Mengembalikan Kedaulatan Teh Indonesia

Mengembalikan Kedaulatan Teh Indonesia-ANTARA FOTO-
Meski demikian, titik terang masih terlihat. Teh Indonesia tetap diminati sejumlah pasar tradisional dan negara tetangga. Lima besar pembeli teh pada 2022 adalah Malaysia (8.569 ton), Rusia (6.618 ton), Amerika Serikat (3.258 ton), China (2.780 ton), dan Pakistan (2.746 ton).
Malaysia kerap mengimpor untuk bahan baku teh tarik dan industri re-ekspornya, sementara Rusia dan AS menyukai varian khas kita seperti teh hijau dan specialty tea. Sayangnya, volume ekspor ke masing-masing negara tersebut masih relatif kecil.
Di dalam negeri, muncul ironi lain: banjirnya teh impor murah. Demi menekan biaya, sejumlah produsen minuman justru mendatangkan daun teh kualitas rendah dari luar negeri, karena harganya lebih murah dibanding teh lokal. Teh asing ini menguasai segmen teh curah murah hingga teh kemasan harga ekonomis, menambah berat beban persaingan bagi petani lokal.
Hilirisasi dan PR industri
Salah satu pangkal masalah keterpurukan kedaulatan teh Indonesia adalah lemahnya sektor hilirisasi atau industri pengolahan bernilai tambah. Selama ini, kita lebih banyak menjual teh dalam bentuk bahan mentah, berupa daun kering atau bubuk dalam karung besar, ketimbang produk olahan bermerek.
Kualitas teh ekspor kita pun umumnya kelas menengah untuk kebutuhan campuran (blending) merek global, bukan produk premium single-origin yang dihargai tinggi. Nilai tambah hilang di luar negeri, sementara petani dan industri lokal hanya mendapat remah-remah.
Tantangan hilirisasi juga diperburuk oleh struktur industri domestik yang timpang. PTPN dan perkebunan besar negara lebih fokus pada produksi hulu, yakni kebun dan pabrik pengolahan dasar, sementara pengembangan produk hilir terbatas.
Beberapa BUMN mencoba menghadirkan merek, seperti Walini oleh PTPN VIII, namun skala dan pengaruhnya belum memimpin pasar. Swasta nasional memang punya dominasi tertentu di pasar lokal, tetapi untuk teh seduh premium, pasar domestik justru dibanjiri produk impor seperti teh hijau Jepang, chamomile dan earl grey Eropa, hingga milk tea instan dari Thailand yang populer di kalangan muda.
Masalah lain adalah minimnya investasi dalam riset varietas unggul dan teknologi pascapanen. Padahal, teh Indonesia terkenal memiliki kandungan katekin (antioksidan) tinggi, yang seharusnya bisa menjadi keunggulan.
Sayangnya, pengolahan sering tidak optimal, dimana fermentasi dan penyangraian kurang cermat, sehingga aroma teh hitam kita kalah bersaing dengan produk India atau Sri Lanka. Dampaknya, harga teh Indonesia di pasar internasional relatif lebih rendah.
Dominasi ekspor dalam bentuk mentah menempatkan kita pada kasta rendah rantai nilai global, mirip pemasok bahan baku di era kolonial. Ironisnya, sebagian teh olahan impor di supermarket kita bisa jadi berasal dari daun teh Indonesia yang diekspor murah, lalu kembali masuk setelah diproses di luar negeri.
Untuk membalik keadaan, dibutuhkan strategi nasionalisme ekonomi berbasis teh. Ada lima langkah yang mendesak, yaitu pertama, memperkuat hilirisasi melalui investasi industri olahan, dari blending berteknologi tinggi hingga minuman kekinian bermerek Indonesia.
Kedua, melindungi pasar domestik dari impor murah dengan standar mutu dan kebijakan perdagangan yang adil. Ketiga, menggelorakan kampanye “Cinta Teh Nusantara” seperti yang sukses pada kopi, dengan festival, wisata kebun teh, dan promosi budaya.
Keempat, memberi dukungan teknologi dan modal bagi petani serta UMKM agar bisa menghasilkan produk bernilai tambah sendiri. Kelima, membangun identitas geografis (IG) untuk mengangkat citra teh khas daerah, misalnya Teh Java Preanger atau Teh Sumatera, yang bisa dijual sebagai produk premium di pasar global.
Pada akhirnya, meraih kedaulatan dari secangkir teh berarti menjadikan komoditas ini tuan rumah di negeri sendiri sekaligus pemain disegani di dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: