Ibu Mertuaku, Ujian Pernikahanku
Sebut saja namaku Mitha, bukan nama sebenarnya. Saat ini aku menjadi seorang istri dari seorang pedagang sukses di Kota Bengkulu. Awal pertemuan yang tidak terduga justru membuat kami jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Kita tidak tahu kapan dan dimana akan bertemu dengannya. Awal pernikahanku sangat bahagia, kulayani suamiku dengan sebaik mungkin. Namun entah mengapa setelah sebulan menikah aku jadi merasa tidak nyaman. Bukan karena suamiku kasar atau menyakitiku. Justru ketidaknyamananku muncul ketika ibu suamiku atau lebih tepatnya ibu mertuaku selalu mendatangi rumah kami. Kebetulan kami berasal dari satu kota. Sebelum menikah, aku dan suamiku sudah sepakat bahwa kami akan hidup mandiri. Kami tidak ingin bergantung dengan orang tua. Oleh karena itu kami sepakat untuk membeli sebuah rumah sebelum resmi menikah. Kesepakatan kami pun disambut baik oleh kedua orang tua. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli rumah yang tidak jauh dari rumah orang tuaku ataupun rumah orang tua suamiku. Ketidaknyamananku bermula ketika ibu mertuaku kerap datang membawakan makanan. Awalnya kami senang karena ibu sangat peduli dengan kami. Namun, ketika ibu selalu menanyakan apakah aku melayani suamiku dengan baik atau tidak, membuatku resah. Aku seolah-olah tidak becus melayani suamiku, hingga mertuaku pun setiap hari harus datang sambil membawa makanan, pakaian, hingga kebutuhan suamiku lainnya. Aku sadar kalau suamiku adalah anak tunggal. Aku pun pernah mengeluhkan keresahaan ini pada suamiku. Namun suamiku hanya mengatakan bahwa mungkin ini hanya perasaanku saja. Ya, mungkin inilah resikoku menikahi anak tunggal. Namun bagaimanapun aku juga menginginkan privasi dengan suamiku. Setelah ku curahkan perasaanku pada suamiku, aku pun mencoba memahami ibu mertuaku itu. Namun, ibu mertuaku justru semakin ikut campur dengan kehidupan ku dengan suamiku. Terkadang masalah sepele pun bisa menjadi besar karena keterlibatan ibu mertuaku. Perasaanku semakin kacau. Pada titik ini aku sungguh kesal. Separah itukah aku melayani dan menghadapi suamiku hingga mertuaku selalu ikut campur? Rasanya ingin aku berteriak dan lari dari rumahku sendiri. Pada akhirnya, suatu kejadian menimpa. Saat itu adalah hari perayaan setahun kami menikah. Jauh-jauh hari aku sudah merancang kejutan dan perayaan untukku dan suamiku tercinta. Aku berharap satu hari itu saja bisa kuhabiskan dengan suamiku tanpa ada satu orangpun yang mengganggu. Untuk menyukseskan rencanaku tadi, aku sengaja sudah memesan satu kamar hotel yang jauh dari rumah. Aku pun sudah berpesan kepada karyawan hotel untuk membantu mempersiapkan makan malam yang romantis di dalam kamar. Aku pun segera menelpon suami tercintaku. Aku berpesan bahwa dia harus datang ke alamat hotel yang sudah aku berikan tepat pukul 5 sore. Pukul 3 sore aku sudah tiba lebih dulu di hotel untuk memastikan bahwa segala persiapan sudah beres. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 5, hatiku pun semakin berdebar. Aku ingin segera memeluk suamiku saat dia membuka kamar hotel. Namun justru apa yang aku terima, sebuah pesan singkat yang menyatakan bahwa suamiku tak bisa datang karena sudah dijemput ibu mertuaku. Ternyata ibu mertuaku sudah membuat perayaan besar-besaran di rumahnya.Ya Tuhan, hatiku seperti tertusuk-tusuk duri tajam. Aku pun menangis sejadi-jadinya. Suamiku lebih memilih pergi dengan ibunya dan membiarkan istrinya menunggu. Ingin rasanya aku mati saat itu. Namun aku berpikir bahwa mungkin ini adalah ujian bagiku. Ujian untuk menjadi istri yang berbakti pada suami. Menjadi istri yang tidak pernah mengeluh. Bagaimanapun ibunya adalah ibuku juga. Namun aku harap ibu mertuaku suatu saat mengerti bahwa kami bukanlah anak kecil lagi. Kami adalah dua orang yang sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri dalam hidup. (**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: