Ichwan Yunus Jadi PNS Departemen Keuangan (2)
Kuliah vs Ayah Sakit Begitulah selama kurang lebih dua minggu Ayahnya di Rumah Sakit, walaupun terasa sangat berat, Ichwan masih mampu menjalankan tugas ganda tersebut, belajar dan merawat orang tua. Tidak ada orang lain (saudara atau sanak famili) yang bisa dimintai bantuannya. Di Bandung hanya ada dia dan Ayahnya saja. Akan tetapi setelah diketahui hasil diagnosa dokter yang menyatakan Ayahnya menderita penyakit kanker, dan harus menjalani operasi, sedangkan ujian akhir Akademinya tinggal beberapa bulan lagi. Ichwan betul--betul dihadapkan pada persoalan yang sangat berat, bahkan mungkin paling berat sepanjang sejarah hidupnya. Jika dua minggu yang lalu ia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, dan walaupun terasa berat ia masih mampu menjalankan kedua-duanya. Maka sekarang ia betul-betul harus memilih antara cinta dan tugas. Tidak memungkinkan lagi baginya meraih kedua-duanya. Sulit diungkap dengan kata-kata betapa perih dan hancurnya hati dan perasaan Ichwan ketika ia menyaksikan ayahnya yang tidak berdaya karena penyakit yang dideritanya. Pada waktu yang sama hatinya juga menjerit keras membayangkan betapa pahitnya merasakan kegagalan tinggal kelas di SMEP delapan tahun yang lalu, terbayang pula olehnya ketika itu ia pernah bersumpah tidak boleh gagal lagi. Pada akhirnya Ichwan harus berbicara terus terang kepada Ayahnya tentang persoalan yang ia hadapi saat ini. Ichwan berusaha meyakinkan Ayahnya bahwa tidak sedikit pun terbersit dalam hatinya untuk menyia-nyiakan Ayahnya. Justru sebaliknya sebagai anak ia ingin sekali berbuat yang terbaik kepada Ayahnya. Apalagi sekarang Ayah dalam keadaan sakit, ingin sekali ia menjaga dan merawat Ayahnya sampai sembuh. Namun ia juga mempunyai kewajiban untuk segera menyelesaikan studinya. Setelah mendengarkan secara seksama curahan hati putranya, Ayah Ichwan bisa memaklumi persoalan yang dihadapinya. Oleh karena itu, ia menerima saja apa yang disarankan oleh Ichwan untuk menjalani operasi di Palembang saja. Yang menjadi pertimbangan Ichwan adalah karena di Palembang relatif dekat dengan Bengkulu, disamping ada adiknya, juga sangat dekat dengan bibi dan pamannya di Prabumulih. Sambil berusaha menahan perasaan sedihnya, Ichwan mulai mengemasi barang Ayahnya, termasuk hasil-hasil pemeriksaan dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk persiapan operasi di Palembang kelak. Setelah semuanya selesai, berangkatlah Ayah dan anak ini ke Stasiun Kereta Api Bandung jurusan Merak. Keadaan semakin mencekam, hati Ayah dan anak ini semakin hancur berkeping-keping, perih, sedih dan penuh haru pada saat-saat melepas kepergian Ayahnya di Stasiun ini. Banyak hal yang ingin disampaikan, tapi bibir keduanya seakan kaku tak mampu untuk berucap. Detik-detik ke berangkatan Ayah tercinta telah tiba, saat itulah Ayah Ichwan menangis sambil berucap dalam bahasa Muko- muko yang artinya kurang lebih: \"Baiklah nak, Ayah akan pulang dan operasi di Palembang saja, tapi yang terpenting Ayah sudah Iega dan sangat senang karena sudah bertemu dengan mu. Kalau pun akhirya Ayah méninggal, tidak masaIah....’’ hati Ichwan bergetar kuat mendengar ucapan singkat penuh makna yang keluar dari bibirAyahnya. Ucapan itu tidak mungkin dilupakan sepanjang hidup Ichwan, sampai saat ini pun masih terngiang-ngiang di telinganya. Sambil menangis Ichwan mencium tangan Ayahnya dan berangkatlah kereta penuh sejarah itu, selamat tinggal nak, selamat jalan Ayah. Sepanjang perjalanan pulang dari stasiun dan sampai di kamar kosnya, Ichwan selalu membayangkan Ayahnya pulang dalam keadaan sakit parah, sendiri tanpa ada yang menemani. Bagaimana seandainya terjadi apa-apa dalam perjalanan, terbayang oleh Ichwan bagaimana Ayahnya berucap sambil menangis. Sulit baginya melupakan itu semua. Belum lagi perasaan bersalah karena tidak bisa berbuat banyak untuk menolong Ayahnya. Dalam lamunannya itu Ichwan berdoa. “ Ya Allah...sebagai anak, saya ingin sekali berbuat yang terbaik untuk orang tua. Terlebih lagi terhadap Ayah saya yang lagi sakit, ingin sekali saya menjaga dan merawatnya. Tapi Engkau Maha Tahu ya Allah, di sisi lain saya juga mengemban tugas dan tanggung jawab untuk mempersiapkan ujian akhir yang tidak boleh gagal. Ya Allah berilah keselamatan dan kesehatan kepada Ayah saya, kuatkanlah hati saya ya Allah...? Hampir saja emosional mengalahkan rasionalnya, untungnya Ichwan segera sadar bahwa ia tidak boleh larut dalam perasaan emosionalnya. Bagaimana pun ia harus tetap tegar, karena di pundaknya terpikul beban tugas dan tanggung jawab yang sangat berat. Kuliah di Akademi sekarang ini jauh berbeda dengan ketika ia sekolah di SMEP, SMEA dan kursus dulu. Di samping materi dan sistem pembelajaran jauh lebih berat dan sulit, keberadaannya di Akademi ini karena mendapatkan kepercayaan tugas belajar dari pemerintah. melalaikan tugas dan kewajiban berarti menghilangkan kepercayaan. Hari demi hari perlahan perasaan bersalah dan bayangan Ayahnya mulai terlupakan, dan Ichwan kembali konsentrasi pada studinya.(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: