'Takut Kejatuhan Bom' Inilah Kisah Para WNI yang Selamat dari Konflik Sudan

'Takut Kejatuhan Bom' Inilah Kisah Para WNI yang Selamat dari Konflik Sudan

Sebagain WNI yang berada Sudan berhasil dievakuasi mangaku masih trauma dengan konflik disana--Istimewa

”Pedagangnya lagi bungkusin, saya lagi mau ngasih uang. Jadi kami tiarap dalam keadaan ketawa. Karena masih hidup! Mungkin karena sudah kena mental ya,” katanya sambil tertawa.

Seminggu Pisah Sama Anak, Saya Menangis

Nur Alipah merupakan seorang pekerja migran yang sudah bekerja dan tinggal di ibu kota Khartoum, Sudan, selama delapan tahun. Di sana ia bertemu dengan suaminya dan melahirkan anak perempuan yang kini sudah berusia lima tahun.

Ia dan keluarganya berencana pulang Mei 2023, namun ternyata mereka harus pulang lebih cepat karena konflik senjata yang berlarut-larut. ”Sabtu (15/4) pagi itu ada suara-suara, saya pikir petasan. Saya pikir begitu karena demo, demo di sana sudah biasa. Tahu-tahunya ada suara bom. Dan pesawat itu dari rumah majikan saya dekat banget. Ya Allah, takutnya minta ampun,” ungkap Nur Alipah.

BACA JUGA:14 Mahasiswa Bengkulu Terjebak Perang di Sudan, Berikut Daftar Namanya

Ketakutannya yang terbesar adalah jika peluru-peluru yang melayang di luar rumah majikannya itu suatu saat salah sasaran. “Setiap hari, tiap detik [dengar tembakan]. Kalau ada bom takutnya minta ampun. Takutnya nyasar, peluru kebanyakan nyasar. Rumah-rumah pada kena,” katanya.

Bos pabrik tempat suaminya bekerja, menawarkan lokasi mengungsi bagi beberapa karyawan dan keluarga mereka. Nur Alipah dan suaminya sempat tinggal di sana, sementara anak mereka dititipkan kepada pengasuh yang membawanya ke luar Khartoum, ke kota Atbara.

Selama ia hidup di Sudan, ia tidak menyangka harus berpisah dengan anaknya akibat perang yang berlangsung di negara tersebut. “Seminggu pisah sama anak. Di rumah saya menangis, bagaimana caranya jemput anak? Dari sini dengar bom sama tembakan. Tapi di sana dia aman di Atbara, malah di Khartoum saya terperangkap,” kata Nur Alipah sembari menatap anaknya yang tengah bermain di perosotan di Jakarta, tempat mereka mengungsi sementara.

Setelah delapan hari terpisah, akhirnya Nur Alipah dan suaminya diberi kesempatan untuk evakuasi bersama dengan ratusan WNI lainnya. Sedemikian gentingnya situasi saat itu, mereka hanya sanggup membawa baju yang melekat di kulit mereka dan badan mereka sendiri. ”Makanya kita buru-buru evakuasi, biar selamat. Yang penting kami selamat dulu, kalau masalah barang ditinggal semua. Cuma baju ini, tiga biji sama badan,” kata Nur Alipah.

Sebelum pergi ke titik berkumpul di pusat kota, tempat yang ditetapkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Khartoum untuk memulai proses evakuasi, Nur Alipah dan suaminya menjemput anak mereka di Atbara sebelum meninggalkan Sudan. ” Walaupun pengasuhnya baik sekali, dia tidak bisa tidur tanpa saya. Jadi alhamdullilah di jalan keluar ambil anak. Dijemput di jalan. ”Saya pegang dan pangku dia sepanjang perjalanan.” (**)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: