DPRD Provinsi Kritik Uang Kuliah Tunggal
Bebani Mahasiswa BENGKULU, BE - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bengkulu Provinsi Bengkulu mulai menyoroti rencana diberlakukannya UKT (Uang Kuliah Tunggal) di Provinsi Bengkulu, yang saat ini sudah menjadi perbincangan hangat di tingkat nasional. Sebab dinilai akan memberatkan bagi masyarakat. Seperti dikatakan, anggota komisi II DPRD Provinsi Bengkulu Siswadi, SP Senin (7/10) kemarin. Menurutnya, anggaran untuk pendidikan dari APBN sebanyak 20 persen sudah sangat besar untuk dunia pendidikan, karena dengan anggaran yang baru tersebut sudah semestinya biaya pendidikan tidak mahal dan tidak membuat masyarakat tercekik. \"Oleh karena itulah kami sangat tidak setuju diberlakukannya UKT, padahal seharusnya dengan kita sudah mengganggarkan biaya pendidikan itu 20 persen dari biaya APBN,” katanya. Lebih lanjut dia mengatakan, jika dari 20 persen anggaran tersebut tidak maksimal digunakan, lebih baik dialihkan ke sektor lain namun tetap bisa mensejahterakan masyarakat. “Kalau seperti ini jadinya, wajar masyarakat tidak setuju. Kalau begitu anggaran itu diberikan saja untuk meningkatkan sektor lain,\" katanya. Dia mengatakan, sistem UKT yang membebankan dalam APBN cukup tinggi, biaya pendidikan itu juga turun ke APBD sebaiknya kalau memang pendidikan itu masih mahal, lebih baik dialokasikan ke petani atau masyarakat. Sangat disesalkan, tahun ajaran 2013/2014, pemerintah telah menerapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Dalam aturan UKT, diatur tentang penghitungan seluruh biaya operasional perguruan tinggi oleh perguruan tinggi, yang pada akhirnya biaya operasional perguruan tinggi tersebut akan ditanggung oleh peserta didik. Aturan tersebut dinilai secara tersirat menegaskan jika negara telah melepaskan tanggung jawab terhadap pembiayaan institusi pendidikan tinggi. Selain itu, dari pantauan di lapangan, banyak pihak yang menilai dari penyediaan quota bagi calon mahasiswa dari golongan keluarga sangat miskin dan keluarga miskin (level 1 dan level 2) yang hanya disediakan sebesar 5% dianggap sebagai bentuk kastanisasi peserta didik di perguruan tinggi dan pembatasan akses bagi peserta didik dari kalangan tidak mampu. Selain itu, tidak adanya ketentuan baku bagi calon mahasiswa, dalam peraturan tersebut tentang golongan asal mahasiswa, baik dari golongan menengah hingga golongan elit. Sementara, Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) No. 72/E1.1/KU/2013 hanya menyebutkan besaran UKT yang dibayarkan oleh mereka tergantung pada pendapatan orang tua mereka sehingga para mahasiswa baru melihat hal tersebut sebagai tidak adanya kepastian jelas mengenai besaran uang yang akan dibayarkan oleh peserta didik dan dengan ketidakjelasan besaran UKT yang dibayarkan ini telah membuka peluang bagi tindakan komersialisasi bahkan korupsi di institusi perguruan tinggi, khususnya PTN. Untuk diketahui, penerapan UKT berdasarkan Permendikbud No. 55 Tahun 2013 tentang UKT yang dilahirkan pada tanggal 23 Mei 2013, menerangkan bahwa berdasarkan amat Pasal 88 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berwenang menyusun peraturan mengenai biaya yang ditanggung mahasiswa selama menjalani masa pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN). (100)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: