SEJARAH: Prancis Pernah Berkuasa di Bumi Raflesia

SEJARAH: Prancis Pernah Berkuasa di Bumi Raflesia

Comte d'Estaing-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-

Setelah dilakukannya penandatanganan *Traktat Paris (1763)*. Traktat Paris 1763 merupakan perjanjian yang menyudahi perang tujuh tahun dan rekonsiliasi antara Kerajaan Prancis dengan Kerajaan Inggris setelah melakukan perundingan selama tiga tahun. 

Salah satu isi tratkat tersebut, memerintahkan Prancis untuk menyerahkan jajahannya di Asia dan Afrika kepada Kerajaan Inggris, kecuali beberapa daerah yang disebutkan dalam perjanjian tersebut.

Bengkulu, Bencoolen, salah satu wilayah yang dikuasai Prancis pada masa itu, akhirnya kembali jatuh ke dalam kekuasaan EIC yang merupakan perusahaan dagang milik Kerajaan Inggris.

Pada tanggal 25 Maret 1816, setelah menyelesaikan tugasnya di Jawa (1811 s.d 1816), Raffles ngambil cuti dengan kapal Ganges ke London dan tiba di sana pada tanggal 16 Juli 1816. Tanggal 22 februari Raffles menikah dengan nona Sophia Hull dari Irlandia, dan pada bulan Oktober tahun itu juga keluarga Raffles berangkat dari Portsmouth menuju Bengkulu. Pada tanggal 22 Maret 1818, setelah berlayar selama lima bulan melingkar Tanjung Harapan di Afrika Selatan tanpa menyinggahi satu pelabuhan pun, sampailah mereka di kota Bengkulu. Kedatangan Raffles ini untuk menjalankan pemerintahan penjajahan Inggris di Bengkulu sebagai letnan Gubernur. Rombonngan Raffles ini menemukan kota Bengkulu dalam keadaan yang porak-poranda.

Sebagai negeri yang ditinggalkan. Tidak tersedia akomodasi apa-apa bagi rombongan agung itu. Gedung-gedung milik pemerintah ditinggalkan terbengkalai. Raffles terpaksa membawa keluarganya ke sebuah rumah yang demikian rusaknya karena gempa bumi yang dahsyat hingga penduduk pribumi sekalipun tidak berani mendiaminya.

Kedatangan rombongan Raffles ini memang disambut oleh gempa bumi yang bergemuruh pada waktu itu. mulai dengan gempa bumi yang pertama, disusul oleh gemba bumi berikutnya, dan yang paling hebat terjadi pada tanggal 1 Maret 1811 yang menyebabkan hampir semua rumah hancur runtuh. Rangkaian gempa tersebut masih terus berlangsung sampai tanggal 8 April 1811 dengan dua atau tiga kali guncangan gempa sehari. Suatu bencana alam yang betul-betul merusakkan seluruh ibu kota pada waktu itu, sehingga menjadi tugas berat bagi Raffles untuk membangunnya kembali Mengenai ibu kota yang porak-poranda itu, Raffles menggambarkannya dengan kondisi hancur berantakan bagaikan sebagai kota tanpa roh. Ia menyebutkan; inilah tempat yang paling menyedihkan yang pernah saya lihat”. Saya tidak dapat menggambarkan keadaan porak-poranda di sekitar saya. Keadaan yang terbengkalai, pemerintahan yang buruk, bencana alam berupa gempa bumi yang dahsyat, jalan raya yang tidak dapat dilalui; jalanjalan raya yang lebar di ibu kota penuh dengan rumput; bangunan milik pemerintah menjadi sarang hewan liar. Penduduk Bengkulu pada saat perjumpaan pertama dengan Raffles mengatakan bahwa Bengkulu sekarang ini adalah “tanah mati”.

Melihat keadaan sedemikian rupa, maka Raffles bertekad untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal dalam suasana kebijaksanaan politik, pemerintahan yang bersikap kejam, dan keadaan masyarakat yang tertindas.

Tekad ini segera diselenggarakan Raffles demi nama baik Kerajaan Inggris sehingga rakyat Bengkulu mampu menyimak perbedaan antara kebijaksanaan politik pemerintahan Inggris dengan pemerintahan EIC yang penuh dengan spekulasi-spekulasi komersial kompeni Inggris beserta para agennya yang berperangai bejat.

Penarikan para residen dari pos-pos Keresidenan Luar (Out Residencies) serta penghapusan tanaman paksa merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh Raffles. Politik pemerintahan Raffles lebih banyak memanfaatkan para Kepala Masyarakat Hukum Adat dengan mengurangi peranan dari pejabat kompeni Inggris.

Tindakan pembelaan Raffles terhadap para petani adalah menghapuskan system tanam paksa lada yang dilakukan oleh Komisaris Ewer yang kenyataannya sangat memberatkan rakyat sehingga rakyat merasa betul-betul dieksploitasi oleh para pejabat kompeni. Para Kepala Masyarakat Hukum Adat mempunyai tugas dan kewajiban yang langsung terhadap rakyatnya, termasuk keamanan dan peradilan. Jadi, hak dan kewajiban mereka menurut adat segera dipulihkan.

Dengan berlakunya sistem bebas bertanam lada, rakyat merasa lega. Perkebunan-perkebunan pala, cengkeh, dan Jada di bawah pemerintahan Raffles bertambah maju. Menurut perkiraan Raffles, para raja menanam modal 75.445 dolar dan modal bangsa Eropa berjumlah 445.437 dolar dalam perkebunan rempah-rempah di wilayah sekitar Fort Marlborough. Antara Mei 1811 dan penghujung tahun 1816 sebanyak 42.390 lb. pala, 13.383 lb. bunga pala, dan cengkeh diekspor ke India dan Inggris oleh perkebunan-perkebunan kompeni Inggris dan swasta di Bengkulu, dan bea setempat di Fort Marlborough sejumlah 4167 dolar.

Sungguh berat tugas Raffles untuk membangun kembali kota yang telah dianggap oleh penduduk sebagai tanah mati. Kondisi itu menjadi tantangan bagi Raffles, sehingga segala daya upaya dilakukannya demi pembangunan ibu kota, perdagangan, dan perbaikan keuangan pemerintah.

Raffles segera mulai membangun sebuah gedung kediaman gubernur sebagai pengganti gedung yang telah hancur, yaitu suatu gedung besar dari batu yang bertingkat dua dan indah serta berhalaman luas di tengah-tengah plansun. Bangunan itu terletak di suatu bukit dengan pemandangan Fort Marlborough dan Samudera Hindia dengan Pulau Tikus di bagian depannya. Di bagian belakangnya terhampar pemandangan Bukit Barisan dengan gunung-gunung yang biru dan menarik. Sungguh merupakan suatu bangunan megah sebagai tempat kediaman resmi seorang gubernur.

Di sekitar kediaman resmi gubernur itu dibangun pula gedung-gedung indah bertingkat dua sebagai tempat kediaman orang-orang Inggris dan orang Eropa lainnya. Bagian bawahnya dari batu dan bagian atasnya terbuat dari kayu. Di samping itu, tempat yang dibangun di atas tanah yang luas dengan pekarangan yang dipagari oleh tembok-tembok putih setinggi enam kaki yang juga diperuntukkan pula bagi orang-orang pribumi yang terkemuka.

Selain membangun kantor-kantor baru pemerintah, Raffles mendirikan pula suatu tempat peristirahatan di Pematang Balam, suatu tempat di luar kota Bengkulu, yaitu kira-kira 19 kilometer dari ibu kota ke jurusan Manna. Istana peristirahatan yang megah ini letaknya di tengah-tengah perkebunan kopi pala dan cengkeh milik pemerintah yang terawat dengan baik. Disinilah Raffles mengadakan pesta-pesta resmi yang terbuka bagi masyarakat bangsa Eropa dan orang-orang terkemuka Bengkulu dan sekitarnya. Malah, Raffles berkeinginan untuk menjadikan istana peristirahatan Pematang Balam seperti istana peristirahatan Belanda di Bogor (Jawa) dengan Kebun Rayanya dan ia berkeinginan pula untuk menjadikan ibu kota Bengkulu sebagai pusat pemerintah jajahan Inggris di Asia Tenggara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjambi/prancis-ganyang-inggris-di-bengkulu/