UN Bukan Lagi Penentu Kelulusan

UN Bukan Lagi  Penentu Kelulusan

JAKARTA, BE - Menteri Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan, Anies Baswedan memutuskan ujian nasional (UN) tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa. Bersamaan dengan itu, Kemendikbud melakukan tiga aspek perubahan pada UN, yakni selain tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, ke depan UN juga dapat ditempuh lebih dari satu kali serta harus diambil minimal satu kali.

\"Kelulusan sepenuhnya diputuskan oleh sekolah. Bukan hanya pada beberapa mata pelajaran (mapel, red), tetapi semua aspek pembelajaran termasuk komponen perilaku anak di sekolah,\" ujar Anies, di Gedung Ki Hajar Dewantara Kemendikbud, Jakarta, Jumat (23/1).

Dalam hal ini, sambung Anies, siswa yang hasil ujiannya kurang, memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan mengambil ujian ulang. Bahkan, mereka bisa menempuh UN berkali-kali untuk memperbaiki pencapaiannya bila belum memenuhi standar. Tujuan UN, kata Anies, bukan untuk menjadi hakim, tetapi menjadi alat pembelajaran. \"Kita ingin mengubah UN tak sekadar vonis atau alat menilai hasil belajar saja, tetapi juga menjadi alat untuk belajar,\" ucapnya.

Nah, kebijakan ini akan diterapkan mulai tahun ajaran 2016 - 2017. Untuk siswa yang tidak lulus UN tahun ini, ujian ulangan baru akan dilakukan pada awal 2016. \"Kita butuh waktu untuk transisi, jadi tidak bisa langsung,\" kata Anies.

Memasuki tahun ajaran 2016 - 2017, UN akan digelar pada awal semester kedua agar siswa memiliki waktu untuk ujian ulang. Lulus tidaknya siswa juga tidak akan ditentukan semata dari hasil UN. Sekolah akan menentukan kelulusan siswa dengan memperhatikan delapan indikator, salah satunya UN.

Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas mengapresiasi kebijakan baru Mendikbud. Pasalnya, selama ini UN sebagai penentu kelulusan dianggap memberatkan dan kerap menimbulkan perilaku irasional dari pihak-pihak terkait, seperti guru, orang tua, pemda/pemkot bahkan murid itu sendiri. Pemandangan yang selalu muncul setiap tahun, terutama saat menghadapi UN adalah murid, orang tua, guru, dan Pemda/Pemkot disibukkan dengan persiapan UN.

\"Murid harus belajar ekstra melalui bimbingan belajar (bimbel), orang tua harus keluar uang ekstra untuk mengikutkan anaknya ke bimbel, sekolah sibuk dengan memberikan materi tambahan yang bersifat drilling, dan Pemkab/Pemkot pun sibuk membentuk tim sukses agar UN dapat sukses dengan indicator semua sekolah dapat lulus 100% serta meraih nilai UN tertinggi,\" kata dia dihubungi media ini.

Akhirnya, lanjut dia, setiap kali menjelang pelaksanaan UN muncul perilaku yang berlebih, seperti misalnya murid menginap di sekolah dan melakukan doa bersama, murid membasuh kaki gurunya, mandi pakai bunga, menangis histeris, dan sebagainya. \"Perilaku-perilaku menjelang pelaksanaan UN itu sering terlihat irasional, padahal UN mestinya memerlukan pendekatan rasional,\" terangnya. (why/RP)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: