Mardiana Ika, dari Hongkong Berkiprah untuk Tanah Air

Mardiana Ika, dari Hongkong Berkiprah untuk Tanah Air

Lewat Bali Buka Jalan Fashion Week di Indonesia \"075926_279304_bok_mardiana_ika\" MERINTIS karir sebagai desainer di Hongkong sejak 1983, Mardiana Ika tidak pernah melupakan tanah airnya. Dia merupakan founder Bali Fashion Week yang menjadi pembuka jalan bagi ajang pekan mode lain di Indonesia. MAKIN bergairahnya pergelaran fashion week di berbagai kota di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok desainer Hongkong asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, Mardiana Ika. Dialah sang pemula. Berkat perhelatan Bali Fashion Week (BFW) yang digagasnya pada 2000, kini Indonesia ramai dengan pergelaran serupa seperti Jakarta Fashion Week, Surabaya Fashion Week, Indonesia Fashion Week, dan banyak lagi. Ya, aktivitas mode rintisan Ika –sapaan Mardiana Ika– itu telah menginspirasi para praktisi mode tanah air untuk menggelar pekan mode di kota-kota besar. Ika justru memulai kiprahnya dalam dunia fashion di tanah rantau, Hongkong, sekitar 30 tahun silam. Pada 1983, dia mendirikan Ika Butoni, label high-end fashion yang telah menancapkan diri pada level dunia. Baju-baju rancangannya diminati para buyer dari 35 negara. Mulai Asia Timur, Australia, Selandia Baru, Eropa, Timur Tengah, Amerika Selatan, hingga Amerika Serikat. Meski berkarir di luar negeri, Ika tidak pernah melupakan tanah airnya. Ketika periode 1997–1998 Indonesia dihantam krisis ekonomi, Ika tidak tinggal dim. Dia pulang ke Indonesia dan berusaha ikut memikirkan cara mengangkat kembali perekonomian negaranya lewat jalur fashion, bidang yang dikuasainya. ’’Waktu itu belum ada fashion week di Indonesia, yang bisa menjadi payung bagi para perancang maupun label tanah air. Negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina, India, bahkan Australia juga belum punya. Saya pikir ini akan jadi terobosan baru,’’ papar Ika dalam wawancara via sambungan internasional kemarin (8/11). Selama ini, dia memang tinggal di Hongkong. Hanya sesekali pulang ke tanah air. Dari gagasan itu, dua tahun kemudian, lahirlah Bali Fashion Week (BFW). Bali dipilih Ika karena sudah sangat dikenal masyarakat internasional. Bali juga memberikan banyak inspirasi bagi karir Ika. ’’Saya harus bolak-balik Hongkong-Bali untuk menyiapkan ini dan itu. Juga ke Paris ikut konferensi internasional. Saya kirimkan postcard kepada para buyer relasi di berbagai negara. Event pertama harus jadi besar dan dipublikasikan secara internasional,’’ tuturnya. Kekuatan Ika, dia mampu merangkul media internasional. Dia mengundang fotografer-fotografer fashion dari berbagai negara, mulai Jepang, Italia, Jerman, dan Inggris, untuk meliput pekan mode pertama di Indonesia itu. Hasilnya, event perdana tersebut mendapat perhatian serta apresiasi dari dunia. Indonesia dinilai sanggup menyelenggarakan fashion week dan memiliki kualitas fashion yang mampu bersaing di level internasional. Dari BFW yang kemudian diadakan setiap tahun itulah, empat tahun kemudian, mulai bermunculan ajang serupa di kota-kota besar lain. Sebut saja Jakarta Fashion and Food Festival atau yang biasa disebut JF3 pada 2004, Jogja Fashion Week, kemudian Jakarta Fashion Week mulai 2008, dan Indonesia Fashion Week sejak 2011. Berlangsung tahunan hingga 2008, BFW tidak lagi diadakan sejak 2009 karena pada penyelenggaraan terakhir Ika mengalami musibah. Dia ditipu hingga Rp 3 miliar oleh oknum sponsor. Dengan berat hati, Ika terpaksa menghentikan penyelenggaraan BFW. ’’Ketika itu event pekan mode lainnya mulai bergelora. Saya turut berbangga melihat perkembangan tersebut. Teman-teman perancang Indonesia sudah bergerak. Tugas saya untuk membuka jalan sudah tercapai,’’ ungkap perempuan yang berulang tahun setiap 22 Januari itu. Pada Jakarta Fashion Week (JFW) tahun lalu, Ika dianugerahi Fashion Icon Award. Sebelumnya, dalam Indonesia Fashion Award (IFW) 2012, dia juga mendapat penghargaan sebagai orang pertama yang memulai pekan mode di Indonesia lewat BFW. Bercerita tentang perjalanan karirnya sebagai desainer, Ika mengungkapkan, ketika kecil, dirinya tertarik pada seni lukis. ’’Saya nggak kepikiran untuk mendesain baju,’’ ucapnya. Baru saat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Ika mulai memikirkan jalur karir yang akan dijalani. Semula, dia ingin mewujudkan impian sang ayah, menjadi penerjemah di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, jalan hidup membawanya menjadi pramugari di Cathay Pacific yang berbasis di Hongkong pada 1972. Di tengah karirnya yang kala itu termasuk prestisius sebagai pramugari, mendadak dia tertarik untuk mempelajari dunia mode. Maka, setelah lima tahun menjadi pramugari, Ika memutuskan resign dan banting setir mengambil sekolah mode di London College of Fashion. Begitu memperoleh ilmu dasar dan teknik merancang busana di sekolah itu, dia mendapat kesempatan bekerja di bagian produksi sebuah label fashion di Berlin, Jerman, 1979–1983. Kembali ke Hongkong pada 1983, Ika mendirikan fashion house yang diberi nama Ika Butoni. ’’Ketika itu, nama yang berbau Italia (seperti Butoni) sedang populer. Padahal, Butoni saya ambil dari kata button (kancing),’’ jelas perempuan yang ketika kecil hobi menari balet dan lompat indah tersebut. Tidak butuh waktu lama, Ika Butoni cepat dikenal di Hongkong dan negara-negara lain. Karakter rancangannya yang sophisticated dan penuh sentuhan art menjadi pembeda dari desainer-desainer lain. Ika dengan bangga selalu menyebutkan Indonesia sebagai tanah kelahirannya dalam setiap rilis media internasional. Dia juga membawa ’’jiwa’’ Indonesia dalam karya desainnya. ’’Sebagai orang Indonesia, saya terbiasa melihat perpaduan warna dan corak lewat batik. Itu terbawa dalam pola warna rancangan saya,’’ tutur desainer yang enggan menyebutkan tahun kelahirannya karena tidak ingin terpatok usia dalam berkarya itu. Kreasi busana rancangan Ika kerap menghiasi majalah-majalah fashion dan ditampilkan dalam pekan mode besar, mulai di Hongkong, Korea, Australia, Italia, Argentina, hingga AS. Tapi, perjalanan dalam membesarkan Ika Butoni bukannya tanpa hambatan. Tidak hanya sekali dua kali karya perempuan yang masuk dalam jajaran senior executive committee Hong Kong Fashion Designers Association itu dijiplak. Salah satunya, rancangan Ika pada 2004 yang terpampang di cover majalah fashion terkemuka dengan nama perancang lain pada 2011. ’’Sangat mirip. Dan nama yang terpajang sebagai desainer adalah perancang yang cukup populer. Tapi, saya tidak ingin mempermasalahkan. Solusinya, saya membuat karya yang lebih sukar untuk dijiplak. Baik material, cutting, maupun tekniknya,’’ ungkap Ika yang juga hobi memasak itu. Dia menyebutkan, bekerja dalam industri fashion memiliki tensi tinggi. ’’Sekalipun saya sangat mencintai fashion, ada kalanya kita stuck. Kalau sudah begitu, biasanya saya terapi dengan memasak,’’ katanya. Setelah BFW ditiadakan, tidak berarti kontribusi Ika untuk tanah air berhenti. Dia terus membagikan ilmunya untuk masyarakat. Pada 2006, Ika membuat Bali Export Development Organization (BEDO) yang kini bertransformasi menjadi Business Export Development Organization. Organisasi nirlaba tersebut concern pada pengembangan UKM-UKM di Bali agar mampu menembus pasar internasional. BEDO memberikan pelatihan kepada UKM-UKM di bidang desain, manajemen bisnis, quality control, hingga distribusi ekspor. ’’Mereka kami dampingi hingga mampu mencari ide sendiri, bukan mengopi ide yang sudah ada,’’ paparnya. Ika juga menjembatani masyarakat lokal dengan buyer internasional. Contohnya, dia memberikan pelatihan kepada para istri nelayan di Pulau Serangan, pulau terpencil di Bali. Dia mengajarkan teknik merajut, bordir, sulam, serta membuat mote. ’’Mereka saya hubungkan dengan order dari luar negeri,’’ kata Ika yang hampir tiap bulan mengunjungi Bali. (jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: