Serukan Penolakan RUU Kesehatan, Jaringan Pengendalian Tembakau Minta Pengesahan di DPR Ditunda

Serukan Penolakan RUU Kesehatan, Jaringan Pengendalian Tembakau Minta Pengesahan di DPR Ditunda

Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau yang turut menolak RUU Kesehatan terkait pengendalian tembakau-(foto: istimewa/bengkuluekspress.disway.id)-

"Tak cukup dibela, tak cukup diperjuangkan. RUU yang harusnya menjadi rumah besar bidang kesehatan justru tak mencerminkan pemihakan pada kepentingan kesehatan. Manakala seorang Menkes memunggungi aspirasi-aspirasi kesehatan, sejatinya ia telah kehilangan legitimasi moral sebagai Menteri Kesehatan. Bila masih mau tetap menjadi menteri, saran saya baiknya Pak BGS sekalian saja mengubah nomenklaturnya jadi ‘Menteri (Industri) Kesehatan," ujarnya 

Jaringan masyarakat sipil untuk pengendalian tembakau juga melihat, proses pembahasan dan penyusunan rancangan UU ini cacat karena prosesnya tergesa-gesa, tidak ada transparansi kepada publik dan akuntabilitasnya dipertanyakan.

Sehingga, hasil penyusunan dan pembahasan RUU ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk di dalamnya substansi terkait perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau.

“Pembahasan RUU omnibus kesehatan tertutup dan tergesa-gesa, terlihat dari website Kemenkes, update DIM sangat minim dan public hearing yang telah dilakukan seakan hanya dekoratif saja. Tidak ada jaminan partisipasi kaum muda dapat terakomodasi dengan baik,” ungkap Ni Made Shellasih, Project Manager IYCTC.

Pengendalian tembakau yang menyebabkan berbagai penyakit tidak akan dicapai jika tidak mengutamakan pendekatan preventif. Perbaikan-perbaikan perlu dilakukan dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak, termasuk larangan iklan, promosi, dan sponsor. 

Urgensi aturan ini seharusnya dimasukkan ke dalam RUU kesehatan itu sendiri, bukan di aturan turunan, untuk menjaga keterbukaan, melibatkan publik, dan memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan. Jika aturan ini terlalu teknis dan terlempar ke peraturan yang lebih rendah, risiko pengendalian tembakau yang tidak terkendali semakin meningkat, dengan peningkatan iklan yang liar dan kurangnya pengawasan publik. Masukan dari Jaringan pengendalian tembakau dalam DIM RUU Kesehatan tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah dan DPR, menunjukkan sikap cuek mereka terhadap perhatian masyarakat terhadap dampak negatif tembakau.

Julius Ibrani, Ketua PBHI juga mengatakan bahwa RUU Kesehatan menggambarkan malicious legislation yang merupakan proses pembentukan kebijakan dengan upaya jahat, penuh tipu daya dan merugikan masyarakat.

Menurutnya, RUU Kesehatan tidak menjalani tahapan perencanaan, penyusunan yang kayak, karena tidak terbuka, tidak partisipatif dan tidak ada rumusan identifikasi permasalahan kebijakan sektoral yang ada serta kebutuhan pemenuhan kesehatan yang belum diatur kebijakan yang ada, yang seharusnya jadi pijakan omnibus law. 

Terlebih, tidak diketahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam tahapan awal perencanaan dan penyusunan, lalu tiba-tiba lompat ke pembahasan dengan draf pasal per pasal yang sudah ada.

Dengan demikian, menurut Julius, RUU Kesehatan yang tidak mengakomodasi kebutuhan hak atas kesehatan publik termasuk pengendalian tembakau yang ketat seperti larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Padahal mandat dari Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya (UU No. 11 Tahun 2005), lewat Komentar Umum No. 14 Paragraf 15 standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dijangkau. 

RUU Kesehatan wajib ditolak, dan diproses ulang dengan partisipasi publik bermakna dan mengakomodasi kepentingan publik untuk hak atas kesehatan. Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, menegaskan, “Kami mendesak pemerintah tidak memaksakan untuk mengesahkan undang-undang dengan jadwal tertentu, undangkan jika rakyat telah mendapat perlindungan yang jelas, utamanya terkait zat adiktif. Kita minta agar Pemerintah dan DPR membuat aturan yang melindungi rakyat banyak bukan industri rokok ataupun yang terkait dengan industri rokok," tutur Hasbullah.

Untuk itu, Komnas Pengendalian Tembakau dan Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) bersama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau lainnya merasa perlu menghimpun suara untuk menyampaikan penolakan tersebut, yang ditujukan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dan DPR agar pembahasan dihentikan sampai proses penyusunan benar-benar mengakomodasi permintaan masyarakat, dan bukan semata-mata hanya untuk kepentingan Pemerintah dan DPR.(tri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: