Ichwan-Rosna Menikah, Jalani Hidup Sederhana (2)

Ichwan-Rosna Menikah, Jalani Hidup Sederhana (2)

\"Ichwan-yunus3\"Karena masa libur kuliah Ichwan akan segera berakhir, maka tidak lama setelah menikah ia kembali ke Jakarta untuk menunaikan tugasnya. Kali ini ia datang tidak sendiri, tapi didampingi  isteri tercinta.

Untuk sementara mereka berdua tetap menempati kos Ichwan yang lama, karena untuk mencari rumah kontrakan perlu waktu.  Selain itu perlu uang yang cukup untuk itu, sementara uang tabungannya selama ini sudah terkuras. Kalau pun masih ada yang tersisa, akan ia pergunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak.

Stok keuangan yang minim membuat rumah tangga mereka juga masih minimalis, baru sebatas mereka berdua saja, maka mereka berbelanja keperluan rumah tangga hanya sebatas keperluan mereka berdua, hampir semua belanjaannya serba dua. Mulai dari bantal 2 buah, piring, cangkir, gelas, sendok dan sebagainya berjumlah dua.

Relatif tidak ada persoalan yang berarti dalam hal penyesuaian kedua pasangan suami isteri ini. Keduanya mempunyai banyak persamaan karakter dan prinsip hidup, disamping memang mereka berdua sama-sama terpelajar, sama-sama dewasa.  

Perbedaan umur pun masih pada tarap ideal, usia Ichwan hanya terpaut lebih kurang 4 tahun lebih tua dari isterinya. Jika terdapat perilaku dan kebiasaan Ichwan yang tidak cocok dengannya, maka dengan cepat ia menyesuaikan diri, begitn pula sebaliknya. Jika terdapat kekurangan diantara keduanya, mereka berusaha untuk saling menutupi.

Kesederhanaan dalam hidup bagi mereka berdua sudah ditempa sejak kecil. Konsep kesederhanaan keluarga Ichwan sebetulnya sangat sederhana. Sederhana menurutnya bukan berarti memaksakan diri untuk hidup sederhana, dengan menumpuk-numpuk harta, tetapi tidak mau menikmatinya. Misalnya seseorang yang sebetulnya mempunyai kemampuan membeli rumah di kawasan mewah di kawasan elit Jakarta, tapi ia hanya memiliki rumah kecil di kawasan kumuh dengan jalan tikus.

Seharusnya ia mampu memiliki mobil mewah, tapi kenyataannya hanya memiliki sepeda motor. Konsep sederhana seperti ini tidak hanya mengelabui orang lain, tetapi membohongi (menzalimi) diri sendiri.

Lain lagi persoalannya jika hartanya tersebut disumbangkan atau diinfaqkan dengan orang yang berhak; fakir miskin, anak yatim masjid dan sebagainya. Hidup sederhana yang dimaksud adalah kebiasaan hidup dengan apa adanya, selalu menjaga keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Tidak memaksakan diri membeli mobil, kalau kemampuannya hanya bisa membeli sepeda motor.

Sebagai konsekuensi membiasakan hidup sederhana adalah tidak perlu merasa minder dan iri melihat tetangga atau orang disekelilingnya memiliki harta benda yang belum dimiliki, karena belum ada kemampuan untuk memilikinya. Atau mungkin sudah mempunyai kemampuan untuk memilikinya, tapi kurang bermanfaat bagi dirinya. Misalnya, si A melihat tetangganya si B membeli raket tenis yang harganya jutaan rupiah, karena tidak mau kalah gensi, maka si A juga membeli raket tenis dengan harga yang sama, padahal ia tidak pernah bermain tenis. Dari segi kemampuan sebenarnya si A bisa membeli raket tenis lebih mahal dari raket si B, tapi bagi si A raket tersebut tidak terlalu bermanfaat atau mubazir.

Menurut Ichwan pola hidup sederhana adalah cara yang paling aman untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga dan keharmonisan pergaulan hidup sehari-hari di luar rumah. Pengalaman Ichwan dalam kehidupan rumah tangganya membuktikan hal ini.

Sepanjang hidupnya berumah tangga, tidak pernah ia dipusingkan dengan tuntutan isteri dan anak-anaknya, karena berat atau tidak mampu memenuhinya. Begitu pula dengan Isterinya, tidak pernah kesulitan dalam melayaninya. Mulai dari makanan sampai dengan pakaian, Ichwan biasa menyantap dan mengenakan pakaian apa adanya.

Hal ini diakui oleh Rosna, isteri Ichwan. Diakuinya bahwa sejak awal-awal mereka menjalani hidup berumah tangga bersarna dengan Ichwan, tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi, karena penghasilan Ichwan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Meskipun demikian, sudah menjadi kebiasaan Rosna membekali suaminya dengan menu makan siang di kantor tempat suaminya bekerja. Kebiasaan ini bukan karena ketidakmampuan membayar makan siang Ichwan di warung atau di kantin, akan tetapi lebih pada manifestasi kesederhanaan hidup mereka.

Ia tahu persis suaminya tidak pernah punya selera “neko-neko\", apa yang dimasak isterinya, itulah yang dimakannya. Menu makan siang yang dibawa suami ke kantor, adalah persis apa yang dimakan bersama-sama ketika sarapan pagi, jadi sama sekali tidak ada kesulitan bagi Rosna mempersiapkannya. Pernah terdengar ditelinga Ichwan suara miris dari teman seprofesinya mengenai kebiasaan ini. Dalam pandangan mereka orang sekaliber Ichwan (dari segi profesi dan gajinya) tidak pantas membawa nasi ke kantor, mereka menganggap Ichwan melakukan hal itu karena pelit atau kikirnya, padahal sesungguhnya tidak demikian. Ichwan melakukan itu semata-mata karena kebiasaan menerapkan pola hidup sederhana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: