sama lidah Indonesia,” kata Arsyanti, warga Depok, Jawa Barat yang sudah 3 tahun lebih tinggal di Lusaka. Menurutnya, suasana Indonesia memang tak tergantikan. Apalagi ketika Ramadan dan Idul Fitri, katanya, suasana di Indonesia tak akan ditemukan di negeri lain. Arsyanti bersuamikan Kozo Sunada, seorang diplomat Jepang. Pekan lalu, Sunada mengakhiri tugasnya di Lusaka dan segera pulang kampung ke Hiroshima. Kepulangan Sunada ke Jepang itu menjadi kesempatan bagi Arsyanti untuk pulang kampung. Ia ingin pada Ramadan dan Lebaran tahun ini bisa bersama keluarganya di Depok. “Saya dan anak saya mau Ramadan penuh di Indonesia,” ujarnya. Ada juga Ida Litaay. Ia bekerja sebagai geologist di sebuah perusahaan pertambangan di Zambia. Ia lebih beruntung karena setiap tiga atau empat bulan sekali bisa mendapat kesempatan pulang ke Indonesia. Karenanya, Ida memang lebih lama tinggal di Zambia dibandingkan kolega-koleganya sesama WNI. “Saya sudah 4,5 tahun di sini,” katanya. Beruntung para WNI di Lusaka bisa guyub dan kompak. Secara berkala mereka bertemu dan menggelar kegiatan bersama. Mereka bahkan pernah ikut berpartisipasi pada ajang Lusaka Internatioal Food Fair 2015. Dengan difasilitasi Konsul Kehormatan RI di Zambia, Levi Zulu, para WNI di Lusaka ikut memamerkan makanan khas Indonesia. “Kami bikin bakso, dan makanan asli Indonesia lainnya. Gorengan yang paling laris. Ternyata banyak ekspatriat yang pernah tinggal dan kesengsem dengan Indonesia,” ujar Nina. Ia bahkan yakin andai ada yang mau berbisnis makanan Indonesia di Lusaka, pasti bakal sukses. “Itu Mbak Ida jago bikin bakso,” kata Nina sembari menunjuk Ida Litaay. “Saya malah penginnya jual bubur ayam,” kelakar Arsyanti yang langsung ditimpali tawa sohib-sohib akrabnya di Lusaka itu. Di Zambia ada sekitar 400-an WNI. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja di pertambangan. Staf bidang ekonomi KBRI Zimbabwe yang juga membawahi Zambia, Rudy Soeryanata mengatakan, angka terakhir WNI di negeri pimpinan Presiden Edgar Chagwa Lungu itu ada 396 orang. Namun, kata Rudy, angkanya memang dinamis. “Angkanya berubah-ubah karena pekerja tambang kan bisa ganti-ganti. Mereka biasanya langsung lapor begitu ada pergantian,” kata diplomat asal Surabaya itu.(ara/jpnn)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: