Mengunjungi McLeans College, “Sekolahnya Harry Potter”

Mengunjungi McLeans College, “Sekolahnya Harry Potter”

\"CREATOR:

Konsep Housing Mudahkan Siswa Internasional Beradaptasi SMA di Auckland ini adalah sekolah ala Harry Potter, ”hanya tanpa topi ajaib dan pelajaran sihir”.  Tiap siswa mendapat perlakuan sesuai dengan kemampuan.

ANY RUFAIDAH, Auckland

DIA memang tak lantas jadi seterkenal Harry Potter. Tapi, jumlah pelajaran yang sedikit, pekerjaan rumah yang jarang, dan ruang belajar nan nyaman membuat remaja pria itu betah. ”Pelajaran saya hanya empat, ditambah pendidikan jasmani. Saya jadi gampang berkonsentrasi,” kata Mouzhes Yoweni, si remaja pria itu. Padahal, jarak McLeans College, tempatnya bersekolah, tidak hanya ribuan kilometer dari kampung halamannya di Jayapura, Papua. Tapi, bedanya juga ”ribuan kilometer” dengan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah setara SMA di Auckland, Selandia Baru, itu menggunakan konsep housing mirip dalam serial termasyhur Harry Potter. Hanya, tak ada pelajaran mantra semacam expecto patronum. Bagi yang tak membaca serial karya J.K. Rowling itu, Harry, si penyihir cilik, tersebut dikisahkan pergi belajar ilmu sihir ke Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry. Sekolah yang dipimpin Albus Dumbledore itu terbagi menjadi empat house yang dinamakan sesuai pendirinya. Anak-anak yang baru masuk akan dibagi ke Gryffindor, Slytherin, Hufflepuff, dan Ravenclaw. Mereka berada di sana sejak tahun pertama hingga lulus. Nah, di McLeans hampir sama. Tapi, tentu bentuk bangunannya tak menyeramkan seperti dalam Harry Potter. Lebih mirip seperti rumah. Total ada delapan house. Ada House of Batten, Upham, Snell, Kupe, Te Kanawa, Hillary, Mansfield, dan Rutherford. Masing-masing punya bangunan, ikon, dan warna khusus. Nama-nama itu diambil dari legenda New Zealand. Snell, misalnya, diambil dari Peter Snell, pelari tercepat yang pernah dimiliki negara tersebut. Sedangkan Demi Kiri Te Kanawa merupakan penyanyi sopran yang sangat populer di sana. Disebut house atau rumah karena anak kelas IX–X hanya belajar di kelas-kelas yang ada di bangunan tersebut. Sekolah berlangsung mulai pukul 8 pagi hingga 3 sore. Tak ada yang menginap. Sementara itu, kelas mereka yang senior tersebar di beberapa tempat lain di sekolah. Di setiap house, ada satu staf yang bertanggung jawab. Anak-anak yang merasa tertinggal bisa minta bantuan tutor dari masing-masing house. Akan ada beberapa menit ekstrabelajar one-on-one. Bukan di ruangan tertutup, tapi di halaman belakang house yang berada di tepi pantai. Belajar pun jadi terasa rileks. ”Kalau mereka punya saudara atau bapak atau ibu yang dulu masuk di rumah tertentu, mereka akan masuk rumah yang sama,” lanjut Melissa Irving, wakil kepala sekolah. Persamaan lain dengan Hogwarts adalah McLeans menempati lahan yang sangat luas. Selain delapan kompleks house, ada beberapa kelas terpisah untuk anak-anak kelas senior belajar di sekolah milik pemerintah tersebut. ”Perbedaan terbesar adalah kami tidak punya topi ajaib yang bisa membaca pikiran dan kemampuan anak-anak,” kata Melissa. Ada pula kompleks untuk guru dan staf, kompleks khusus program siswa internasional, serta bermaca-macam laboratorium. Semuanya dilengkapi halaman yang luas. Mayoritas bangunan hanya satu lantai. Maksimal dua lantai. Masih ditambah lapangan golf, lapangan voli, sepak bola, tenis, dan pantai untuk kegiatan ekstrakurikuler berlayar. Mouzhes yang menempuh pendidikan SMP di SMPN 12 Jayapura itu mengungkapkan, konsep housing sangat membantu semua siswa beradaptasi. Sebab, mereka akan bergaul dengan komunitas yang lebih kecil dulu sebelum bertemu dengan anak-anak dari house lain. Yang paling terbantu tentu saja para siswa internasional. Sebanyak 360 di antara sekitar 2.000 pelajar di sekolah itu berasal dari negara lain. Termasuk dari Indonesia yang tiap tahun mengirimkan rata-rata 20 pelajar. Selain Mouzhes, ada dua remaja Papua lain: Ibeth Adii serta Stanley Samay. Sejak pertama datang, ketiganya mengaku tak mengalami kendala berarti. Sebab, setelah dinyatakan lulus tes seleksi oleh Pemprov Papua Barat, mereka menjalani pelatihan bahasa Inggris selama 6–9 bulan di Makassar. Baru kemudian berangkat ke Selandia Baru. Untuk tahun awal, semua siswa mendapat sembilan mata pelajaran. Di antaranya, bahasa Inggris, sejarah, matematika, biologi, fisika, dan kimia. Di tingkat selanjutnya, mata pelajaran berkurang hingga tinggal 4–5 mata pelajaran saja. Mouzhes mengaku sangat cocok dengan model kurikulum seperti itu. Dia bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang memang disenangi. ”Pekerjaan rumah jarang. Seringnya kita diajak bikin proyek yang sesuai,” tuturnya. Tahapan sekolah di Selandia Baru itu adalah primary (kelas I–VI), intermediate (VII–VIII), high school (IX–XIII), dan setelah itu dilanjutkan dengan kuliah. Di negara yang terkenal dengan buah kiwi tersebut, anak-anak masuk sekolah pada ulang tahun kelima. Jadi, misalnya, si A ulang tahun kelima pada 11 Januari, dia masuk kelas I pada hari itu. Sementara itu, jika si B ulang tahun 22 Oktober, dia tidak bisa bersekolah hingga berulang tahun meski tahun ajaran baru dimulai Februari atau Maret. ”Karena itulah, sering kali saat awal tahun ajaran baru, hanya ada sedikit anak yang masuk,” terang Melissa. Baru kemudian, semakin hari semakin banyak anak yang datang. Siswa berasal dari kawasan sekitar karena Selandia Baru menerapkan sistem rayonisasi. Anak-anak tidak boleh bersekolah di institusi yang jauh dari tempat tinggalnya, kecuali dengan alasan khusus. Soal kualitas, hampir semua sekolah sama bagus. Sistem housing diterapkan McLeans sejak sekolah tersebut berdiri pada 1980. Namun, beberapa sekolah belakangan mengadopsi konsep yang sama karena dianggap bagus. Tiap pagi, sebelum masuk kelas, para siswa tinggal mencantolkan tasnya di dinding luar kelas. Mereka tidak diperkenankan membawanya masuk, kecuali pada pelajaran khusus. ”Selama ini aman kok. Kalau tasnya dibawa masuk, kelasnya terasa penuh. Tidak nyaman,” ungkap Melissa. Di McLeans, setiap siswa mendapat perlakuan sesuai dengan kemampuan. Sekolah tersebut memegang teguh prinsip bahwa setiap anak berhak tumbuh menjadi sosok yang berbahagia. Memaksa mereka untuk sama dengan anak lain jelas mustahil. ”Mungkin mereka lebih suka di musik ketimbang matematika. It’s fine,” jelas James Fenelly, guru matematika. Karena itu, selain pelajaran seperti matematika, sains, atau geografi, sekolah mewajibkan siswa memilih satu pelajaran lain yang menjadi passion mereka. Misalnya, olahraga, seni rupa, atau musik. Pola pengajaran yang diterapkan pun lebih sering mengajak siswa berpikir kreatif. Mereka terlibat langsung dalam setiap percobaan. ”Bukan guru yang menjadi pusat perhatian, tapi anak-anak,” kata Fenelly. Karena itu, menjadi guru di Selandia Baru tidak mudah. Selain harus belajar di perguruan tinggi, mereka harus menjalani on-the-job-training di beberapa sekolah. ”Delapan puluh persen gagal di on-the-job-training,” ungkap Melissa, lalu tersenyum. Kalaupun sudah mengajar, setiap enam bulan para guru harus mengisi lembaran evaluasi dari pemerintah. Para guru juga ditawari dana untuk meningkatkan kemampuan. Bukan seperti tunjangan sertifikasi di Indonesia, lebih mirip dana penelitian. Setiap guru mengajukan rancangan apa yang akan dipelajari. Setelah mendapat dan menggunakan dana dari pemerintah, mereka menyerahkan laporan.”Tapi, tentu tak ada yang meneliti ilmu sihir. Sebab, itu memang tidak diajarkan di sini,” ujar Melissa. Ilmu sihir seperti yang dipelajari Harry Potter memang tak ada. Tapi, kompetisi antar-house seperti dalam kisah penyihir cilik itu ada. Mulai paduan suara hingga olahraga semacam voli atau golf dan sebagainya. Tapi, memang tidak ada quidditch. Persiapannya juga sangat serius. ”Mereka bisa berhari-hari latihan demi mempertahankan nama baik house-nya,” kata Mouzhes. Memandang luasnya kompleks McLeans College dari kantor staf sekolah, bisa terbayang kegigihan mereka dalam kompetisi antar-house itu. Lanskap pantai yang juga bisa dinikmati dari kantor yang sama pun membuat potongan adegan dalam Goblet of Fire, buku keempat Harry Potter, seperti hadir dengan sendirinya. Kapal dari Durmstrang Institute yang datang mengantarkan siswanya untuk berlomba di Hogwarts.... (*/c10/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: