Happy Wednesday: Jempol Bully
Rabu 27-04-2016,08:30 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi
Oleh AZRUL ANANDA
”Mas Azrul ya? Mas, saya bisa minta tolong?” kata seseorang pada suatu waktu saat saya makan di restoran. ”Saya diteror dan di-bully terus. Saya harus bagaimana?” tambahnya.
Entah tampang saya ini tampang psikolog, atau tampang problem solver, atau tampang Superman, atau mungkin tampang Batman sehingga dia bertanya begitu di tengah sebuah acara santai bersama keluarga.
Dan ini bukan kali pertama. Berkali-kali saya didatangi orang yang langsung ”menembak” dan bertanya atau minta bantuan.
Bagaimana respons saya biasanya? Nanti baca akhir tulisan ini. Sekarang fokus dulu ke pertanyaan orang yang saya sebut itu.
Orang itu rupanya begitu stres. Begitu bingung. Bahkan mengaku sempat depresi dan bertemu psikiater. Entah mungkin karena tidak berhasil, malam itu dia bertanya kepada saya (yang bukan dokter, melainkan seorang lulusan marketing).
Ternyata, orang yang kira-kira berusia 30-an tahun itu –keluarga pengusaha– sering diteror lewat media sosial, juga lewat ”media-media online” yang memang sering tidak jelas juntrungannya atau pertanggungjawabannya.
Karena dia tahu bahwa saya hidup di dunia media, ya wajar dah jadinya kalau dia bertanya kepada saya soal itu. Atau mungkin karena dia mengira saya Clark Kent, yang memang kerjaan sehari-harinya jadi wartawan koran? Hehehe…
Terus terang, saya termasuk orang yang cuek. Saya juga sudah lama memutuskan bahwa saya hidup offline. Tidak lagi aktif di Facebook, tidak punya akun berkicau, dan lain-lain.
Soal itu pernah saya tulis di kolom Happy Wednesday dahulu kala (edisi 13). Salah satu alasannya ya supaya hidup lebih tenang, tidak ”terganggu” oleh posting-an atau kicauan yang kebanyakan tidak produktif, hanya mengganggu kesibukan sehari-hari.
Bahwa saya memilih offline itu saya sampaikan kepada orang tersebut. Sambil mengutip lagi lagu Taylor Swift, yang juga saya kutip di tulisan dulu, yang intinya menyatakan, ”Haters gonna hate, hate, hate…”
Bahwa banyak orang tidak suka saya, ya sudah. Hak mereka. Saya enggak pusing kok. Saya enggak benci mereka (kenal aja enggak), saya juga enggak punya hak menilai mereka (tahu kerjaan mereka aja enggak).
Lagi pula, rasa-rasanya hidup saya juga lebih enak daripada orang kebanyakan, termasuk para hater itu. Hehehe…
Tapi, saya juga sadar, tidak semua orang bisa cuek bebek seperti saya. Seperti orang yang bertanya itu.
Bahkan, saya menulis tema hari ini juga bukan murni karena pertanyaan orang itu. Ada rekan di Jawa Pos yang meminta saya untuk membahas lagi soal bully-mem-bully online, apalagi dengan munculnya berita-berita (beneran) tentang orang yang sampai mati karena tak tahan di-bully.
Dan ini masalah yang minta ampun sepelenya. Bikin saya terus geleng-geleng kepala. Bagaimana orang banyak bisa stres, bisa sampai mati, gara-gara sekarang banyak orang mampu beli smartphone, lalu memutuskan untuk menggunakan jempolnya bukan buat diacungkan tanda memuji, melainkan mengetikkan hal-hal tidak bermutu dan tidak terpuji (maaf, kalimat panjang).
Alatnya boleh bernama smartphone. Tapi, itu terbukti tidak membuat pemakainya lebih smart. Wkwkwkwk…
Kembali ke orang yang bertanya itu.
Ya, saya hanya bisa bilang abaikan saja. Ngapain dipusingin. Semakin kita pusingin, semakin mereka menjadi-jadi. Justru semakin kita cuekin, semakin selesai dah masalah.
Kalaupun itu media tidak jelas, ya orang pasti tahu kok itu jelas atau tidak. Kalau itu media sosial, ya cuekin aja dah. Emang kita hidup digaji untuk terus mengetik pakai jempol?
Sorry, mungkin memang ada orang yang digaji atau cari duit untuk itu, hehehe… Tapi, jumlahnya kan tidak sebanyak pegawai negeri…
Saran saya memang tidak spesial, tapi ya mau jawab apa lagi. Lagian, saya juga sudah sangat lapar dan makanan pesanan saya sudah datang. Nanti keburu dingin.
Yang jelas, sejak saat itu, dia tidak pernah lagi bertanya kepada saya. Semoga hidup dia memang lebih baik setelah mendengar jawaban itu.
Atau mungkin dia tidak pernah lagi bertanya karena kami memang belum pernah bertemu lagi. Dan waktu itu saya memang tidak memberikan nomor telepon serta alamat e-mail. Wkwkwkwk…
Anyway, semoga hidup dia lebih baik deh…
***
Di atas, saya sempat agak sombong, mengaku sering ditanya orang macam-macam. Di atas, saya juga sempat agak kurang ajar kepada pembaca, meminta mereka membaca bagian akhir tulisan ini untuk mengetahui seperti apa biasanya respons saya.
Nah, sekarang kita sudah sampai ke bagian akhir tulisan.
Waktunya saya menjelaskan.
Pada dasarnya, saya akan mencoba membalas sapaan ramah dengan sapaan yang ramah juga. Kalau ada yang menyebut nama saya dan menunjuk-nunjuk, saya biasanya mencoba membalas dengan senyum.
Tapi, kalau sudah tanya macam-macam dan minta tolong, ini yang memang butuh waktu untuk belajar merespons dengan baik. Bagaimana menolak, meminta maaf, dan –kalau tetap tidak berhasil– pura-pura sedang ada kesibukan yang urgen (sama dengan Anda juga, bukan?).
Saya kenal banyak orang yang sangat terkenal. Baik itu teman atau bahkan keluarga sendiri. Dan saya menyadari betapa sulitnya untuk jadi diri sendiri saat menghadapi banyak orang seperti itu.
Bagaimana harus sabar menghadapi permintaan foto, sementara yang minta foto kadang tidak sadar kalau dia tidak menghargai waktu orang lain, membuang begitu banyak waktu karena kamera/smartphone-nya tidak berfungsi sehingga harus bingung memencet tombol-tombolnya.
Trik saya kalau bertemu orang terkenal, biasanya pembalap F1 atau pemain NBA, saya akan memastikan kamera/smartphone saya siap sehingga tidak membuang waktu mereka (juga waktu saya). Sekaligus memberi waktu kepada orang lain yang juga menunggu untuk mengajak berfoto.
Saya sepenuhnya menyadari, tidak semua respons saya bisa dianggap positif. Ada orang yang tidak mempermasalahkan apa pun respons saya. Ada yang bisa memaklumi seandainya respons saya kurang mengenakkan. Namun, ada juga yang kemudian menyebut saya sombong, lantas nyerocos dan berkicau di medsos.
Kalau sudah begitu? Ya sudah, biarin saja. Masak saya harus bunuh diri karena orang salah tangkap reaksi saya? Emang dia kenal saya yang sebenarnya? Bagaimanapun, hidup kita tidak bisa dirangkum, apalagi disimpulkan, via 140 karakter atau bahkan satu posting-an yang lebih panjang di medsos.
Untungnya, saya bukan pejabat publik. Dan saya hidup offline. Sehingga saya tidak perlu sibuk membalas atau mengklarifikasi. Atau malah menyewa tim khusus untuk membalas dan mengklarifikasi. Sebab, itu benar-benar menyita waktu dan fokus.
Oh ya, mengenai paragraf di atas: Pernahkah Anda bertanya-tanya, kalau seorang pejabat atau orang penting banyak berkicau atau ber-statement di media sosial, lalu kesibukan dia yang sebenarnya apa?
Saya ini termasuk agak banyak kerjaan dan pikiran. Tapi, pejabat publik itu –wali kota misalnya– seharusnya jauh lebih sibuk dengan urusan-urusan serius untuk publik.
Jadi, kalau ada pejabat publik yang superaktif di medsos, mungkin bisa diartikan dua. Pertama, dia lebih sibuk bekerja pakai jempol daripada memikirkan daerah yang dipimpinnya. Kedua, dia menyewa orang khusus untuk menjadi ”bayangannya”, bekerja memakai jempol untuk menjaga image-nya. Padahal, dia sendiri belum tentu bekerja, kemudian banyak pihak terkecoh, mengira dia banyak bekerja!
Ssssttt, ini rahasia, ada lho pejabat publik yang seperti itu! (*)
Tags :
Kategori :