Obama Tarik 34 Ribu Pasukan AS di Afghan
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama kembali menegaskan komitmennya untuk segera mengakhiri Perang Afghanistan. Selasa malam lalu (12/2) atau kemarin pagi WIB (13/2), dalam pidato kenegaraan, Obama menyatakan bahwa AS hanya akan menyisakan 32 ribu serdadu tempur di Afghanistan setahun ke depan. Pemimpin 51 tahun itu menjanjikan proses penarikan 34 ribu pasukannya akan berakhir dalam waktu 12 bulan. Saat ini, ada sekitar 66 ribu serdadu AS yang masih bertahan di Afghanistan. \"Malam ini, saya umumkan bahwa selama satu tahun ke depan, 34 ribu serdadu AS akan kembali dari Afghanistan. Proses penarikan pasukan itu bakal terus berlanjut sampai pada akhir tahun depan. Pertempuran kita di Afghanistan akan berakhir,\" papar Obama dalam pidato State of Union. Rencana penarikan pasukan itu sekaligus membuktikan kesungguhan pemerintahan Obama mengakhiri Perang Afghanistan. Tokoh kelahiran Hawaii itu telah memutuskan untuk tidak akan melanjutkan misi militer AS yang sudah berlangsung sejak 2001 atas masukan berbagai kalangan. Belakangan, pengamat militer dan politik Negeri Paman Sam menyatakan bahwa pertempuran di Afghanistan tidak layak dilanjutkan. Selain menelan biaya yang sangat besar, perang yang bermula dari misi antiteror pasca-tragedi 11 September 2001 (9/11) tersebut merenggut terlalu banyak nyawa. Tak hanya nyawa militan dan personel militer yang melayang, tapi juga warga sipil yang tidak berdosa. Karena itu, di awal masa kepemimpinannya yang kedua, Obama menegaskan lagi komitmennya soal Afghanistan. \"Presiden dan jajaran pemerintahannya sudah memutuskan bahwa penarikan pasukan yang mulai berlangsung sejak 18 bulan lalu akan berlanjut. Ini menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam menjalankan program-program yang sudah mereka canangkan,\" cetus David Barno, pensiunan jenderal yang pernah menjadi komandan pasukan AS di Afghanistan pada periode 2003-2005. Sebagai mantan komandan militer AS, Barno menegaskan bahwa pasukan Afghanistan memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan wilayahnya dari Taliban. \"Sejak awal, misi pasukan AS adalah mendampingi tentara Afghanistan dalam operasi antimilitan. Bukan menunaikan operasi itu untuk kepentingan Afghanistan,\" tutur pria yang kini aktif pada Center for a New American Security tersebut. Karena itu, kata Barno, keputusan Obama untuk menarik seluruh pasukan tempur AS pada akhir 2014 sudah tepat. Apalagi, belakangan ini tentara AS mulai menarik diri dari misi perburuan militan dan memberikan lebih banyak kesempatan kepada pasukan Afghanistan. Tapi, sejumlah insiden masih mewarnai proses transisi yang tidak mudah itu. Sayang, para pengamat dari Partai Republik menganggap keputusan Obama mengakhiri misi di Afghanistan terlalu terburu-buru. Apalagi, jumlah serdadu AS yang akan meninggalkan Afghanistan tidak sedikit. Mereka menyebut insiden dalam proses transisi sebagai bukti ketidakbecusan pasukan Afghanistan bertanggung jawab atas keamanan negara mereka sendiri. \"Terlalu banyak serdadu kita yang harus ditarik dalam kurun waktu yang sangat pendek,\" ujar Thomas Donnelly dari American Enterprise Institute. Akibatnya, lanjut dia, pemerintahan Obama tidak akan fokus pada proses transisi keamanan di negara Presiden Hamid Karzai itu, tapi sibuk memikirkan strategi terbaik dalam menarik pasukannya. Beberapa waktu lalu, Obama menegaskan bahwa AS tidak akan langsung lepas tangan. Pasca-2014, Washington akan menyisakan beberapa ribu serdadu nontempur di wilayah Afghanistan. Tetapi, jajaran petinggi militer menganggap jumlah tersebut terlampau sedikit. Kubu militer berharap pemerintah menyisakan 15.000 sampai 20.000 personel di Afghanistan. Sementara itu, Afghanistan menyambut positif rencana penarikan pasukan AS itu. Jubir Kementerian Pertahanan Mohammad Zahir Azimi yakin bahwa sekitar 352 ribu tim gabungan militer dan polisi Afghanistan siap mengambil alih tugas pasukan AS dan koalisi. \"Kami siap berperan aktif dan memangku tanggung jawab kami secara penuh mulai 2013 ini,\" tandasnya. (AP/AFP/RTR/hep/dwi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: