BENGKULUEKSPRESS.COM - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu dinilai tidak memahami anatomi konflik agraria di Kabupaten Mukomuko, khususnya terkait Konflik yang terjadi diatas eks HGU PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) yang di Klaim oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP).
Sebelumnya Kejati Bengkulu melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum, Ristianti Andriani SH, MH, dalam rilisnya pada media online mengenai hearing pembahasan masalah PT DDP dan Petani Maju Bersama (PMB) di Balai Semarak Kota Bengkulu, menyebutkan pemicu terjadinya konflik ini adalah petani yang mendatangi HGU PT BBS yang statusnya sudah dialihkan pengelolaannya ke PT DDP (26/7/23).
Kuasa Hukum petani yang juga merupakan Direktur Analisis Kebijakan dan Litigasi Kanopi Hijau Indonesia, Saman Lating SH, CMe menyatakan, pernyataan yang disampaikan Kejati ini agak keliru, ini menandakan bahwa kurangnya informasi yang diterima, sehingga pihak Kejati kurang memahami perkara dari masalah yang terjadi selama ini secara utuh.
Bentrok antara petani dengan aparat dan security PT DDP di Malin Deman, Mukomuko, salah satu konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan di Provinsi Bengkulu-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-
"Perlu diketahui, bahwa kelompok Petani Maju Bersama ini mengelola HGU PT BBS yang terlantar sebelum adanya PT DDP,” ujar Lating.
Latin mengatakan, dari informasi yang dihimpun, PT DDP menyatakan telah menanam sawit di atas eks HGU PT BBS ini pada 2007-2008 dan mengklaim telah membeli lahan eks HGU PT BBS ini pada tahun 2018.
"Namun, sampai dengan saat ini pihak perusahaan tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan dan pengalihan sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah," tambah Lating
“Artinya PT DDP ini diduga menyerobot lahan tersebut terlebih dahulu baru mengklaim membeli, harusnya Kejati Bengkulu bisa menelusuri hasil sawit yang ditanam diatas HGU PT BBS sebelum tahun 2018 apakah menyebabkan kerugian negara atau tidak,” ujarnya.
Sebelum adanya HGU PT BBS, lahan yang menjadi lahan konflik tersebut merupakan wilayah adat Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko. Lahan digunakan warga untuk menanam palawija.
Pada tahun 1995 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bengkulu Utara menerbitkan sertifikat HGU PT BBS dengan Nomor 34 dengan luas 1.889 ha dengan jenis komoditi kakao/coklat. Sertifikat diterbitkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanahan Nomor: 42/HGU/BPN/95 tanggal 12 Juni 1995.
Proses penanaman yang dilakukan oleh PT BBS kurang lebih 350 ha ditanami kakao/coklat dan 14 ha ditanami kelapa hibrida.
Sejak tahun 1997, PT BBS menghentikan aktivitas pengelolaan lahan HGU yang diberikan. Lahan yang ditelantarkan ini mulai garap kembali oleh masyarakat dengan menanam kelapa sawit, karet dan tanaman lainnya serta Eks HGU PT BBS ini terindikasi terlantar berdasarkan Surat No. 3207/22.15-500/VIII/2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR-BPN tahun 2009.(**)