Ichwan Yunus Mencari Cinta (3)
Empat setengah bulan setelah Soekarno Hatta memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia, tepatnya pada tanggal 31 Desember 1945, di pelosok nusantara yang terisolir, jauh dari hingar-bingar teriakan histeris “merdeka atau mati’, di desa Mukomuko lahirlah bayi mungil dari rahim seorang ibu bernama Badawiyah, sebagai buah cintanya dengan Syahidan. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Rosna oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua Rosna, Syahidan dan Badawiyah, sama-sama berasal dari Mukomuko, hidup sederhana dan berasal dari keturunan rakyat biasa. Tidak ada silsilah yang menghubungkan keduanya dengan keturunan darah biru Kesultanan Mukomuko. Syahidan adalah seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai seorang petani, penuh tanggung jawab dan perhatian kepada isteridan anak-anaknya. Sedangkan Badawiyah, kendati pun ia sebagai ibu rumah tangga, tetapi ia juga gigih berjuang untuk menopang ekonomi rumah tangganya dengan berdagang di rumah dan berkeliling dari pasar kepasar. Dua sumber mata pencarian yang saling menopang tersebut membuat keluarga ini berkecukupan dan dari segi ekonomi tergolong keluarga kelas menengah di kampung halamannya. Keadaan ekonomi keluarga yang tergolong mapan ini tidak membuat suami isteri ini terlena dan mengabaikan pendidikan anak-anaknya, tetapi justru dipergunakan sebaik-baiknya untuk mendorong dan memotivasi anak-anaknya untuk sekolah. Kerja keras Syahidan dan isterinya yang diikuti oleh kemauan kuat dari anak-anaknya, tidak sia-sia. Lima dari enam anaknya berhasil melewati pendidikan setingkat SLTA, dan bekerja sesuai dengan keahliannya. Ada yang berprofesi sebagai guru, ada yang tentara dan sebagainya. Setelah kelima anaknya bekerja dan ada yang sudah berkeluarga, mereka semuanya meninggalkan rumah dan desanya, tidak seorang pun ada yang tinggal di desa Mukomuko, kecuali si bungsu Rosna yang masih gadis kecil. Seiring dengan semakin lanjutnya usia, kedua orang tua Rosna sudah mulai merasa kesepian karena ditinggalkan anak-anaknya, mulai pula timbul kekhawatiran pada akhir hayatnya nanti tidak dirawat dan disaksikan oleh anak-anaknya. Satu-satunya harapan mereka adalah Rosna yang kini masih di sisi mereka. Oleh karena itu jauh-jauh hari -ketika itu Rosna masih duduk di kelas V SD- Syahidan melarang Rosna untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi, karena khawatirakan meninggalkannya pula. Masih hangat dalam ingatan Rosna, pada suatu hari ayahnya berkata yang diperkuat oleh ibunya: \"Rosna...seperti kau ketahui bahwa kakak-kakak kamu semuanya telah pergi meninggalkan rumah. Mereka sudah disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Satu-satunya harapan kami untuk dapat selalu bersama-sama kami adalah kamu. Oleh karena itu ayah minta kepada kamu untuk berhenti sekolah, kalau kamu melanjutkan sekolah dan akhirnya meninggalkan rumah seperti kakak-kakak kamu, siapa lagi yang menemani dan merawat kami. Terutama ketika kami sakit. Kamu tidak perlu khawatir tentang masa depan kamu, karena rumah dan segala isinya ini sudah diperuntukkan buat kamu...” Pada waktu itu Rosna masih sangat lugu, dan mengiyakan saja apa kata ayah dan ibunya. Tidak lama setelah ltu ayahnya meninggal dunia, tinggal ia dan ibunya saja menempati rumah yang cukup besar itu. Setelah menamatkan Sekolah Dasarnya, Rosna mulai gelisah, ingin sekali ia melanjutkan sekolahnya sebagaimana teman-temannya, akan tetapi selalu saja ia teringat dengan pesan terakhir ayahnya. Sesekali ia dapat mengerti dan merasakan kebenaran di balik larangan sekolah oleh orang tuanya.(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: