Mengembalikan Kedaulatan Teh Indonesia

Mengembalikan Kedaulatan Teh Indonesia-ANTARA FOTO-
BENGKULUEKSPRESS.COM - Di balik hamparan hijau kebun teh di pelosok Nusantara, terdapat tangan-tangan cekatan pemetik dan pekebun yang mayoritas adalah petani kecil dan buruh tani yang menjaga kedaulatan industri teh Indonesia.
Sekitar 46 persen lahan perkebunan teh Indonesia digarap oleh perkebunan rakyat, sementara 34 persen dikelola BUMN perkebunan negara dan sisanya oleh swasta. Artinya, puluhan ribu keluarga petani menggantungkan nafkah pada komoditas ini, meski kepemilikan lahannya rata-rata kurang dari satu hektare per keluarga.
Kontribusi perkebunan rakyat terhadap produksi nasional pun tak bisa dipandang sebelah mata, mencapai 35 persen dari total produksi teh kering Indonesia pada 2020. Petani-petani kecil inilah sesungguhnya tulang punggung industri teh nasional, meski kerap luput dari sorotan publik dan justru paling rentan menghadapi gejolak harga maupun ketidakpastian pasar.
Tantangan petani teh rakyat jauh lebih kompleks dimana produktivitas kebun rendah karena tanaman tua dan kurang terawat, modal terbatas menghambat peremajaan, serta posisi tawar lemah karena hanya menjual pucuk basah ke tengkulak dengan harga rendah yang ditentukan sepihak.
BACA JUGA:Sektor Hulu dan Kemandirian Energi
BACA JUGA:Menteri Dorong Sekolah Rakyat Ciptakan Talenta Ekraf Penopang Ekonomi
Tekanan ekonomi membuat banyak petani meninggalkan kebun, sementara generasi muda di sentra teh Jawa Barat enggan melanjutkan usaha orang tua, memilih bekerja di pabrik atau merantau. Akibatnya, lahan teh rakyat banyak yang terbengkalai atau beralih ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Ironi ini semakin nyata karena hanya sekitar 32 persen produksi teh Indonesia diekspor (sekitar 45 ribu ton pada 2022), sementara sebagian besar terserap pasar domestik melalui konsumsi rumah tangga maupun industri minuman.
Padahal, di tengah lesunya gairah petani lokal, konsumsi teh dunia justru terus meningkat hingga 6,89 juta ton pada 2022 dan diproyeksikan mencapai 7,44 juta ton pada 2025.
Indonesia di peta perdagangan teh dunia
Dalam kancah industri teh global, Indonesia ibarat pemain lama yang mulai tersisih dari lapangan utama. Pada awal 1900-an, Java Tea tersohor di Eropa dan menjadikan Hindia Belanda salah satu eksportir utama dunia. Namun kini, posisi Indonesia kian melorot.
China berdiri kokoh di peringkat pertama produsen teh dunia dengan produksi hampir 1,47 juta ton per tahun, disusul India sekitar 1,33 juta ton. Kenya, Sri Lanka, Turki, dan Vietnam menyusul di belakangnya, sementara Indonesia berada di peringkat ketujuh dengan kontribusi hanya sekitar 2 persen terhadap output global.
Produksi kita pun terus menurun, dari sekitar 137 ribu ton pada 2021 menjadi hanya 124 ribu ton pada 2022. Lahan teh nasional juga menyusut drastis dalam dua dekade terakhir, dari 167 ribu hektare pada 2001 menjadi sekitar 100–110 ribu hektare saja. Penurunan ini jelas memengaruhi volume produksi sekaligus pangsa pasar dunia.
Di sisi ekspor, keterpurukan terasa lebih nyata. Indonesia pernah berjaya mengekspor 79 ribu ton teh pada 2010, namun kini justru keluar dari daftar 10 besar eksportir dunia. Ekspor teh kita merosot hampir tiap tahun, tinggal sekitar 45 ribu ton pada 2022 dengan nilai 89,9 juta dolar AS.
Pangsa ekspor global pun tak sampai 2,5 persen. Beberapa negara yang dulunya bukan pemain utama justru berhasil menyalip, seperti Vietnam yang agresif meningkatkan produksi dan kualitas. Importir besar dunia seperti Pakistan, Mesir, dan Inggris kini lebih banyak membeli dari Kenya, Sri Lanka, India, bahkan Vietnam ketimbang dari Indonesia. Dengan demikian, pasar teh global kita tergerus oleh kompetitor yang lebih adaptif dan agresif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: