Melawan Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan

Melawan Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan

Seminar melawan kekerasan terhadap peremuan-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-

Lingkaran-lingkaran tersebut sampai sekarang masih didominasi laki-laki, yang umumnya bersuara keras.

Di sisi lain, masih banyak jurnalis perempuan yang bekerja di perusahaan media yang masih miskin, karena hanya bergantung pada uang bulanan humas atau iklan pemerintah.

Di Padang, misalnya, masih ada kantor redaksi yang mengontrak ruko atau menumpang di ruang makan keluarga.

Bahkan, ada kantor redaksi dengan dinding kayu yang bersebelahan dengan bengkel atau tak jauh dari tempat pembuangan sampah.

Selain itu, banyak juga jurnalis perempuan ini tidak mempunyai penghasilan tetap, karena gajinya bergantung pada jumlah berita yang dibuatnya atau uang saku dari humas pemerintah daerah.

Sejumlah media daring di Sumatera Barat, mengaku bahwa pemasukannya semata-mata dari dana pemda, sehingga tidak mungkin menggaji wartawan secara tetap, selain dari honor tulisan berita pemda.

Di Palembang, masih ditemukan jurnalis perempuan yang masuk keluar kantor pemerintah atau perusahaan-perusahaan hanya untuk mencari iklan.

Ada yang merangkap sebagai kontraktor.

Dalam pertemanannya di lapangan, jurnalis perempuan juga sulit melepaskan diri dari praktik kloning berita atau ikut bergerombol menemui sumber berita agar mendapat amplop.

Praktik jurnalis merangkap pencari iklan di media, tidak saja melanggar etika, namun juga akan mempengaruhi kredibilitas berita, serta kepercayaan masyarakat Indonesia atas profesi wartawan.

Dengan potret tempat bekerja redaksi yang masih minim seperti itu, dan penghasilan yang tidak menentu, tentu akan berdampak pada citra jurnalis perempuan sebagai profesi.

Bentuk lain

Kalau selama ini asumsi bahwa perempuan menjadi subordinat karena ada dominasi kaum laki-laki, ternyata ada kekerasan bentuk lain, yakni antara perempuan dengan perempuan.

Jurnalis perempuan juga menemui masalah tersendiri dan seringkali merasa tidak nyaman ketika yang menjadi bos adalah perempuan dan anak buahnya perempuan, karena masih kental dengan unsur emosional.

Jumlah perempuan Indonesia yang lebih banyak dibanding laki-laki sebenarnya merupakan suatu peluang untuk bersama-sama mendobrak kekuasaan laki-laki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: