Akar Diskusi Hukum Adat
BENGKULU, BE - Akar Foundation menggelar diskusi publik, kemarin. Diskusi ini bertemakan sentralisme hukum dan pengingkaran hak Masyarakat lokal atas kekayaan alam, telaah naskah (konten). Kajian perdana tersebut diisi oleh pakar hukum Universitas Bengkulu, Dr Chandra Irawan SH MH. Dalam pemaparannya, Chandra mengatakan dunia saat ini menganut hukum modern. Begitu juga Indonesia, hukum yang dianut adalah hukum positive. Hukum positif adalah hukum tertulis. Padahal, Indonesia punya hukum yang tidak tertulis. \"Hukum adat itu tidak tertulis\", jelasnya. Faktanya, hari ini hukum legal positif tersebut absen dalam mengisi hak masyarakat atau kedaulatan rakyat. Terbukti, dengan banyaknya konflik agraria yang menegasikan hukum adat. \"Hukum yang digunakan sekarang, itu hukum legal formal. Kalau terjadi konflik agraria, yang menang yang punya sertifikat\", contohnya. Dia menilai dewasa ini, diperlukan hukum yang tidak tertulis untuk mengakomodir agar tidak terjadi konflik agraria, karena hukum positif tidak mampu. Dengan kondisi modernisme saat ini, hukum hanya dinilai dari formalitas dan tidak menyentuh substantifitas. Chandra menyarankan agar hukum-hukum adat segera dituliskan. \"Agar hukum adat tersebut implementatif, harus ada penulisan dan pembuatannya dalam bentuk legal-formal\", tambahnya. Bentuk dari legalisasi tersebut, bisa menggunakan perda (peraturan daerah). Dia mencontohkan, pada pasal 18 B UUD 1945, hukum adat diakui dan bisa diimplementasikan. Salah satu caranya adalah menggunakan perda. \"Kita beruntung dengan otonomisasi, sehingga kita bisa memasukkan hukum adat dalam bentuk Perda\", katanya. (cw5)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: