Sidang Kasus Lahan Pemkot Bengkulu Dimulai
BENGKULU, BE - Sidang perdana kasus dugaan korupsi penyelewengan aset lahan milik Pemerintah Kota Bengkulu, di Kelurahan Bentiring, berlangsung di Pengadilan Negeri Bengkulu, Rabu (23/9) siang. Memulai persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bengkulu membacakan dakwaan untuk dua orang terdakwa Dewi Hastuti, isteri Camat Muara Bangkahulu sekaligus mantan Direktur Utama PT TP dan Malidin Sani, Lurah Bentiring. Secara keseluruhan inti dari dakwaan yang dibacakan JPU diantaranya, Dewi Hastuti selaku Direktur PT TP membeli tanah dengan total luas 8,7 hektar, pada 2015. Untuk dibangun perumahan Grand Korpri. Tanah tersebut dibeli Dewi dari masyarakat, diantaranya R Efendi, Wisnu dan M Arsi. Kemudian, Dewi Hastuti menghubungi terdakwa Malidin untuk mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT) atas tanah yang dibelinya tersebut. Malidin juga menerbitkan Surat Pengalihan, Pemindahan Penguasaan Tanah (SPPT) atas tanah yang dibeli Dewi Hastuti tersebut. Pada 2016 tanah seluas 8,7 hektar tersebut, akhirnya milik PT TP dengan direktur Dewi Hastuti. Badan Pertanahan Nasional Kota Bengkulu juga menerbitkan lima sertifikat Hak Guna Bangunan untuk PT Tiga Putra Mandiri, yakni HGB nomor 038619, HGB nomor 038668, HGB nomor 038669, HGB nomor 037625 dan HGB nomor 037826. Dengan adanya HGP, akhirnya PT TPM membangun perumahan Grand Korpri. Menurut JPU, perbuatan kedua terdakwa bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara pasal 45 ayat 1 yang berbunyi barang milik negara atau daerah yang ada didaerah yang diperlukan bagi penyelenggara tugas pemerintahan negara atau daerah tidak dapat dipindah tangankan. Ayat 2 pemindahtanganan barang milik negara atau daerah dilakukan dengan cara dijual dipertukarkan dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Akibat perbuatan kedua terdakwa negara dirugikan Rp 4,7 miliar. Kedua terdakwa kemudian didakwa pasal 2 ayat 1 Junto pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kuasa hukum terdakwa Dewi Hastuti, Deden Abdul Hakim mengatakan, bakal mengajukan eksepsi atas dakwaan dari JPU. Dia menilai logika jaksa membuat dakwaan dipertanyakan. Karena didalam dakwaan tersebut Dewi disebutkan menjual dan membeli tanah seluas 8,7 hektar. Hal tersebut dilihat dari SKT dan SPPT yang diurus Dewi. Deden juga mempertanyakan siapa sebenarnya pemilik aset tersebut, apakah Pemerintah Kota Bengkulu atau masyarakat. \"Logika berfikirnya jaksa dipertanyakan, didalam dakwaan klien saya dikatakan sebagai penjual dan pembeli. Mereka menuduh klien kita menguasasi suatu benda, nah buktikan dulu benda itu punya siapa baru kita berbicara korupsinya. Jangan asal menuduh orang, itu dzalim namanya,\" ujarnya. Kuasa hukum Malidin Sani, Sofyan Siregar SH meyakini kasus yang terlibat bukan hanya Dewi dan Malidin Sani. Karena, didalam surat dakwaan ada BPN terlibat penerbitan sertifikat dan izin terkait lain. Kemudian, setelah lurah ada juga Camat dan sejumlah pihak terkait di Pemkot Bengkulu yang mengetahui jual beli aset lahan tersebut. \"Tidak mungkin seorang lurah bisa bertindak sebesar ini. Berdasarkan keterangan klien kami, dia itu ditelfon untuk tanda tangan SKT, dia hanya datang dan tanda tangan SKT tersebut,\"pungkasnya. Kedua kuasa hukum terdakwa sepakat akan menyampaikan keberatan dalam eksepsi pada sidang pekan depan. (167)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: