Temukan Virus HIV Baru hingga Monyet Hybrid Sulawesi

Temukan Virus HIV Baru hingga Monyet Hybrid Sulawesi

Dr Jatna Supriatna, 28 Tahun Tekuni Wildlife Biologist \"6920_5498_oke-Boks-DokterJATNA5-ali\" Tidak banyak ilmuwan Indonesia yang memilih bercapek-capek melakukan penelitian di tengah hutan. Salah satu yang langka itu adalah Dr Jatna Supriatna. Bertahun-tahun dia mendedikasikan hidupnya untuk menekuni ilmu biologi kehidupan liar (wildlife biologist) di hutan belantara. ** Pada suatu malam medio 1986, hujan turun sangat lebat. Mobil Jeep 4WD yang dikendarai Dr Jatna Supriatna dan kawan-kawan penelitinya di dalam hutan Sulawesi Selatan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Sungai yang hendak dilewati meluap karena air bah. Mereka terjebak di dalam hutan itu sambil menunggu hujan reda dan banjir surut. Untungnya, Jatna dan tim sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tinggal berminggu-minggu di dalam hutan. Termasuk, bagaimana mereka harus menjaga sebaik-baiknya sampel darah kera yang dibawa untuk bahan penelitian genetika kera-kera di Sulawesi. Sebab, jika sampel itu rusak, mereka harus mengulang prosesnya mulai awal. Kalaupun itu terjadi, mereka harus berminggu-minggu lagi di dalam hutan. Begitulah secuil kisah penelitian kehidupan liar yang dilakukan Jatna cs. Jatna mulai menjadi wildlife biologist pada 1986. Pada awal proyek penelitiannya, dia harus tinggal di hutan pedalaman Sulawesi selama tiga tahun. Dosen MIPA Universitas Indonesia (UI) itu akhirnya meneguhkan hati menjadi ahli biologi lapangan. ’’Sebab, di lapangan itu lebih banyak masalah yang dihadapi,’’ kata pengajar yang menuntaskan jenjang S-2 dan S-3 di The University of New Mexico, AS, itu. Ditemui di kompleks gedung rektorat UI Senin (8/9), Jatna bercerita tentang kiprahnya di dunia penelitian alam liar Indonesia. Pria kelahiran Bali, 7 September 1951, itu menyatakan, penelitian di Sulawesi tersebut awalnya bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. ’’Kami bekerja dalam satu tim. Saya menjadi ketua timnya,’’ tutur Jatna. Selain UI, kampus lokal yang terlibat dalam proyek besar tersebut adalah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dan Universitas Tadulako Palu. Kampus asing yang bergabung adalah The University of New Mexico, Yale University, Colombia University, University of Georgia, University of Colorado, University of California, serta University of Oregon. Banyaknya kampus asing yang terlibat menunjukkan ketertarikan mereka terhadap habitat liar di Indonesia. Jatna menjelaskan, fokus penelitian mereka saat itu adalah kehidupan primata di Sulawesi. Ada tujuh spesies kera (makaka/macaca/macaque) di seluruh wilayah Sulawesi yang mereka teliti. Tujuh spesies kera tersebut adalah Macaque maura, Macaque tonkeana, Macaque hecki, Macaque nigrescens, Macaque nigra, Macaque ochreata, dan Macaque brunnescens. Perbedaan mencolok dengan kera atau monyet pada umumnya, kera di Sulawesi tidak memiliki ekor. Beberapa spesies memiliki sedikit jambul di kepalanya. Menurut suami Nana Ratnawati itu, jenis primata di Sulawesi cukup menarik untuk diteliti. Secara geografis, Pulau Sulawesi terpisah dari Pulau Kalimantan dan Jawa. Kondisi tersebut dikenal dengan teori garis Wallace sehingga keragaman hayati, termasuk jenis kera di Sulawesi, cukup unik. Selama tiga tahun berada di hutan, Jatna menemukan fakta menarik. Salah satunya, telah terjadi perkawinan campuran (hybrid/hibrida) di antara tujuh spesies kera di Sulawesi itu. Menurut Jatna, perkawinan hybrid tujuh spesies kera di Sulawesi tersebut menunjukkan terjadinya gejala alam tertentu. ”Salah satu penyebab kenapa terjadi perkawinan hybrid di antara kera-kera itu adalah telah terjadi kerusakan alam di hutan tersebut,” kata penulis buku Panduan Lapangan Primata Indonesia (2000), Melestarikan Alam Indonesia (2008), Indonesian Primates (2010), dan Berwisata Alam di Taman Nasional (2014) tersebut. Bapak tiga anak itu mencontohkan, kerusakan alam yang mengakibatkan perkawinan hibrida kera di Sulawesi adalah keringnya sejumlah danau atau rawa. Dalam keadaan normal, danau atau rawa menjadi pemisah habitat spesies kera Sulawesi yang satu dengan yang lainnya. ”Tetapi, ketika danau atau rawa itu kering dalam waktu lama, kera-kera bisa menyeberangi dan masuk wilayah kera yang lain. Dari situlah kemudian terjadi perkawinan hybrid,” tutur peraih Habibie Award (2009) di bidang sains itu. Perkawinan campuran kera-kera di Sulawesi tersebut, kata Jatna, menimbulkan masalah baru. Yakni, muncul anakan kera dengan kondisi genetik yang berbeda dengan induknya. Kondisi itu tidak jarang memunculkan penyakit-penyakit baru. Yang ditemukan Jatna dalam penelitian alam liarnya antara lain adalah varian baru virus HIV pemicu AIDS. Jatna kemudian memberi nama varian baru virus HIV yang ditemukan pada kera hasil perkawinan hybrid tadi Simian AIDS. Jatna mengatakan, virus HIV yang menular kepada manusia awalnya ditemukan pada kera-kera di Afrika. Tapi, virus HIV varian baru yang ditemukan pada kera di Sulawesi dijamin tidak menular kepada manusia. ”Virus itu hanya menyebar di antara kera-kera tersebut.” Temuan genetik lain dari aktivitas penelitian primata liar itu adalah keberadaan sel islet di pankreas kera. Sel islet berfungsi efektif untuk mencerna karbohidrat. Jadi, bila dikembangkan secara serius, sel islet bisa dipakai untuk menurunkan gula darah pada manusia. Sayangnya, jelas Jatna, penelitian lanjutan tentang sel islet tersebut dibawa terbang ke Amerika Serikat. ”Soalnya, di Indonesia tidak ada yang mau mendanai,” ungkapnya. Selain itu, pengembangan penemuan sel islet tersebut sudah menjadi tanggung jawab peneliti disiplin ilmu lain. Apalagi, lanjut Jatna, penelitian yang membutuhkan perlengkapan laboratorium komplet tidak bisa dikerjakan di dalam hutan. Primata lain yang menjadi objek penelitian Jatna adalah Tarsius tarsier. Hewan itu merupakan jenis primata terkecil di dunia. Tubuhnya hanya sebesar jari telunjuk (sekitar 10 cm). Selain ukurannya yang mungil, hewan tersebut diklaim tidak mengalami perubahan (evolusi) susunan gigi sejak 45 juta tahun terakhir. Dalam penelitiannya, Jatna cs menemukan sedikitnya dua spesies tarsius baru. Sayang, dia sudah lupa nama latin tarsius yang ditemukannya itu. ”Intinya, penemuan spesies baru itu karena pencatatan penelitian sebelumnya kurang rapi sehingga banyak spesies belum sempat dicatat,” terang dia. Dalam buku tentang primata Indonesia karya Jatna, tercatat kini sudah sepuluh spesies tarsius yang ditemukan. Dari seluruh spesies tarsius itu, hanya dua yang berasal dari luar Sulawesi. Yaitu Cephalopachus bancanus yang ditemukan di Bangka Belitung serta Cephalopachus borneensis atau disebut Bornean Tarsier yang ditemukan di Kalimantan. Menurut Jatna, penemuan spesies tarsius baru di Indonesia bisa saja terus terjadi. ”Asalkan penelitinya tidak malas. Mau turun ke lapangan, di dalam hutan. Tidak hanya bekerja di laboratorium,” tutur peraih penghargaan Terry McManus Award dari Conservation International Washington DC (2010) dan Golden Ark Award dari Kerajaan Belanda (2009) itu. Jatna mencontohkan, ketika dirinya memulai penelitian di hutan dulu, jumlah spesies primata di Indonesia hanya 40 jenis. Tetapi sekarang sudah bertambah menjadi 51 spesies. Selain primata, Jatna aktif meneliti keragaman burung di Bali dan jenis-jenis ular di Indonesia. Di usianya yang menginjak 63 tahun, Jatna belum berniat mengurangi aktivitas penelitiannya di hutan belantara. Belum lama ini dia blusukan ke taman nasional di Riau dan Jambi. Dia prihatin mengetahui kondisi hutan di Riau yang rusak akibat pembalakan liar dan kebakaran. Selain ke hutan Riau dan Jambi, Jatna baru saja melakukan penelitian kandungan air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Taman nasional seluas hampir 22 ribu hektare di wilayah Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi itu punya potensi air mencapai USD 1 miliar (Rp 11,7 triliun) per tahun. ”Sayangnya belum terkelola dengan baik,” tandasnya. Menurut Jatna, keanekaragaman hayati di Indonesia yang masih utuh antara lain bisa dilihat di taman nasional. Dia berharap pemerintah mencari formulasi jitu untuk merawat taman nasional. Sebab, tidak sedikit taman nasional yang wilayahnya diserobot masyarakat. ”Dalam pengembangan taman nasional, semangatnya harus memberdayakan masyarakat setempat. Sehingga bisa menimbulkan rasa untuk mau merawat, bukan merusak atau mengeksploitasi,” tegas Jatna. (*/c5/c9/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: