Al Fatihah Presiden Untuk Kebangkitan Riau Kita

Al Fatihah Presiden Untuk Kebangkitan Riau Kita

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono, tidaklah terlalu sering datang ke Riau. Terakhir datang sekitar tahun 2007. Kini ketika Kepala Negara menjejakan kaki kembali di Bumi Melayu Lancang Kuning, untuk membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII, 11 September 2012, berjuta pertanyaan sempat tersimpan.
Apakah Presiden akan kagum dengan geliat pembangunan Riau hari ini, atau akan biasa-biasa saja? Apakah Presiden akan memuji dari kejujuran hati atau malah sama mencerca seperti banyak kata berita akhir-akhir ini? Apakah Presiden tetap akan membuka PON, di tengah banyak persoalan mendera? Semua pertanyaan-pertanyaan ini sempat berkecamuk lama. Sesungguhnya kedatangan Presiden SBY kali ini ke Riau, bagi saya bukan semata tentang kunjungan kerja biasa. Tapi kehadirannya akan menjadi penanda terciptanya sejarah. Sekaligus guna menebus hasil kerja, setelah sekian tahun persiapan PON XVIII Riau dilakukan. Turun dari pesawat kepresidenan, rombongan Presiden SBY menjadi tamu perdana bandara VIP Lancang Kuning. Setelah dibangun sejak tahun 1930-an atau sejak zaman Kesultanan Siak, barulah kini bandara Riau memiliki wajah baru. Berdiri dengan gagahnya. Demikian indah dan sempurna menuju bandara berkelas internasional namun bernuansa sangat lokal. Mendapat laporan bahwa dirinya menjadi tamu pertama di bandara kebanggaan rakyat Riau, Presiden SBY mendadak spontan meminta seluruh rombongan berdiri. Mengajak semuanya menundukan kepala, memohon doa pada Yang Kuasa. Saya sempat tercegat. Doa untuk apa? ‘Mari kita baca Al Fatihah, berdoa untuk menandai operasional VIP room bandara Riau ini.’. Al Fatihah dipimpin langsung Presiden SBY dan dilanjutkan doa dengan dipimpin oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak M Nuh. Sebagaimana Al Fatihah, yang menjadi ayat pembuka dalam Al Quran, doa tulus Sang Presiden dan para menteri serta rombongan yang hadir, menandai terbukanya pengakuan terhadap salah satu simbol pembangunan Riau itu. Kemudian saat mengantar Presiden SBY ke Hotel Aryaduta-tempat menginap rombongan selama di Pekanbaru- Presiden sempat pula berkata kepada saya.“Pak Gubernur, saya kagum. Setiap kali saya datang berkunjung ke Riau,  selalu saja ada pembangunan baru yang berdiri. Terimakasih Pak Gubernur,”. Terjawab sudah, terbayar pula semua rasa lelah. Hati saya benar-benar tergetar. Tersentuh. Perjuangan dan penantian itu kini terasa manis. Lelah batin itu terasa habis. Simbol negara sedang melontarkan sebuah pengakuan. Riau kini memang sedang bangkit Pak Presiden..! Meski di awal pembangunan, sebenarnya lebih banyak menerima tantangan daripada dukungan. Tapi semua itu bukan alasan untuk bersedih ataupun merajuk hati menjadi pemimpin. Karena pemimpin sejati adalah mereka yang punya mimpi besar, berani mewujudkannya, bekerja dan bertanggungjawab atas semua yang dibuat, bersepakat untuk kesejahteraan rakyat. Kehadiran Presiden SBY untuk membuka PON XVIII di Riau, memiliki kesan mendalam bagi kami. Inilah waktunya membuktikan, tak selangkah pun Riau gentar menggelar iven akbar. Dicecar tak gentar. Dikejar tak gusar. Siang malam pagi petang, perjuangan setapak demi setapak untuk mengukir sejarah kami dikerjakan. Melibatkan banyak kalangan. Mulai petinggi negeri, hingga rakyat Riau di pelosok-pelosok kampung. Bertungkus lumus mengorbankan raga dan hati. Menutup telinga dari semua rasa sangsi. Menutup mata dari banyak halang dan rintang. Semua suara-suara sumbang mungkin dikarenakan ketidaktahuan, ataupun tidak mengerti tentang konsep sesungguhnya dari sebuah perubahan. Berpuluh tahun Indonesia merdeka, sudah pula berganti banyak pemimpin di bumi Melayu, apakah kita masih rela untuk terus menunggu demi menjadi sebuah negeri yang maju? Berpikirlah! Sudah terlalu lama Riau kita ini menunggu. Menunggu perubahan dan menunggu perhatian. Riau miskin dalam label sebuah negeri yang kaya. Riau memang punya semua, atas bawah tanahnya adalah berkah. Tapi kenyataannya, semua itu ternyata tak cukup membawa perubahan nyata bagi rakyatnya. Negeri yang disebut kaya raya ini masih larut dalam persoalan pengangguran, kemiskinan dan ketertinggalan. Lihatlah negeri tetangga dan kita selalu iri karenanya, padahal kita punya semua apa yang mereka punya. Dengan kondisi ini, Riau sudah sepantasnya tak bersikap berpangku tangan. Selama ini Riau seolah tak berani mengambil resiko apalagi sebuah gebrakan. Maka keberanian menjadi tuan rumah PON, adalah salah satu cara menunjukan pada Indonesia, bahwa Riau bisa mengubah wajah negerinya sendiri. Dengan penuh kehormatan, penuh kebanggaan, penuh kemandirian. Semua itu pun ditunjukan dalam gelar akbar pembukaan PON XVIII di main stadium yang terletak di kawasan UNRI Pekanbaru. Selama ini bangunan gagah dan indah seperti itu hanya ada dalam televisi dan menjadi mimpi 6 juta lebih rakyat Riau. Tapi semua mimpi itu tersulap sudah menjadi kenyataan. Akhirnya ada yang bisa kita nikmati setelah sekian lama hasil bumi kita dikeruk tiada henti. Gegap gempita, sorak sorai, taburan cahaya dan terang langit oleh pesta kembang api. Perpaduan budaya lokal berbalut tata cahaya bertekhnologi tinggi tersajikan. Menceritakan tentang Riau dari masa ke masa, menunjukan Riau dengan segala jati dirinya. Jutaan pasang mata kini telah menjadi saksi kebangkitan Riau. 39 cabang olahraga. Terdiri dari 601 nomor. Memperebutkan 601 medali emas, 601 medali perak dan 811 medali perunggu. Diikuti 33 Provinsi, dengan 7.241 atlet, 3.484 Official, 55 orang technical delegate, 275 orang dewan hakim, 1.319 orang wasit atau juri, 502 orang tenaga teknis, 588 orang field worker. Dengan jumlah keseluruhan 17.215 orang. Diliput oleh sekitar 1.599 insan pers yang datang dari seluruh penjuru tanah air. Melibatkan lebih dari 3 ribu personil pendukung. Semua berkumpul saat digelarnya PON XVIII untuk menjadi saksi kebangkitan Riau. Ada saja yang masih saja bertanya, untuk apa ada PON di Riau? Untuk apa buang-buang uang menggelar iven besar? Semua pertanyaan itu seperti buta dan lupa untuk sejenak mengingat Riau 10 tahun ke belakang. Ingatlah, dimasa saat Riau yang kaya tapi tak punya satu pun fasilitas megah sekelas stadion utama ataupun fasilitas olahraga untuk melahirkan pejuang-pejuang bangsa. Di masa saat Riau hanya disebut soal asap dan kabut. Dimasa ketika Riau hanya bisa melirik kemajuan negeri tetangga dan hanya bisa gigit jari. Dimasa ketika Ibukota Pekanbaru, hanya punya gedung Surya Dumai, sebagai satu-satunya bangunan tinggi. Namun dengan menjadi tuan rumah PON, kita akhirnya bisa sedikit menggeliat. Manfaat iven akbar ini sesungguhnya demikian besar. Ini bukan pesta segelintir orang, tapi sesungguhnya pesta rakyat dari rakyat. Hari ini dengan segenap rasa bangga, telah kita persembahkan kepada anak cucu kita nanti sebuah sejarah lengkap dengan semua asetnya. Jembatan, jalan, bandara, sarana olahraga, semua terbangun demi suksesnya penyelenggaran PON. Semua aset itu tidak akan habis sesaat tapi bisa menjadi wasiat. Biarlah sejarah menemukan caranya, sehingga sepenggal kenangan bisa menjadi warisan terbaik bagi generasi yang akan datang. Sejarah pula yang akan berkata, tentang torehan tinta emas perubahan besar pembangunan secara keseluruhan di bumi lancang kuning. Kemiskinan, pengangguran, ketertinggalan, tidak akan bisa hilang dalam semalam dua malam. Hanya dengan pembangunan infrastrukturlah, ekonomi rakyat akan bergerak. Menciptakan gula agar semut-semut investasi berdatangan. Jika tidak mengambil keputusan mengubah wajah negeri hari ini juga, maka akan selamanyalah kita tenggelam dan menjadi penonton di negeri kita sendiri. Andaikan kita hanya jadi generasi ‘penonton’ atau generasi ‘berpangku tangan’, alamatlah kapal bernama Riau, akan tenggelam sebelum sempat berlayar ke laut yang lebih dalam. Laut itu adalah persaingan. Ombaknya adalah tantangan mengangkat derajat rakyat. Sesungguhnya kita generasi hari ini sedang melaksanakan tugas besar. Sangat besar untuk penerus kita nanti. Semua pembangunan hari ini saya akui memang belum sempurna. Masih ada kekurangan disana sini. Tapi ingatlah, dulu kita justru tak punya apa-apa. Sama sekali tidak ada. Sehingga kalaupun masih ada kekurangan, janganlah yang sedikit, menjadi sebutan untuk menghilangkan yang banyak. Dalam salah satu kesempatan kunjungannya ke Riau, ada satu kata-kata Presiden SBY yang menyentuh hati.”Pak Gubernur, sebagai pemimpin kadang kita sudah bekerja. Andai dari angka 100, mungkin kita sudah bekerja melakukan 99, namun hanya karena satu, yang 99 sering dilupakan. Untuk itu, jadilah pemimpin yang sabar,”. Sesungguhnya hakekat dan makna semua pembangunan, hanya akan terasa bagi kalangan yang mau berpikir. Untuk mereka yang mengerti dan bisa memahami. Bahwa membangun sebuah peradaban, butuh ketekunan dan waktu bertahun-tahun lamanya. Kenapa saat negeri lain membangun, negeri kita justru seolah terjebak dalam nuansa sangkaan, saling menyalahkan, saling menuding, saling menunjuk, tapi sulit untuk saling bersatu, saling bahu membahu, saling bantu membantu. Minimal untuk punya rasa bangga menjadi tuan rumah bagi puluhan ribu tamu. Kemeriahan pembukaan PON XVIII selesai sudah. Namun kerja baru saja dimulai. Hingga 22 September, marwah kita masyarakat Riau sedang dipertaruhkan. Jangan biarkan orang lain memilah memecah momentum kebangkitan. Tunjukan siapa kita. Banggalah menjadi bagian dari negeri yang sedang memacak diri. Riau kita hari ini adalah Riau yang baru. Kita dulu tak punya apa-apa. Namun kini kita mulai punya satu persatu. Kita baru menanam bibit kecil untuk menjadi pohon yang besar. Pohon kemajuan dengan ranting-ranting kesejahteraan bagi rakyat. Untuk dinikmati oleh anak cucu kita nanti. Al Fatihah dari Sang Presiden, adalah doa tulus. Sekaligus kekaguman dan pengakuan melihat Riau yang mulai menggeliat. Kerja keras kita benar-benar baru dimulai. Tegaskan ke seluruh penjuru negeri, disini Riau baru berdetak dan tak akan pernah berhenti. Menuju negeri Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbul Ghafur. ***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: