Meskipun demikian, Syaikh Hassan Ayyub dalam "As Suluk Al Ijtima'i (Fikih Sosial)" mengutip pendapat Imam Nawawi yang menyatakan bahwa ada beberapa bentuk ghibah yang diperbolehkan dalam Islam.
Ghibah tersebut memiliki tujuan yang benar menurut syariat, di mana tujuan tersebut tidak dapat tercapai kecuali melalui ghibah.
Berikut ini adalah 6 bentuk ghibah yang diperbolehkan dalam Isam.
1. Saat Dizalimi
Orang yang dizalimi diperbolehkan untuk menceritakan kezaliman yang dialaminya dalam bentuk ghibah kepada penguasa, hakim, atau siapa pun yang memiliki kewenangan untuk menghentikan kezaliman tersebut, sesuai dengan ajaran Islam.
Hal ini juga dapat diilustrasikan melalui tindakan Hindun, yang mengadukan perilaku suaminya, Abu Sufyan, kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, "Abu Sufyan itu pelit, tidak memberi nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anak sehingga harus mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuan dia,"
Rasulullah SAW menjawab, "Ambillah hartanya untukmu sekadar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anak secara ma'ruf," (HR Mutaffaq 'alaih).
2. Ketia Meminta Bantuan untuk Menghentikan Kemungkaran
Seseorang diperbolehkan melakukan ghibah saat meminta bantuan kepada orang lain untuk menghentikan kemungkaran dan mencegah kemaksiatan, karena menurut Imam Nawawi, menghilangkan kemungkaran dianggap sebagai suatu kewajiban selama itu mampu dilakukan.
Dalam konteks ini, ghibah dianggap sebagai alat yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut disebut dala suatu hadist yang berbunyi "Tolonglah saudaramu yang zalim dan dizalimi..."
3. Ketika Meminta Fatwa
Bentuk ghibah yang dibolehkan lainnya adalah saat seseorang meminta fatwa atau penjelasan.
BACA JUGA:Selain Syirik dan Zina, Buya Yahya Ungkapkan Dosa Paling Besar di Antara Semua Dosa Besar