Pemerintah Godok Tiga Opsi Distribusi BBM Bersubsidi

Pemerintah Godok Tiga Opsi Distribusi BBM Bersubsidi

JAKARTA, BE – Penurunan harga minyak dunia membuat pemerintah segera menggodok kebijakan baru tentang BBM bersubsidi. Tiga opsi kebijakan dipilih untuk memastikan level aman subsidi BBM dapat dijaga secara berkesinambungan. Opsi terbaik di antara tiga pilihan itu diumumkan akhir tahun ini. Kepala Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng di Kementerian ESDM mengatakan, salah satu opsi itu adalah mekanisme subsidi tetap. Dua lainnya adalah pelarangan mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi dan penyesuaian harga. ”Kita tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Siapa yang bisa jamin harga minyak tahun depan turun seperti akhir tahun ini,” katanya. Larangan mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi memang bukan wacana baru. Namun, opsi tersebut dimunculkan lagi karena manfaatnya sangat besar. Larangan mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi akan menekan pemakaian hingga 30 juta kiloliter pada 2015. Selain itu, pihaknya memastikan BBM bersubsidi tersebut tepat sasaran. Untuk opsi subsidi tetap, Sommeng menyebut besarannya Rp 1.500 sampai Rp 2 ribu per liter. Usulan itu sudah disampaikan kepada pemerintah. ”Masih dibicarakan di Kemenkeu,’’ imbuhnya. Opsi-opsi tersebut muncul karena harga keekonomian premium pernah menyentuh level Rp 8 ribu per liter. Padahal, di pasaran saat ini harga ecerannya Rp 8.500 per liter. Harga itu disebutnya belum stabil karena berbagai hal. Mulai minyak dunia yang masih turun hingga kurs rupiah yang melemah terhadap USD. Harga minyak di bawah USD 60 membuat BBM nonsubsidi berada di bawah harga BBM subsidi. Hanya, efeknya belum bisa dinikmati karena rupiah jeblok. ”Sekarang harganya masih lebih mahal sedikit dibandingkan yang subsidi,” urainya. Direktur BPH Migas yang juga anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Djoko Siswanto mengatakan, subsidi tetap tidak akan terpengaruh kurs. Dia mencontohkan, jika kuota 46 juta kiloliter, ketika subsidinya konstan Rp 1.000 per liter, berarti total subsidinya Rp 46 triliun. Ketika subsidinya Rp 2 ribu per liter, berarti totalnya Rp 92 triliun. ”Kalau kita sudah set subsidi konstan, hanya bergantung pada volume. Begitu volume naik, subsidi naik. Tidak terpengaruh kurs. Memang konsekuensinya harga di masyarakat naik-turun,” jelasnya belum lama ini. Nasib Petral Di sisi lain, Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) akhirnya duduk satu meja dengan PT Pertamina dan anak usaha Pertamina di bidang trading, Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), di Kementerian ESDM kemarin. Agendanya mencari tahu proses jual beli minyak hingga keberadaan kantor Petral di Singapura. Namun, seusai pertemuan, tim pimpinan Faisal Basri itu justru mengaku banyak kesalahpahaman selama ini. Saat konferensi pers, Faisal mengatakan bahwa pertemuan pertama tersebut belum mendapatkan kesimpulan. Setelah itu, masih ada pertemuan lagi sebelum menyampaikan rekomendasi kepada Menteri ESDM Sudirman Said pada akhir tahun nanti. ”Tidak ada kesimpulan. Sekadar konfirmasi atas pertanyaan yang mengganggu,” ujarnya. Nah, dari obrolan sekitar lima jam itulah, Pertamina dan Petral menjelaskan hal-hal yang selama ini dituduhkan. Misalnya, posisi kantor di Singapura yang membuat Petral tidak terbuka, soal pembelian minyak, hingga diskon yang disebut-sebut tidak jelas aliran uangnya. ”Petral sebagai trading company di Singapura mem-blend dari (harga RON) 92 menjadi (RON) 88. Saya juga baru tahu. Ada yang missing. Kita enggak tahu selama ini,” kata Faisal saat menjelaskan pembentukan harga premium oleh Pertamina. Soal adanya diskon pembelian minyak memang benar dan dijelaskan juga kepada tim. Faisal menyebut, Petral selama ini banyak bertransaksi melalui national oil company (NOC). ”Tapi, saya enggak puas. Saya minta data mana NOC yang memasok langsung dan yang beli lagi dari trader,” katanya. Saat disinggung apakah jawaban-jawaban itu bakal membuat rekomendasi tidak segarang saat melempar wacana, Faisal mengelak. Dia memastikan tim tetap kritis dalam mengulik dugaan adanya mafia migas di dalam tubuh Petral. ”Sampai akar masalahnya selesai. Kita enggak bisa berfantasi,” terangnya. Dia menambahkan, informasi yang didapat kemarin bakal menjadi masukan untuk memberikan rekomendasi. Soal isi rekomendasi belum bisa disampaikan karena tim masih melakukan rapat-rapat lagi. Yang jelas, tim nanti hanya memberikan rekomendasi, bukan vonis. Pemerintah yang akan memberikan keputusan setelah membaca rekomendasi tersebut. ”Ada dua rekomendasi. Pertama, tentang formula harga BBM yang akan disampaikan pada tahun ini. Kedua, soal keberadaan Petral,” terangnya. Anggota Tim RTKM Darmawan Prasodjo menambahkan, pihaknya bakal mendorong Pertamina untuk segera menyelesaikan pembangunan kilang baru. Itu bisa menjadi solusi supaya perusahaan pimpinan Dwi Soetjipto itu tidak lagi ketergantungan terhadap impor minyak. Kilang minyak dinilai vital karena kondisi saat ini membuat biaya produksi lebih mahal daripada impor. ”Dari diskusi mengoptimalkan supply chain Pertamina, kami menemukan total cost dari hilir itu USD 63,6 miliar per tahun. Petral menyebut, kalau nilai tukar Rp 12.500 saja, itu sudah mendekati Rp 800 triliun per tahun,” terangnya. Lebih lanjut dia memerinci, di antara USD 63,6 miliar, USD 57 miliar adalah procurement. Jika dapat mengoptimalkan 2,5 persen saja, dia menyebut Pertamina bisa mendapatkan tambahan EBITDA atau laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi sampai USD 1,5 miliar atau setara Rp 20 triliun per tahun. Lebih lanjut dia menjelaskan, kilang baru juga bisa menambah pundi-pundi uang Pertamina. Alasannya, kilang baru bisa mengolah minyak dengan kadar sulfur tinggi dan biaya pengadaan BBM bisa dikurangi lagi sampai 2 persen. ”Itu sudah lebih dari Rp 10 triliun sampai Rp 12 triliun per tahun,” jelasnya. Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir membenarkan soal kilang minyak yang perlu segera dibangun. Pertamina memang sedang mengadakan kajian bersama tiga partner perusahaan asing. ”Kalau program pembangunan kilang lancar, bisa menggunakan berbagai bahan baku. Termasuk ampas produksi bisa diolah menjadi yang lebih bernilai,” terangnya. Presiden Direktur Petral Bambang Irianto mengaku menyerahkan sepenuhnya nasib perusahaan kepada pemerintah atas rekomendasi tim. Kalau memang Petral dinyatakan buruk dan harus dibubarkan, dia tidak mempermasalahkan. ”Itu hak pemerintah. Kami hanya pelaksana dan pekerja profesional,” terangnya. (dim/c6/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: