Praperadilan Bisa Dipatahkan
Dengan Pelimpahan Pokok Perkara
BENGKULU,BE - Sebagai mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) dan kapasitas sebagai mahasiswa S3 meraih untuk doktor di Universitas Airlangga, Surabaya, Inspektur Muda Kepegawaian dan Tugas Umum Keuangan, Perlengkapan dan Proyek Pembangunan pada Inspektorat II Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejagung, Wito SH, MH, mengatakan menyikapi maraknya pra peradilan di Indonesia berkaitan dengan tersangka dimasukkan di dalam objek pra peradilan, kejaksaan selaku penyidik, harus mempunyai prinsip secara profesional dan proporsional untuk menyikapi atau memberi jawaban atas gugatan pra peradilan dari pemohon (tersangka).
Dia mengatakan, harus dilakukan langkah-langkah cepat dan tepat dengan dasar hukum, pasal 38 Undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan pidana korupsi.
\"Penyidik bisa mempercepat melimpah perkara ke penuntut umum, kemudian dilimpahkan ke pengadilan, tanpa hadirnya terdakwa untuk mematahkan gugatan pra peradilan dari tersangka yang disebut dengan peradilan in absesia, artinya tanpa hadirnya terdakwa,\" jelasnya.
Bunyi pasal 38 ayat 1 \"Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.\"
Ditambahkan Wito, dengan catatan bahwa penyidik terlebih dahulu, memanggil secara patut, dan sah tiga kali berturut-turut tetapi tidak ada keterangan/alasan bahwa dia akan hadir atau tidak. Bahwa dengan tiga kali pemanggilan tersebut, dijadikan dasar untuk melakukan pengecekan di rumah tersangka/terdakwa di kediamannya, dengan menggunakan dasar hukum pasal 113, kitab Undang-undang hukum acara pidana. Sebagaimana bunyi Undang-Undang No 8 Tahun 1981 pasal 113,\"Jika seseorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya\".
Ditegaskan Wito, tujuannya adalah selain untuk melakukan percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi, seperti yang di instruksikan Presiden RI, No 5 Tahun 2004. Tujuan berikutnya adalah untuk penyelamatan keuangan negara yang telah diduga dikorupsi oleh pihak pihak yang dijadikan tersangka oleh institusi kejaksan tidak terkecuali termasuk kasus bansos ditangani Kejaksan Negeri Bengkulu. \"Jadi jangan menunggu menunggu menunggu, kehadiran tersangka atau terdakwa\" cetusnya. Dia mengatakan terpenting eksistensi dan urgensi peradilan in absesia, implementasinya, supaya ada kepastian hukum dan keadilan dengan cepat dan tepat (Penyelamatan Keuangan Negra).
Langkah-langkah berikutnya ada beberapa pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang mengatur tentang tata cara pemanggilan. Kalau ditingkat penyidikan pasal 113, tetapi apabila perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan tata caranya diatur pasal 154 utamanya ayat 4 dan ayat 6. Kemudian di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi ditingkat penyidikan pemnggilan bisa dipedomani dengan menggunakan pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No 31 thun 1999.
\"semua pihak sekarang harus melihat secara utuh dan nyata ada apa tersangka dipanggil beberapa kali tidak datang, tanpa alasan yang sah? selanjutnya kenapa takut dipanggil jaksa kalau memang dia tidak bersalah?\", katanya.
Dia menjelaskan, sikap tidak memenuhi panggilan tentu akan rugi dengan sendirinya dan kehilangan hak untuk membela diri bahwa tersangka tidak bersalah. silahkan menggunakan pasal 116 ayat 3, kitab Undang-Undang hukum acara pidana. Selain itu menggunakan haknya untuk membuktikan bahwa tersangka tidak bersalah, gunakan pasal 189 ayat 123 Kitab Undang-Udang hukum acar pidana, terlebih lagi kehilangan haknya, untuk meminta kepada jaksa penyidik, untuk segera perkaranya dilimpahkan ke penuntutan sebagai dimaksud dalam 50 kitab Undang-undang hukum acara pidana.
\"saya kira apa yang saya sampaikan diatas itulah sebagai dasar untuk mematahkan gugatan pra peradilan,\" tegasnya.
Dia mengatakan, ada beberapa catatan referensi, yaitu contoh kasus OC Kaligis, gugatan pra peradilan bisa dipatahkan, karena pokok perkaranya langsung oleh KPK dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Sehinga hakim pra peradilan, tidak bisa melanjutkan memeriksa pra peradilan karena perkara itu sudah dilimpahkan.
Secara hukum berdasarkan Undang-undang No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, seharusnya dalam mengadili pra peradilan, hakim mempunyai kebebasan untuk memutus perkara yang antara lain, berpedoman denga pasal 10. Tetapi, tidak serta merta menafsirkan terhadap apa yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, contohnya objek peradilan telah diatur dalam pasal 1 butir 10 kitab Undang-undang hukum acara pidana dan pasal 77 sampai dengan 83.
Dia menyebutkan pasal 82 ayat 1 huruf Kitab Undang-Undang acara pidana,\"dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur,\" kutipnya (001)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: