Masa Kecil Ichwan Yunus Di Kampung Halaman (Bagian 3)
Percaya diri dan Pandai Bergaul Menurut cerita dari ibu, bapak, nenek, paman dan bibi Ichwan yang berusaha diingatnya, bahwa walaupun ia bertubuh kecil (karena prematur) bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya, tapi perkembangan fisik/motorik, daya pikir dan daya cipta Ichwan tcrmasuk cepat. Fisiknya yang mungil, lincah dan lucu membuat senang setiap orang yang melihatnya, ingin menggendong dan bermain dengannya. Keberanian Ichwan juga sudah terlihat sejak kecilnya. Ia tidak pernah menunjukkan rasa takut kepada siapa saja yang menghampirinya, dan tidak pernah menolak siapa saja yang ingin menggendong dan mengajaknya bermain, walaupun orang tersebut belum dikenalnya.Terhadap kawan-kawan sepermainannya, Ichwan lebih sering mengalah, tidak suka bertengkar dan tidak segan-segan memberikan mainan yang ia miliki jika diminta oleh kawan-kawannya. Bibit-bibit sifat percaya diri pada Ichwan kecil tidak hanya terlihat dari penampilannya, tapi juga tumbuh subur pada watak dan sikapnya. Watak dan sikap Ichwan yang ketika itu belum disadarinya sebagai bibit-bibit sifat dan karakter percaya diri, adalah watak dan sikap kerasnya yang sangat percaya dengan kemampuannya dalam berkarya, dan sekaligus tidak gampang tergoda dengan karya orang lain yang kelihatannya lebih bagus. Setiap musim layangan tiba, anak-anak seusia Ichwan dan para remaja di atas usianya berlomba-lomba membuat layangan, atau banyak juga yang minta dibuatkan ke pada orang lain yang lebih pandai. Ichwan selalu membuat sendiri layangan sesuai dengan kemampuan daya ciptanya. Walaupun hasil karyanya kelihatan tidak sebagus layangan teman-temannya, dan kadang kala Ichwan merasa kesulitan untuk menaikkan layangannya karena persoalan keseimbangan, tapi ia tidak pernah merasa minder dengan kawan-kawannya, bahkan sebaliknya, ia sangat bangga dengan karyanya sendiri. Jika ia mendapatkan kesulitan untuk menaikkan layangannya, Ichwan sekuat tenaga mencari di mana kelemahannya, yang biasanya terletak pada ketidakseimbangan berat antara sisi kiri dan sisi kanan layangan. Untuk mengatasi kelemahan ini kalau yang sifatnya darurat di lapangan, maka Ichwan akan menambahkan pemberat (singit, dalam bahasa Mukomuko). Apakah itu dari kertas atau bahkan mungkin dari jenis rerumputan, pada sisi yang lebih ringan dari layangannya, sehingga berat sisi kiri dan kanannya menjadi seimbang. Hasilnya layangan akan melesat naik sampai pada ketinggian yang tidak kalah dengan layangan teman-temannya yang lain. Di saat padi di sawah mulai menguning, biasanya musim burung pun tiba, anak-anak seusia Ichwan dan usia remaja di atasnya mulai sibuk menangkap burung dengan menggunakan getah (lem). Ichwan, seperti teman-temannya yang lain selalu membuat sendiri getah tersebut. Kualitas (daya rekat) getah ini sangat ditentukan oleh cara memasak dan ukuran (volume) ramuan/racikannya. Getah buatan Ichwan kadang kala kualitas-nya tidak sebagus getah punya temannya, kadang-kadang terlalu cair, sehingga daya rekatnya kurang. Hasil tangkapannya otomatis akan jauh lebih sedikit dibandingkan kawannya yang menggunakan getah yang daya rekatnya lebih baik. Namun demikian Ichwan tidak penah tertarik untuk meminta dan menggunakan lem kawannya, ia lebih percaya diri menggunakan getah buatannya sendiri, walaupun resikonya ia akan menemukan banyak kegagalan, karena burung yang sudah hinggap di getahnya akan terbang kembali. Tapi itulah Ichwan, anak kecil ini akan berusaha membuat getah yang lebih bagus lagi, sampai memperoleh hasil yang maksimal, tanpa ada ketergantungan dengan orang lain. Di samping bibit-bibit percaya diri yang begitu tinggi, Ichwan kecil juga seorang anak yang pandai bergaul dan disenangi oleh kawan-kawannya. Memiliki postur tubuh yang paling kecil dan pendek dibanding dengan teman-teman sebayanya, tidak membuat Ichwan merasa minder dan sulit bergaul. Tapi sebaliknya dengan penampilan dan pembawaannya yang lincah, ramah, periang dan kocak, tapi penuh perhatian, menjadikan Ichwan sangat disukai kawan-kawan sekolahnya termasuk teman—teman wanitanya. Pengakuan Ichwan ini diperkuat oIeh keterangan Kasimah, kawan sekelas Ichwan di SR sebagai bcrikut: Kawan—kawan kami yang seumur dan satu angkatan sekolah SR cukup banyak, tapi yang paling kecil Ichwan. Sungguhpun dia paling kecil, tapi pintar, cerdik, lincah dan Iucu. Ia penuh perhatian suka menolong teman-teman. Ia juga suka bercanda dan tidak gampang emosi. Seingat saya, Ichwan tidak pernah bertengkar atau berkelahi dengan teman-temannya .... pokoknya sangat menyenangkan berteman dengan Ichwan. Karena pembawaannya seperti itu, maka kami semua akrab dengannya. Ichwan selalu berbaik sangka dengan kawan-kawan yang sering menggodanya, walaupun mungkin godaan itu sudah mengarah pada ejekan terhadap fisiknya. Ichwan menganggapnya tidak lebih dari bercanda, bukan sengaja mengganggunya. “... paIing-paIing kalau sudah keterlaluan orang menggodanya, Ichwan akan menangis... namun demikian, Ichwan tidak pendendam, dengan cepat ia akan baikan lagi dengan orang yang menggodanyai Ianjut Kasimah. Anak Yang Rajin dan Penuh Tanggung jawab Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia di mana saja berada, biasanya selalu akrab dengan empat macam hewan ternak, yakni sapi dengan segala jenisnya, kerbau dengan segala jenisnya, kambing dengan segala jenisnya dan ayam dengan segala jenisnya. Keempat macam binatang ternak tersebut selalu ada pada setiap komunitas masyarakat Indonesia di desa maupun perkotaan turun temurun dari nenek moyang dahulu sampai saat ini. Khusus di pedesaan, dapat dipastikan setiap keluarga memiliki empat macam binatang ternak tersebut, seluruhnya atau sebagian, dengan jumlah beragam. Ada sebuah keluarga yang memiliki ayam ratusan ekor, ada juga yang hanya memiliki dua atau tiga ekor. Ada sebuah keluarga yang memiliki puluhan ekor kerbau, tapi ada juga yang memiliki satu atau dua ekor saja. Begitu pula dengan dua jenis hewan ternak Iainnya, sapi dan kambing. Alasan klasik dan cukup masuk akal adalah Pertama, karena keempat jenis binatang ternak tersebut relatif mudah dipelihara, tidak memerlukan perawatan khusus. Kerbau atau sapi misalnya dahulu -atau bahkan mungkin di daerah-daerah tertentu masih berIaku- tidak diperlukan kandang untuk mengurungnya dan tidak diperlukan tali untuk menambangnya. Binatang ternak ini lepas dan berkembang biak secara alami di alam bebas. Hewan ternak ini ditangkap hanya manakala ingin dijual atau di konsumsi sendiri, atau bagi induk hewan yang baru saja melahirkan, maka induknya ditambang sementara untuk memudahkan memberi tanda khusus bagi anaknya guna membedakan kepemilikan, lalu dilepas kembali. Ada juga satu atau dua ekor yang dipelihara atau dirawat karena dimanfaatkan untuk menarik beban atau membajak sawah. Lain halnya dengan kambing dan ayam, kendati pun ia hidup di alam bebas, tidak dikurung atau pun ditambang- kedua jenis binatang ternak ini biasanya kembali ke pemiliknya disaat malam hari, maka pemiliknya menyediakan kandang/kurungan. Setiap sore biasanya pemilik binatang ternak ini mengecek apa sudah pulang kandang atau belum, kalau ada yang belum pulang kandang, maka pemiliknya akan mcncari di mana keberadaannya dan digiring pulang ke kandang. Ada perbedaan perlakuan terhadap kedua jenis hewan ternak ini. Kalau kambing biasanya (tapi banyak pula yang tidak melakukannya), pemiliknya membuatkan perapian di kandangnya untuk mengurangi gangguan nyamuk dan mendatangkan kehangatan, dengan demikian si kambing akan lebih nyaman beristirahat, dan dampaknya sore besoknya kambing-kambing ini akan pulang lagi ke kandang dengan sendirinya, tanpa digiring. Pada pagi hari, pemilik hanya membukakan kandangnya, dan kawanan kambing lantas berlarian mencari makan di alam bebas. Adapun ayam pada malam hari tidak diperlukan perapian, hanya saja pada pagi hari saat membukakan kandangnya, kawanan ayam diberi makan (sarapan pagi), sambil menyeleksi induk atau ayam dara yang pada hari itu akan bertelor untuk dikurung sementara, dan setelah bertelor baru dilepas. Pekerjaan inilah yang dilakukan oleh Ichwan kecil pada setiap paginya, sebelum berangkat ke sekolah. Alat “pendeteksi” apakah induk ayam atau ayam dara akan bertelor hari itu atau belum, menurut Ichwan sangat sederhana, yaitu hanya dengan jari kelingking sebelah kiri. Tehnisnya juga sangat simpel, semua orang bisa melakukannya, yakni dengan cara tangan kanan memegang pangkal kedua sayap ayam, kemudian memasukkan jari kelingking sebelah kiri ke anusnya, dan jika ayam tersebut akan bertelor pasti telornya akan teraba oleh jari kelingking tadi. Alat dan tennis seperti ini juga bisa mengukur/menentukan waktu (lambat atau cepat) ayam akan bertelor, tergantung kedalaman posisi telor teraba oleh jari kelingking tadi. Semakin dekat posisi telor dengan permukaan anus, semakin cepat pula ayam akan bertelor. Oleh karena begitu sederhananya memelihara keempat jenis hewan ternak di atas, maka betapa pun banyaknya hewan ternak yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga, tetap saja ia bukan seorang yang berprofesi sebagai peternak, tapi hanya memiliki atau pemilik hewan ternak. Keluarga Ichwan secara turun temurun memiliki keempat jenis hewan ternak; Sapi, kerbau, kambing dan ayam. Walaupun jumlahnya tidak begitu banyak, tapi cukup memberikan kesibukan bagi Ichwan dan keluarganya. Bagi anak-anak seperti Ichwan, rutinitas memperlakukan hewan ternak seperti kambing dan ayam atau mengembala sapi atau kerbau, bukanlah merupakan beban, tapi lebih sebagai media untuk bermain. Sebagai mana sudah disinggung di atas bahwa kebiasaan masyarakat mengecek kambing dan atau ayam pada setiap sore hari untuk memastikan apakah sudah pulang kandang semua atau belum, apabila perlu si pemilik menggiring binatang ternak tersebut untuk kembali kekandangnya. Rutinitas ini dilakukan oleh Ichwan pada masa kecilnya, sendirian atau kadang kala besama-sama adik dan/atau kakaknya. Dari beberapa ekor kambing yang dimiliki oleh keluarga Ichwan, ada seekor kambing jantan, tinggi dan besar yang mendapatkan perhatian yang khusus dan paling disayang oleh Ichwan dan keluarganya dibanding dengan kambing-kambing yang lain. Kambing ini selalu menyertai Ichwan memetik buah kelapa bersama beruknya, sebagai penarik gerobak yang memuat buah kelapa hasil petikan beruknya. Keluarga Ichwan juga memiliki beberapa ekor sapi betina dan jantan. Pada suatu sore Ichwan menggiring ternak sapinya pulang kekandang, tapi entah mengapa dan kemana si jantan kesayangannya itu tidak berada di tengah-tengah kawanan yang lain, sedangkan yang lain lengkap sudah pulang kandang semua, sontak saja Ichwan merasa cemas sambil mencari keberadaan sapi kesayangannya. Hampir semua kandang sapi tetangga sudah diperiksa oleh Ichwan, tetapi keberadaannya belum juga diketahui. Hari semakin gelap seiring berjalannya matahari meninggalkan permukaan bumi, saat sholat maghrib sudah tiba, Ichwan pulang kerumah dengan perasaan gundah, cemas dan sedih karena sapi yang dicari tidak diketemukan. Setiba di rumah Ichwan tidak langsung naik dan masuk rumah karena takut dimarah orang tuanya. Sementara orang tua Ichwan dan saudarasaudaranya menjalankan aktihtas sore hari seperti biasa, duduk santai sore hari dan saatnya tiba mereka menunaikan sholat maghrib. Kejanggalan mulai dirasakan ketika usai sholat maghrib kemudian keluarga biasanya makan malam bersama-sama mendapatkan Ichwan tidak berada ditengah-tengah mereka. Masing-masing bertanya-tanya kemana lchwan. Spontan saja orang tua dan suadara-saudara Ichwan mencari keberadaannya. Sudah cukup lama mereka mencari ke rumah-rumah nenek, saudara dan tetangga Ichwan belum juga diketemukan. Semuanya cemas, khawatir akan keselamatan Ichwan, tapi yang paling menampakkan kegelisahan dan kecemasannya adalah Ibunda tercintanya. Betapa tidak seorang Ibu kehilangan si buah hati tercinta, terlebih Ichwan ketika itu masih sangat kecil, umurnya belum cukup untuk menjaga dan membela diri dari mara bahaya yang mengancamnya. Setelah cukup lama mencari, akhirnya terdengarlah suara ayam gaduh dari kandangnya yang terletak dibawah rumah keluarga Ichwan. Kecurigaan mulai tertuju ke sana, tanpa ragu salah satu saudara Ichwan mendatangi kandang ayam tersebut dan benar adanya ternyata Ichwan bersembunyi di kandang ayam tersebut. Suasana tegang karena cemas dan khawatir itu tiba-tiba saja berubah menjadi cair penuh gelak tawa, karena geli dan lucu menyaksikan si kecil Ichwan berbaur jadi satu dengan ayam peliharaannya. Tentu saja orang tua dan saudara-saudara Ichwan langsung mcnghujaninya dengan berbagai pertanyaan perihal perbuatannya ini. Mengapa ia tidak pulang ke rumah ?, mengapa ia bersembunyi di kandang ayam ? dan seterusnya. Dengan polos dan lugu Ichwan mengaku takut pulang ke rumah karena salah satu sapi kesayangan nya tidak diketemukan. Mendengar pengakuan Ichwan, gelak tawa kembali pecah ditengah kerumunan saudara dan tetangganya. Tidak terdengar kata-kata yang dapat membesarkan hati Ichwan kecuali keluar dari bibir sang ibu yang bernada memaafkan dan memberi nasehat agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.(bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: