Legalisasi Aborsi Timbulkan Kontroversi

Legalisasi Aborsi Timbulkan Kontroversi

JAKARTA - Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Produksi menimbulkan kontreversi. Sejumlah kelompok mengecam dilegalisasinya aborsi dalam PP yang diteken oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Juli 2014 lalu. Namun ada pula yang setuju dengan aturan tersebut.

\"Apapun alasannya, aborsi untuk menghilangkan nyawa orang saya sangat tidak setuju,\" ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait pada koran ini kemarin (12/08).

Menurutnya, PP ini sangat bertentangan dengan undang-undang (UU) perlindungan anak yang telah ada sebelumnya. Dalam UU No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 itu, kata dia, secara tegas dikatakan bahwa negara menjamin keselamatan anak sedari di dalam kandungan hingga usia 18 tahun. \"Otoritas hak hidup itu ada pada Tuhan,\" tandasnya.

Selain itu, PP ini pun dikatakannya dapat menciptakan celah untuk disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Sebab, pembuktian sang pasien melakukan aborsi karena korban pemerkosaan susah untuk dilakukan.

\"Kalau pemerkosaan kan susah dibuktikan, tidak ada saksi. Jangan sampai PP ini memberi peluang bagi mereka yang tidak bertanggung jawab,\" urainya.

Kendati menentang, Arits tidak menutup mata dan hati untuk para korban pemerkosaan. Ia menuturkan, perlindungan terhadap mereka dapat dilakukan dengan cara pendampingan kejiwaan secara intensif.

Sementara itu untuk anak korban perkosaan yang sejatinya tidak diinginkan, dapat diambil alih oleh negara. \"Bukannya malah membiarkan mereka diaborsi. Negara bisa mengambil alih mereka saat mereka lahir. Bukan malah dilegalkan diaborsi,\" tandasnya.

Berbeda dengan Komnas PA, lembaga negara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) justru sepakat dengan PP yang melegalkan aborsi itu. Menurut Ketua KPAI Asrorun Ni\"am, PP ini dapat diterapkan jika syarat-syarat yang telah ditentukan dapat dipenuhi. Syarat tersebut antara lain, kedaruratan medis dan korban pemerkosaan.

\"Selain itu, syaratnya usia kehamilan paling lama 40 hari sejak haid terkahir. Jika lebih dari 40 hari maka tidak diperkenankan oleh undang-undang dan agama,\" jelasnya.

Kendati sepekat, Asrorun menegaskan bahwa aturan tersebut harus diikuti oleh pengawasan secara ketat. Tidak dipungkirinya, aturan ini bisa menimbulkan celah untuk dapat disalah gunakan.

\"Dalam PP itu ada ketentuan rinci untuk memastikan bahwa aborsi karena korban perkosaan. Implementasi itu yang harus diawasi secara ketat,\" pungkasnya.

Terpisah, menanggapi kontroversi yang timbul akibat ditekennya legalisasi aborsi ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan masih banyak aturan pendamping yang akan disusun sebelum aturan ini diterapkan.

Aturan pendamping ini akan mengatur secara detail teknis yang diperlukan agar tidak muncul penyalahgunaan. \"Kemenkes mungkin ada sekitar empat permen (peraturan menteri) yang harus disiapkan, Kementerian Pendidikan juga akan menyusun peraturan untuk memasukannya (kesehatan reproduksi) ke kurikulum,\" kata Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono.

Dalam kesempatan itu, Anung menegaskan bahwa PP itu tidak hanya mengatur mengenai aborsi, namun menitikberatkan pada kesehatan reproduksi mulai dari sebelum kehamilan, masa kehamilan, melahirkan, hingga pasca melahirkan.

\"Dalam PP itu memang diatur satu dua pasal tentang kegiatan pengakhiran kehamilan terkait perkosaan dan lainnya,\" ujar Anung.

Anung mengatakan, PP itu sendiri akan dilakuakn pendalaman lebih lanjut. Semua pihak diberikan kesempatan untuk memberikan opini tentang aturan tersebut. \"Akan didalami lagi, siapa saja yang bisa memberikan opini untuk mengakhiri kehamilan, baik dari segi kesehatan maupun lainnya seperti agama. Tapi kita (Kemenkes) konsentrasinya di pelayanan kesehatan seperti standar tenaga kesehatan yang boleh, fasilitas apa yang bisa,\" ungkapnya.

Untuk diketahui, beberapa waktu lalu Presiden SBY telah menandatangani PP nomor 61 tahun 2014 tenag Kesehatan Reproduks. Dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan.

\"Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari 2 orang tenaga kesehatan, yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan,\" bunyi pasal 33 ayat (1,2) PP tersebut.

Adapun kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan: a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. keterangan penyidik, psikolog atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan. (mia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: