Perempuan, Anak, dan Dampak Perubahan Iklim
Perempuan, Anak, dan Dampak Perubahan Iklim-(ist)-
Ketua Pelaksana Harian Pita Putih Indonesia, dr. Heru Kasidi MSc, mengatakan perubahan iklim di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian sampai 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2050.
Kerugian karena penyakit DBD dan malaria saja diperkirakan akan bernilai Rp45 trilliun. Selain itu, dampaknya pada kerusakan lingkungan berpotensi menyebabkan kehancuran yang permanen.
"Ini perlu menjadi perhatian bersama karena perubahan iklim seperti suhu udara memiliki dampak besar, misalnya, kelahiran prematur yang meningkat 6--16 persen di kawasan Amerika Utara, Eropa, Australia, Selandia Baru, Sub Sahara, dan China," jelas Heru lagi.
Dampak perubahan iklim juga sudah dirasakan di Indonesia. Studi yang dilakukan para ilmuwan menunjukkan bahwa terlambatnya musim hujan berhubungan dengan tinggi badan anak usia 2 hingga 4 tahun di Pulau Jawa.
Begitu juga penelitian yang dilakukan Jayachandran S pada 2009, yang menganalisis dampak kebakaran hutan pada 1997 dan data sensus penduduk pada 2000, menunjukkan bahwa setidaknya 15.600 anak yang meninggal. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kebakaran hutan pada 1997 juga berkaitan dengan tinggi badan anak pada saat masa dewasa. Hal itu dikarenakan semasa dalam kandungan, anak terpapar oleh polusi akibat kebakaran hutan.
Agenda bersama
Perubahan iklim juga meningkatkan kasus sejumlah penyakit yang seharusnya sudah terkendali seperti TBC dan kusta. Kondisi itu diakibatkan meningkatnya kelembaban.
Hasil pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2023, suhu udara rata-rata 27,2 derajat celcius atau mengalami anomali 0,5 derajat celcius dibandingkan periode 1991--2020.
Ketua Umum Pita Putih Indonesia Dr Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan perempuan dan anak paling rentan terdampak perubahan iklim. Data UNICEF menyebutkan Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
"Kalau pelayanan kesehatan dapat kita kendalikan, namun perubahan iklim yang berdampak pada kesehatan ibu dan anak belum dapat kita kendalikan," kata Giwo.
Oleh karenanya perlu upaya bersama untuk menyuarakan dampak perubahan iklim tersebut pada perempuan dan anak. Melalui pemahaman yang baik, diharapkan dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Sejarah mencatat bahwa dalam berbagai krisis di dunia, termasuk bencana alam dan peperangan, perempuan dan anak menanggung dampak terbesar. Padahal, di pundak anak dan perempuan inilah masa depan bangsa dipertaruhkan.
Oleh karena itu, Pemerintah perlu memiliki rancangan utama yang jelas dan terencana dalam melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan.
Sebuah rencana aksi yang sistematis dan terintegrasi penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan dan respons terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan secara efektif. Dengan demikian, masyarakat, khususnya perempuan dan anak, dapat lebih siap dalam menghadapi risiko-risiko kesehatan yang akan makin meningkat, serta memastikan perlindungan yang optimal bagi generasi mendatang.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: