Produknya Tembus Pentagon dan Gedung Putih

Produknya Tembus Pentagon dan Gedung Putih

TIDAK selamanya brand terkenal dan punya nama besar yang bisa bersaing di pasar internasional. Fifi Manan membuktikan, dengan kerja keras dan strategi jitu, produknya bisa mendunia dan dirinya menjadi satu-satunya produsen Asia yang bisa masuk ke Pentagon dan Gedung Putih di Amerika Serikat. Perempuan paro baya berpakaian blazer hitam tersebut melepas lelah di pusat perbelanjaan Pacific Place, SCBD (Sudirman Central Business District), Jakarta. Namun, semangatnya tetap menyala-nyala. Apalagi kalau diajak bicara soal bisnisnya yang mendunia. Ya, dia adalah Fifi Manan, pebisnis furnitur yang sukses menaklukkan pasar internasional dengan kerja kerasnya. Selama ini Fifi tinggal di Amerika Serikat (AS) dan mengembangkan usahanya di sana. Dia pulang ke Indonesia untuk menemui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKBM) Mahendra Siregar yang akan diundang dalam konferensi diaspora di AS awal Agustus 2014. Fifi kemudian memulai cerita heroiknya bisa menembus pasar di Negeri Paman Sam. Memakai merek global Form Case, furnitur produksi Fifi bahkan menjadi satu-satunya produk Asia yang bisa masuk ke Departemen Pertahanan AS Pentagon dan Kantor Kepresidenan AS Gedung Putih. Pertengahan 2001 menjadi titik awal bagi Fifi. Dia memutuskan untuk tinggal di AS dan menjadi bagian dari diaspora dengan tujuan agar dapat menembus pasar negara adikuasa tersebut. Sebelum itu, perempuan 49 tahun tersebut sudah berupaya menjual produknya ke AS melalui distributor. Pasarnya lumayan besar. Tapi, dia tidak pernah tahu siapa pasar produknya itu. ”Karenanya, saya putuskan untuk berangkat ke sana sekaligus membuka kantor perwakilan. Dari situ saya jadi tahu siapa market kita. Selama ini yang berkuasa distributor. Kita jadi bawahan mereka,” ungkap Fifi kepada Jawa Pos. Akhirnya, berbekal dua koper pakaian, Fifi ditemani putri sulungnya, Jessica, yang saat itu berusia sebelas tahun, berangkat ke AS pada Juli 2001. Dia tinggal di sebuah apartemen di Georgia. Kepergiannya tersebut penuh pengorbanan. Dia harus berpisah dengan suaminya yang tetap menunggui pabrik di Tangerang. ”Di pabrik memang ada manajer dan direksi, tapi bisnis furnitur tidak bisa ditinggalkan owner. Kalau ditinggal, perusahaan tidak bisa berjalan dengan baik,” terang istri Robert Manan itu. Di AS Fifi mulai menjalankan strategi bisnis dari nol. Meski tidak tahu peta bisnis di sana, Fifi yakin usahanya tidak sia-sia. Dia lalu menyewa kantor dan gudang di Atlanta. Juga membuat badan hukum di sana. ”Zaman itu sewa kantor dan gudang di sana cukup mahal. Tapi, setelah itu saya bisa memulai urus marketing di sana.” Dalam benak Fifi, AS merupakan pasar yang gemuk. Daya beli warganya juga tinggi. Namun sayang, baru dua bulan usahanya berjalan, terjadilah peristiwa 11 September 2001. Gedung kembar World Trade Center dan Pentagon diledakkan. Dampaknya, bisnis di Amerika ikut \"mati”. ”Bahkan sampai lima tahun masih terasa. Tapi, saya bertekad tidak akan berhenti. Saya harus tetap berbuat sesuatu di tahun pertama itu,” kenangnya. Fifi meyakini, separah apa pun situasi bisnis di AS, pemerintah tetap punya uang untuk menjalankan roda pemerintahan. Itu sebabnya, dia kemudian berkonsentrasi ke pasar pemerintah. Apalagi, dia tahu ada program US General Services Administration (GSA) Contract yang merupakan pintu masuk bagi pihak swasta untuk bisa memenuhi kebutuhan infrastruktur pemerintah. Termasuk untuk mengisi furnitur di kantor-kantor pemerintahan. Maka, langkah pertama yang ditempuh Fifi saat itu adalah mendapatkan kontrak GSA lebih dulu. ”Kalau sudah dapat kontrak GSA, semua permintaan yang dikeluarkan pemerintah kita bisa tahu. Itu sistemnya serba-online dan hanya bisa login jika kita sudah dapat kontrak GSA itu,” ucap ibu Jessica, 24; Ryan, 17; dan Hans, 17; tersebut. Sebagai tahap awal, Fifi mengajukan kontrak untuk Negara Bagian Georgia, Texas, dan beberapa negara bagian lainnya. Bukan hanya untuk kantor pemerintahan, namun juga untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur di bawah pemerintah, termasuk sekolah negeri dan universitas negeri. \"Kontraknya kita ajukan tahun 2004 dan akhirnya dapat,” ujarnya. Perputaran uang dari pemenuhan kebutuhan pemerintah negara bagian itu ternyata besar. Sampai akhirnya pada 2005 Fifi sanggup membeli rumah di sana dan meninggalkan kehidupan di apartemen. Sambil terus meningkatkan penetrasi di pasar AS, Fifi bekerja keras siang malam mengurus pasar yang sebelumnya dia tembus di kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. ”Jadi, kalau siang saya kerja untuk pasar AS, malamnya saya komunikasi untuk pasar di negara lain. Kan jamnya berbeda,” terusnya. Untuk memuluskan strateginya di pasar AS, Fifi berfokus pada satu produk terlebih dahulu, yaitu meja. Jenisnya meja kerja, meja belajar, dan meja formal untuk kantor. Lalu, bagaimana Fifi berhasil mencari informasi dan meraih kontrak GSA dari pemerintah AS? \"Saya banyak belajar. Di sana sistem dagangnya itu ada sales khusus yang memang bidangnya. Ada yang sudah nenek-nenek usianya lebih dari 50 tahun, spesialis sekali dan semua orang kenal dia. Orang ini juga punya perusahaan, punya kantor, dan yang kerja ke dia ada beberapa sales juga. Jadi, kita tidak bayar gaji, tapi bayar komisi ke dia apa yang dia jual saja,” terangnya. Nenek itu kemudian dianggap Fifi sebagai guru sehingga terus dijadikan sumber informasi dan konsultasi. ”Dia ikut membukakan jalan dan saya banyak belajar dari dia.” Dari banyak konsultasi itu pula, Fifi berani memutuskan hubungan dengan para konsultan yang sebelumnya disewanya pada tahap awal agar bisa menembus pasar pemerintah. Mayoritas perusahaan di sana memang menggunakan jasa konsultan untuk memuluskan bisnisnya. ”Istilah dalam kontrak itu banyak klausulnya. Itu tebal sekali. Setelah itu kita masukkan ke kantor pusat GSA di Washington DC,” jelasnya. Berbekal kontrak tersebut, akhirnya Fifi memberanikan diri untuk mengisi kebutuhan furnitur di pusat pemerintahan AS di Washington dan Pentagon. ”Prosesnya hampir setahun,” kata peraih gelar MBA dari University of Tulsa Oklahoma itu. Suatu hari Fifi sempat penasaran karena pengajuannya melalui kontrak GSA belum juga mendapat respons. Akhirnya dia melakukan lobi langsung dengan menemui salah seorang direktur GSA di sebuah pameran furnitur di AS. Fifi kemudian diminta menelepon jika sudah sampai di rumahnya di Georgia. Direktur GSA itu sudah membaca profil perusahaan dan produk pabrik Fifi. ”Hanya satu pertanyaan yang dia ajukan saat itu, apakah produk saya impor dari Indonesia?” ceritanya. Fifi membenarkan. Komponennya dia buat di Indonesia, tapi bahan pelapisnya dia datangkan dari AS. ”Komponen itu lalu saya bawa ke AS dan saya bilang ke dia, built in USA. Jadi, perakitannya tetap di AS. Akhirnya proposal saya disetujui,” kenang dia. Sejak saat itu Form Case banyak mengisi berbagai kebutuhan di Departemen Pertahanan AS Pentagon sampai Kantor Kepresidenan AS Gedung Putih. Selain itu, produk Fifi masuk di pangkalan-pangkalan militer di bawah Pentagon yang tersebar di berbagai negara. Di antaranya di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. ”Di bawah Pentagon itu kan banyak. Ada Marinirnya, ada angkatan udaranya, dan lainnya. Kita sih kirimnya ke AS. Mereka sendiri yang bawa ke pangkalan di negara lain,” paparnya. ”Kami satu-satunya dari Asia yang bisa masuk ke sana,” ujar Fifi bangga. Kontrak GSA setiap lima tahun diperpanjang. Form Case sudah mendapat perpanjangan pertama setelah berakhir pada 2010 dan tahun depan akan diperpanjang lagi. Perpanjangan kontrak berlaku otomatis sebagai cerminan birokrasi dan perizinan bisnis yang sederhana dan tidak njlimet di negara itu. ”Kontrak itu tidak akan diperpanjang jika perusahaannya bermasalah. Tapi, sejauh lancar dan baik-baik saja, otomatis diperpanjang,” kata Fifi yang tiga bulan sekali pulang ke Indonesia. Tidak terasa, Fifi sudah sepuluh tahun tetap menjadi WNI yang berdomisili di AS sehingga menjadi bagian dari diaspora Indonesia. Tinggal di AS bagi Fifi bukan hal baru karena selulus SMA dia kuliah di sana mengambil jurusan electrical engineering di Oklahoma State University. Lulus sebagai sarjana pada 1988, Fifi kemudian pulang ke Indonesia dan menikah dengan Robert Manan yang dikenalnya sejak SMP. Robert adalah generasi ketiga dari perusahaan furnitur keluarga yang dibangun kakeknya di Tangerang. ”Tapi, saat dipegang kakek sampai ayah mertua, sifatnya masih rumahan, home industry. Baru ketika suami saya yang pegang berbadan hukum. Tahun 1989 kami mendapat sertifikasi ISO. Boleh dibilang, itu yang pertama di Asia Tenggara,” papar dia. Sejak saat itu pihaknya bisa mengekspor produksi ke berbagai negara, seperti Filipina, Singapura, Australia, hingga Timur Tengah. ”Kuncinya, kami selalu mengikuti perkembangan. Rajin ikut pameran dan improvisasi,” tandas wakil ketua Indonesian Diaspora Business Council tersebut. (jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: