Menyusun Standardisasi Penanganan Karhutla
Petugas gabungan dari TNI dan Manggala Agni Daops Banyuasin berusaha menarik selang air saat melakukan pemadaman di Desa Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (23/8/2019). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/nz)-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-
PALEMBANG, BENGKULEKSPRESS.COM - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga kini masih menjadi ancaman di sejumlah daerah di Tanah Air, khususnya saat musim kemarau.
Meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim luas areal karhutla menurun signifikan dalam enam tahun atau sejak karhutla hebat pada 2015, tapi zero karhutla belum bisa dicapai hingga kini.
Indonesia pun secara simultan memperbaiki sistem penanggulangannya. Kini, negara yang memiliki 22,2 juta hektare lahan gambut (berdasarkan data Global Wetlands yang diakses pada 16 April 2019) menilai perlu adanya standardisasi dalam penanganan karhutla yang dapat menjadi acuan semua pihak.
Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim KLHK Kirsfianti Linda Ginoga mengatakan negara membutuhkan standardisasi yang berlaku secara umum sehingga dapat menjadi acuan dasar para pelaku usaha di bidang perkebunan dan kehutanan.
KLHK kini mengumpulkan input dari berbagai pihak terkait, mulai dari perusahaan, asosiasi, akademisi, lembaga sosial kemasyarakatan, hingga masyarakat untuk membuat buku panduan bersama dalam penanganan karhutla.
Ia yang dijumpai dalam diskusi bertema “Peran para pihak dalam mendukung penerapan standard instrumen pengendalian karhutla di tingkat tapak” di Palembang, Selasa, mengatakan pembuatan standardisasi ini akan mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan lingkungan.
Dari norma-norma itu akan mengerucut menjadi pedoman yang bisa diterima oleh semua pihak sehingga Indonesia dapat mengejar target net zero carbon pada 2060.
Tapi patut digarisbawahi bahwa standardisasi ini dituntut detail dan dinamis karena seiring dengan kemajuan teknologi dalam upaya penanganan karhutla di Tanah Air.
“Kami sangat menyadari itu seperti penggunaan drone untuk memantau areal perkebunan. Dulu belum ada, dan kini hampir digunakan semua perusahaan,” kata dia.
Oleh karena itu, ia tak menyangkal bahwa pembuatan standardisasi ini bakal memakan waktu yang relatif lama. Meski demikian, pada tahun ini pihaknya menargetkan sudah bisa melahirkan panduan secara umum.
Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi dan Publikasi Kampanye Positif Gapki Sumsel Anung Riyanta mengatakan sebenarnya pemerintah sudah banyak mengeluarkan peraturan terkait penanganan karhutla, termasuk mengenai standardisasi penyediaan sarana dan prasarana, standardisasi perizinan, dan lainnya.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan bahkan sudah dijelaskan secara detail mengenai kewajiban sarana dan prasarana yang harus disiapkan perusahaan usaha perkebunan dan kehutanan.
Namun, ia sepakat jika harus dibuat standardisasi yang berlaku untuk semua sektor yang bersifat dinamis atau mengikuti kemajuan teknologi.
“Seperti di menara api, dulu itu tidak ada drone-nya, tapi sekarang sudah pakai semua. Jika mau dimasukkan sebagai standardisasi, ya mungkin bisa tapi bagaimana ketentuan lainnya seperti berapa luas minimal lahannya,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: