Korban Lion Air Sulit Diidentifikasi

Jumat 02-11-2018,09:48 WIB
Reporter : Redaksi Terkini
Editor : Redaksi Terkini

Lebih Parah dari Korban Air Asia

JAKARTA, Bengkulu Ekspress- Proses identifikasi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 berada di tingkat kesulitan yang tinggi. Hingga kemarin (1/11) Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri belum bisa menambah jumlah korban yang teridentifikasi. Bagian tubuh korban yang ditemukan belum representatif untuk diidentifikasi menggunakan metode struktur gigi dan sidik jari.

Kondisi itu menuntun pada betapa parahnya tubrukan atau crash yang terjadi pada pesawat Lion Air JT 610. Bahkan, diprediksi crash yang terjadi pada Lion Air JT 610 lebih dahsyat dibanding pesawat Air Asia QZ 8501 yang jatuh di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan.

Kepala Bidang DVI Polri Kombespol Lisda Cancer menuturkan, jenasah korban yang berupa body part atau bagian tubuh hanya memungkinkan penggunaan metode tes DNA. Artinya, body part yang ada memang tidak ada bagian gigi dan sidik jari. ”Ini yang terjadi,” jelasnya.

Bahkan, secara wujud body part yang diterima tim DVI ini hanya bagian-bagian kecil. Seperti, kulit, daging atau tulang. Bila dibandingkan dengan kondisi jenazah korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501 yang jatuh 2014 lalu, kondisi jenasah korban jatuhnya Lion Air lebih parah. ”Saat Air Asia, masih banyak jenazah yang utuh. Tapi, Lion Air ini jenasah korban sama sekali tidak ada yang utuh,” tuturnya.

Namun begitu, dia tidak bisa menyimpulkan apakah kondisi ini terjadi karena parahnya crash yang terjadi pada Lion Air JT 610. ”Apa yang menyebabkan, saya tidak bisa menyimpulkan. Nanti itu berhubungan dengan kewenangan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT),” ungkapnya.

Sementara Mantan Direktur Eksekutif DVI Kombespol (Purn) Anton Castilani menuturkan bahwa kondisi jenasah korban sebuah kecelakaan itu berbanding lurus dengan parahnya tubrukan yang terjadi dalam kecelakaan tersebut. ”Semakin rusak semakin tinggi dahsyat kecelakaannya,” jelasnya.

Kemungkinan hal itu terjadi karena gaya sentrifugal atau percepatan yang terjadi pada pesawat Lion Air JT 610 lebih besar. ”Tapi, untuk mengetahui bagaimana kecelakaan tentunya perlu kerjasama antara DVI dengan KNKT dan lainnya,” ujarnya.

Sebenarnya, mengetahui betapa parahnya kecelakaan berdasarkan kondisi jenazah ini bisa dilakukan. Namun, selama ini belum pernah dilakukan secara riil. ”Sebab, biasanya ini untuk kepentingan perusahaan pembuat pesawat, dalam konteks perbaikan desain agar lebih aman,” paparnya.

Dia menuturkan, kejadian kecelakaan ini memberikan kesadaran betapa pentingnya data antemortem bagi penumpang pesawat. Bila tidak bisa sepenuhnya untuk penumpang, setidaknya perlu untuk membuat regulasi mewajibkan data antemortem bagi yang berprofesi high risk, seperti TNI, Polri atau pegawai yang pekerjaannya memiliki potensi kecelakaan. ”Perlu data base antemortem agar saat terjadi sesuatu, tidak kesulitan lagi mencari antemortem,” jelasnya.

Sementara Wakarumkit RS Polri Kombespol Haryanto menjelaskan bahwa dari 189 korban jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, baru didapatkan 152 sample DNA hingga kemarin. Dengan begitu, masih ada 37 keluarga penumpang yang belum bisa diambil sample DNA-nya. ”Ini kemungkinan karena dua sebab,” ujarnya.

Pertama, lanjutnya, dikarenakan satu keluarga menjadi korban di pesawat Lion Air JT 610 dan kedua, keluarga yang bisa diambil sample DNA tidak datang. ”Data dari tim Antemortem itu setidaknya ada dua keluarga, yang semua keluarga inti menjadi korban. dari ayah ibu dan anak,” tuturnya.

Satu keluarga berisi empat orang dan satu keluarga lainnya berisi tiga orang. Total, ada tujuh orang dari dua keluarga yang menjadi korban. ”Kami masih berupaya,” papar polisi dengan tiga melati di pundaknya tersebut. (idr)

Tags :
Kategori :

Terkait