Kurs Rupiah Terburuk Sejak 1999

Kurs Rupiah Terburuk Sejak 1999

JAKARTA, BE – Nilai tukar rupiah berada dalam fase terburuk setelah krisis keuangan dunia 2008. Depresiasi rupiah pada Senin (15/12) menyentuh level terendah sejak Agustus 1999 atau ketika Indonesia baru saja pulih dari terpaan krisis moneter Asia. Kurs dolar kian perkasa terhadap mata uang lainnya menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC), 16–17 Desember. Dari sisi dalam negeri, belum kunjung membaiknya current account atau transaksi berjalan membuat nilai tukar rupiah kian terpuruk. Di pasar spot, rupiah kemarin melemah hingga Rp 12.705 per USD atau melemah jika dibandingkan dengan perdagangan sehari sebelumnya di posisi Rp 12.410. Sementara itu, berdasar kurs referensi BI (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor), rupiah berada di level Rp 12.599 per USD, lebih lemah jika dibandingkan dengan sehari sebelumnya Rp 12.432 per USD. Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Peter Jacobs menyatakan, BI terus melakukan intervensi di pasar. ’’Namun, memang laju pergerakan dolar lebih kuat,’’ ujarnya kemarin. Menurut dia, pelemahan rupiah akan terjadi hingga akhir tahun ini. BI juga berharap semua pihak ikut andil dalam memperkuat nilai tukar rupiah. ’’Market jangan dilawan. Tapi, alangkah baiknya jika semua aspek diperbaiki. Semua pihak harus turut andil dalam mengembalikan kekuatan rupiah, bukan tugas BI saja,’’ tegasnya. Dia menuturkan, nilai tukar rupiah secara fundamental harus diperbaiki. Selain dari sisi pasokan valas, kinerja ekspor harus terus dibenahi. ’’Dengan begitu, perbaikan fundamental rupiah akan lebih baik,’’ katanya. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD saat ini masih bertaraf wajar. ’’Normal saja karena akhir tahun begini memang biasanya agak tertekan karena aliran uang ke luar cukup tinggi,’’ ucapnya. Dia menyatakan, kurs rupiah kian jatuh karena utang luar negeri yang jatuh tempo cukup besar pada akhir tahun. Dengan demikian, permintaan dolar terus meningkat. BI mencatat, posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir September 2014 mencapai USD 292,3 miliar, meningkat USD 6,1 miliar atau 2,1 persen jika dibandingkan dengan posisi akhir triwulan kedua 2014 sebesar USD 286,2 miliar. Peningkatan posisi utang luar negeri tersebut terutama dipengaruhi meningkatnya kepemilikan asing atas surat utang yang diterbitkan pemerintah (USD 4,3 miliar); pinjaman luar negeri sektor swasta (USD 2,3 miliar); serta simpanan asing di bank domestik (USD 1,7 miliar) yang melampaui turunnya pinjaman luar negeri sektor publik (USD 2,2 miliar). Dengan perkembangan tersebut, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat dari 34,00 persen pada triwulan kedua 2014 menjadi 34,68 persen pada September 2014. Enny menambahkan, mulai dicairkannya pembayaran dividen pada perusahaan dengan penanaman modal asing (PMA) juga meningkatkan permintaan dolar. ’’Akhir tahun biasanya semakin ramai bayar dividen untuk PMA di sini sehingga menyebabkan capital outflow,’’ jelasnya. Associate Director Head of Research and Institutional Business PT Trimegah Securities Tbk Sebastian Tobing menyatakan, melemahnya nilai tukar rupiah sejalan dengan mata uang negara lain. ’’Tapi, belum ada indikasi kenaikan Fed Funds Rate di pertemuan The Fed (Federal Reserve),’’ katanya. Dia menilai, rupiah memang bisa saja mencapai level Rp 13.000 per USD dalam jangka pendek. Namun, menurut dia, secara rata-rata sepanjang tahun ini rupiah berada di level Rp 11.800 per USD dan tahun depan diperkirakan di level Rp 12.150 per USD. ’’Sejauh ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Yang mengkhawatirkan itu jika kenaikan Fed Funds Rate di luar perkiraan,’’ ungkapnya. Seiring dengan terus menurunnya nilai tukar rupiah, investor asing di bursa saham Indonesia juga terus melakukan aksi jual. Pada perdagangan kemarin, bersamaan dengan semakin lemahnya nilai tukar rupiah, investor asing melakukan penjualan bersih Rp 828,1 miliar. Memang, secara kumulatif sejak awal tahun sampai kemarin, investor asing masih menyumbang capital inflow dengan pembelian bersih Rp 47,541 triliun. Angka itu sedikit berkurang karena pembelian bersih investor asing sempat mencapai lebih dari Rp 50 triliun belum lama ini. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menuturkan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak memengaruhi laju investasi di Indonesia. Dia menegaskan, minat investor untuk menanamkan modal di tanah air masih besar. Kalaupun ada yang terpengaruh, dia memastikan jumlahnya sangat kecil. ’’Saat ini, kami sedang mengejar target realisasi investasi. Untuk tahun depan, minatnya masih sangat besar. Tidak terpengaruh,’’ ujarnya. Dia menegaskan, target pertumbuhan investasi 15 persen atau Rp 519 triliun dari realisasi 2014 tidak berubah. Malahan, dia berharap kondusifnya iklim investasi di Indonesia membuat persentase itu naik menjadi 20 persen. Optimisme tersebut muncul dari langkah pemerintah saat ini. Terutama soal komitmen untuk mempercepat proses perizinan yang selama ini dikeluhkan. Perubahan terhadap proses perizinan yang cepat, sederhana, serta transparan bisa membuat Indonesia lebih bersaing di ASEAN. ’’Perizinan lahan jadi dua masalah yang paling disorot investor sehingga perlu dikoordinasikan dengan kementerian lain. Nanti, tiap kementerian menunjuk pejabat yang bertanggung jawab untuk proses integrasi perizinan,’’ katanya. Mencermati hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan banyak pihak untuk mengatasi hal ini. \"Kami akan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan sehingga bisa mengatasi ini. Ini terjadi akibat global memang,” ujar Bambang, seperti dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, Selasa (16/12). Bambang mengatakan, pihaknya masih perlu meminta pandangan dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter dalam menghadapi gejolak nilai tukar saat ini. “Intervensi (ke pasar) kan hanya (bisa dilakukan BI),\" tandasnya. Menkeu melanjutkan, pelemahan rupiah kali ini mirip dengan yang terjadi pada pertengahan 2013. Kala itu, dunia dihadapkan dengan isu penghentian stimulus (tapering off) oleh bank sentral AS The Fed. \"Kami yakin nilai tukar rupiah akan dapat terjaga sesuai dengan fundamental perekonomian Tanah Air. Kita ingin melihat rupiah bisa menjaga fundamentalnya,” ujarnya.(jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: